Papua: 5 Masalah HAM yang Harus Diselesaikan

Sejak pria kulit hitam George Floyd mati di tangan polisi AS, perhatian terhadap Papua mencuat. Orang melihat banyak persamaan antara rasisme sistemik yang terjadi di Indonesia, terutama terhadap warga Papua, dan di AS.

Pada saat yang hampir bersamaan, Amnesty International Indonesia baru saja memberikan laporan tentang kondisi HAM di Papua ke Komite Hak Asasi Manusia PBB.

Menurut laporan tersebut, selain diskriminasi ras, banyak isu lain di Papua yang tak kunjung selesai hingga sekarang. Berikut sebagian di antaranya.

Pembunuhan di luar proses hukum dan penahanan sewenang-wenang 

Amnesty International menemukan setidaknya 95 kasus warga Papua meninggal di tangan aparat keamanan, antara Januari 2010-14 Mei 2020. 

Kematian terjadi ketika aparat menggunakan kekuatan berlebihan tanpa melalui proses hukum, misalnya ketika menangani protes damai, kerusuhan, perkelahian atau berupaya menangkap tersangka.  

Hingga saat ini, tak ada mekanisme independen yang efektif dan imparsial untuk keluhan publik tentang pelanggaran HAM aparat keamanan. Korban jadi sulit mendapat keadilan, kebenaran dan reparasi. Investigasi atas pembunuhan di luar proses hukum ini juga jarang dilakukan.

Pelanggaran hak berserikat dan berkumpul

Agustus-September tahun lalu, sekelompok orang menyerang asrama mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, sembari menyerukan ucapan rasis seperti “monyet”. Video penyerangan ini lantas viral, memicu orang Papua turun ke jalan di beberapa kota. 

Walau beberapa protes berujung ribut, sebagian besar berlangsung damai. Tapi, polisi tetap bertindak berlebihan. Setidaknya 96 orang ditangkap karena menggunakan hak mereka berserikat dan berkumpul. Salah satu kasus menimpa enam orang aktivis yang dituduh makar karena diduga menggalang aksi di depan istana Presiden pada 28 Agustus.

Tak boleh ada yang ditangkap hanya karena menggunakan hak mereka secara damai. Jika ada yang ditangkap karena melakukan kekerasan, penahanannya hanya boleh menggunakan kekuatan seperlunya, secara wajar dan proporsional.  

Aktivis Damai Papua tak mendapat proses hukum yang adil 

Tahun lalu, enam orang aktivis–Dano Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Ariana Lokbere, dan Surya Anta Ginting–ditangkap atas tuduhan mengorganisir protes damai di depan Istana Presiden di Jakarta. Tapi, ketika dipenjara, pengacara mereka menyatakan bahwa polisi sempat melarang menemani dan memberikan bantuan hukum selama interogasi. Ini melanggar prinsip peradilan yang adil. 

Keenam aktivis itu sekarang sudah dibebaskan. Tapi, masih ada setidaknya 50 aktivis Papua di balik jeruji besi semata-mata karena menjalankan hak mereka secara damai. Semuanya kena tuduhan makar, yang berisiko mendapat vonis seumur hidup. Sebaiknya mereka mendapat akses ke pengacara dalam semua tahapan hukum.

Pembatasan akses informasi

Pada September 2019, setelah protes bergulir akibat penangkapan dan perlakuan rasis terhadap pelajar Papua di Malang dan Surabaya, pemerintah memutuskan “memblokir sementara” internet di Papua dan Papua Barat. Alasannya ingin mencegah penyebaran berita bohong dan mempercepat pemulihan keamanan.

Polisi juga menangkap dua aktivis HAM, Veronica Koman dan Dandhy Dwi Laksono, gara-gara tweet mereka melaporkan peristiwa di Papua. Ucapan Veronica kena pasal penghasutan dan Dandhy dituduh mengucapkan ujaran kebencian atas dasar SARA. 

Media sosial dan internet membantu wartawan menemukan sumber informasi yang beragam, membuat mereka tak hanya bergantung pada keterangan resmi pemerintah saja. Memblokir, membatasi akses internet dan menghukum aktivis adalah upaya pemerintah mengontrol alur dan akses informasi, yang merupakan pelanggaran HAM.  

Dengan mematikan akses ke sarana komunikasi online, pemerintah membatasi akses informasi orang Papua, mencegah mereka mengekspresikan diri dan menghambat penyebaran informasi ke semua orang Indonesia.

Dan benar saja. Tindakan pemerintah memblokir internet ini akhirnya dinyatakan melanggar hukum oleh PTUN, 3 Juni lalu.

Kondisi hidup pengungsi Nduga tidak layak

Pada 2 Desember 2018, Tentara Pembebasan Nasional Operasi Papua Merdeka, sebuah kelompok oposisi bersenjata, diduga terlibat pembunuhan 28 pekerja konstruksi di Kabupaten Nduga. Sebagai tanggapan, tentara melancarkan operasi besar di wilayah tersebut, mengakibatkan ribuan orang harus mencari perlindungan ke wilayah lain. 

Pengungsi dari Nduga hidup dalam kondisi tidak manusiawi, kehilangan berbagai fasilitas penting, seperti listrik, layanan kesehatan, dan sanitasi. Anak-anak juga sulit mengakses pendidikan. 

Laporan sukarelawan Amnesty menyatakan setidaknya 5.000 pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka. Dari jumlah ini, 138 orang meninggal. Tidak ada informasi tambahan mengenai jumlah kematian pengungsi di luar Kabupaten Jayawijaya, termasuk mereka yang telah dievakuasi ke hutan.

Seharusnya mereka mendapat status pengungsi dari pemerintah sehingga bisa akses layanan kesehatan dan persediaan pangan secara teratur. Kini, bantuan makanan dari sukarelawan tidak berjalan lancar, obat susah didapat dan layanan psikologis yang mereka terima tidak terbukti kesahihannya. Kondisi ini menimbulkan trauma dan ketakutan yang tak berkesudahan.

Kita semua punya hak untuk hidup bebas dari ketakutan dan kekerasan. 

Desak pemerintah menghentikan pelanggaran HAM di Papua di sini dan membebaskan tahanan nurani Papua di sini.

Baca laporan Amnesty International Indonesia ke Komite HAM PBB selengkapnya di sini.  

#PapuanLivesMatter