Omnibus untuk Siapa?

Amnesty International Indonesia

Wabah COVID-19 tak menghentikan langkah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) untuk melakukan pembacaan Surat Presiden (Surpres) tentang Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada rapat paripurna kedua dalam masa persidangan III Tahun 2019-2020 hari Kamis, 2 April 2020.

Sejak diusulkan Pemerintah Oktober tahun lalu, RUU Cipta Kerja telah mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari alasan partisipasi publik, lingkungan, kesejahteraan, keadilan, hingga hak asasi manusia diajukan sebagai faktor pemberat.

Kelompok buruh lewat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menganggap penyusunan RUU ini minim partisipasi publik, hanya melibatkan segelintir golongan, dan justru mengedepankan kepentingan dari segelintir golongan tersebut.

Banyak organisasi sipil dan media yang juga menyatakan tidak pernah dilibatkan selama penyusunannya, padahal hukum HAM international menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat diperlukan dalam segala penyusunan kebijakan.

RUU Cipta Kerja, seperti diakui Pemerintah dalam berbagai pemberitaan media, digodok oleh sebuah Satuan Tugas (Satgas) bersama yang dikomandani oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Rosan Roeslani. Sebanyak 16 pengurus KADIN turut menjadi anggota Satgas, begitu pula 22 ketua asosiasi bisnis. Tak mengherankan jika kelompok buruh, seperti KASBI, menuding RUU ini dirumuskan secara sepihak.

Selain itu, dalam diskusi publik yang difasilitasi Amnesty International Indonesia pada Maret lalu, KASBI juga menilai Omnibus Law berpotensi meniadakan kepastian kerja. Substansi RUU Cipta Kerja dipandang memangkas hak-hak buruh dan memberikan ruang yang lebih luas untuk eksploitasi oleh pengusaha. Padahal, menurut Konstitusi, kepastian kerja para buruh seharusnya dilindungi.

Kritikan lain datang dari Lembaga Pusat Studi dan Advokasi Ketenagakerjaan Trade Unions Rights Centre (TURC). Dalam pandangan mereka, yang juga dikemukakan dalam diskusi publik Amnesty Indonesia, lambatnya pertumbuhan ekonomi karena seretnya investasi -yang selalu dijadikan Pemerintah sebagai alasan utama pengajuan RUU ini -tidaklah tepat. TURC justru menilai kontribusi ekonomi Indonesia selama ini paling dipengaruhi oleh konsumsi domestik, baru kemudian investasi.

Sebaliknya, jika investasi hendak ditingkatkan melalui pengesahan RUU ini, maka konsumsi domestik justru berpotensi turun karena menurukan daya beli masyarakat melalui ketentuan pengupahan yang baru dalam RUU ini.

Lantas pertanyaannya, Omnibus menguntungkan siapa?

Lagi-lagi Investasi

Pemerintah sendiri, dalam berbagai kesempatan, memang selalu menyampaikan motif investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di balik penyusunan Omnibus Cipta Kerja.

Peringkat 72 dari 190 negara dengan kemudahan berusaha menurut Bank Dunia yang melekat pada Indonesia dijadikan alasan untuk memuluskan RUU ini.

Sementara dari kalangan pebisnis, prinsip yang dipahami tentang Omnibus adalah kesederhanaan untuk melakukan usaha. Mereka berpendapat penyederhanaan hukum sungguhlah perlu untuk membuat investasi dari dalam negeri lebih menggeliat, dibanding investasi asing.

Pemerintah bahkan mengklaim tak ada niatan dari pihak mereka untuk merugikan masyarakat, terutama kaum buruh. Masalahnya, jika dikatakan ekonomi Indonesia sedang lambat karena proses berbisnis yang rumit, publik harus menyikapinya dengan kritis.

Publik harus mencermati bahwa kendala kemudahan berinvestasi bukan hanya terletak pada rumitnya perizinan, namun lebih terletak pada faktor korupsi, baik di sektor politik dan penegakan hukum.

Hal ini sejalan dengan laporan Bank Dunia dan Transparency International sepanjang tahun 2015-2018 yang menggambarkan langkah untuk menekan korupsi nyatanya sejalan dengan perbaikan iklim investasi, naiknya skor Indeks Kemudahan Berbisnis (IKB) dan juga membaiknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Lalu Omnibus dibuat untuk memudahkan siapa?

Mempertanyakan kewajiban negara

Sejumlah catatan di atas menunjukkan bahwa pembuatan RUU Cipta Kerja menunjukkan makin turunnya upaya pemenuhan kewajiban negara dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) serta ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Pembuatan RUU Cipta Kerja yang tidak transparan, tidak konsisten dengan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik, salah satunya dalam penyusinan kebijakan; hak atas informasi, dan hak untuk dilibatkan dalam konsultasi terkait kebijakan pekerja.

Selain itu, banyak ketentuan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah dalam RUU Cipta Kerja juga tidak konsisten dengan standar internasional yang diatur dalam ICESCR maupun rekomendasi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization-ILO), salah satunya terkait hak pekerja atas kondisi yang adil dan menyenangkan di tempat kerja.

Tak mungkin ada asap jika tak ada api, tak mungkin ada penolakan dan kritik dari berbagai pihak jika tidak ada penyebabnya.

Kebijakan apapun, termasuk aturan perundangan, tak boleh mementingkan satu pihak tertentu dan mengabaikan kemaslahatan bersama. Jika Omnibus Law disusun untuk memudahkan investasi, seharusnya aturan ini tak boleh bertentangan dengan tugas negara untuk menghadirkan kesejahteraan dan memenuhi hak asasi manusia.