Tahanan Hati Nurani dan Kebebasan Berekspresi di Papua

Beberapa hari belakangan, berita mengenai tujuh aktivis Papua yang divonis bersalah di Pengadilan Negeri Balikpapan, Jakarta Timur, menghiasi laman media-media nasional. Majelis hakim memutus mereka bersalah karena terbukti melakukan makar secara bersama-sama.  Bagi Amnesty, mereka adalah tahanan hati nurani yang tengah memperjuangkan hak atas kebebasan berekspresi. Apa kaitan antara keberadaan mereka dan kebebasan berekspresi di Papua?

Pertama-tama, kita bahas dulu apa yang dimaksud dengan tahanan hati nurani atau yang dalam bahasa Inggris disebut prisoners of conscience.

Tahanan nurani adalah individu yang ditahan hanya karena menjalankan hak mereka secara damai. Amnesty International mengkampanyekan secara aktif pembebasan lebih dari 100 tahanan nurani di seluruh dunia.

Lalu, apa yang tepatnya dilakukan tujuh tahanan nurani Papua di Balikpapan?

Mereka semua ditangkap di Jayapura pada September 2019 karena mengikuti protes damai anti-rasisme sebulan sebelumnya. Aksi protes yang mereka lakukan itu dipicu insiden Surabaya, Jawa Timur, di mana mahasiswa Papua yang tinggal di asrama diserang secara verbal dan fisik oleh petugas keamanan dan anggota organisasi massa. Mereka kemudian dipindahkan ke penjara Balikpapan karena alasan keamanan.

Siapa saja sih mereka?

Fery Kombo, Alexander Gobai, Hengki Hilapok dan Irwanus Uropmobin adalah mahasiswa di beberapa universitas di Papua. Buchtar Tabuni adalah salah satu pimpinan dari kelompok Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), sementara Agus Kossay dan Stevanus Itlay berasal dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Kenapa mereka mengalami ancaman serius terhadap hak asasi termasuk hak atas kebebasan berekspresi?

Pihak berwenang di Indonesia seringkali menggunakan pasal makar di bawah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) untuk memidanakan tindakan yang dilakukan dengan maksud menyuarakan penentuab nasib sendiri; dianggap membahayakan Presiden atau Wakil Presiden; atau dianggap menggulingkan Pemerintah.

Aparat keamanan juga menggunakan kekuatan yang berlebihan, seringkali berupa penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, untuk membubarkan protes damai yang diadakan oleh orang Papua. Polisi menangkap pengunjuk rasa dan melakukan penahanan sewenang-wenang tetapi tidak pernah dimintai pertanggungjawaban.

Sementara ketujuh tahanan nurani Papua di Balikpapan dinyatakan bersalah, hukuman apa yang harus mereka jalani?

Majelis hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, menjatuhkan hukuman penjara antara 10-11 bulan untuk ketujuh tahanan. Mereka divonis bersalah melanggar Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Makar.

Putusan itu jauh lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum, namun tetap saja penahanan atas mereka tidak bisa dibenarkan di bawah Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan bahkan Konstitusi Indonesia sendiri, UUD 1945. Berikut rincian hukuman untuk masing-masing tahanan:

 Buchtar Tabuni — vonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 17 tahun)

– Fery Kombo — vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 10 tahun)

– Irwanus Uropmabin — vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 5 tahun)

– Agus Kossay – vonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 15 tahun)

– Stevanus Itlay — vonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 15 tahun)

– Alexander Gobay — vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 10 tahun)

 Hengky Hilapok – vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 5 tahun)

Hingga hari ini, ada berapa tahanan nurani Papua yang masih mendekam di penjara Indonesia? 

Amnesty International Indonesia mencatat adanya 44 tahanan nurani Papua yang hingga saat ini masih dipenjarakan di beberapa lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan di berbagai kota, mulai dari Jayapura hingga Balikpapan. Semuanya didakwa dengan pasal makar hanya karena mengekspresikan hak mereka secara damai.

Selain ketujuh tahanan di Kalimantan Timur, dua tahanan nurani dipenjarakan di Wamena, Papua dan menjalani hukuman empat serta tujuh tahun penjara. Lalu, ada 23 orang yang ditahan di Fak-Fak, Papua dan tengah menunggu proses persidangan. Sebelas lainnya ditahan di Sorong, Papua Barat dan juga tengah menunggu persidangan, sementara satu orang ditahan di Jayapura, Papua. 

Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung pembebasan mereka?

Amnesty International Indonesia mengalang petisi daring untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar segera membebaskan ketujuah aktivis Papua tersebut dan semua tahanan  hati nurani. Anda bisa berpartisipasi dalam petisi kami dengan membuka tautan ini.

Salam solidaritas dari kami!