Mengapa Keluarga Korban Semanggi I dan II Perlu Menggugat Pernyataan Jaksa Agung?


Pada Januari 2020, Jaksa Agung S.T. Burhanuddin menyatakan Tragedi Semanggi I – Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat. 

Keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II sangat keberatan dengan ujaran tersebut sehingga besok,  pada 12 Mei, mereka akan menggugat Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara. 

Inilah segala hal yang perlu kamu ketahui tentang gugatan korban dan mengapa pernyataan Jaksa Agung tak bisa dianggap angin lalu.

Mengapa memilih gugatan sebagai upaya hukum?

Pernyataan Jaksa Agung menyebabkan keluarga korban sebagai para penggugat mengalami kerugian langsung. Pernyataan Jaksa Agung telah menghambat proses hukum pelanggaran HAM Berat Peristiwa Semanggi I dan II, menghalangi kepentingan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya para korban Peristiwa Semanggi I dan II serta menghalangi keluarga korban mendapatkan akses kepastian hukum dan kebenaran peristiwa pelanggaran HAM.

Pernyataan Jaksa Agung juga turut mengaburkan fakta bahwa peristiwa Semanggi I dan II adalah pelanggaran HAM berat. Hal ini mencederai perjuangan keluarga korban dan seluruh masyarakat pendukung yang tidak pernah berhenti sejak 1998. 

Para penggugat mengajukan gugatan sebagai upaya hukum karena kapasitasnya sebagai warga negara, yang memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama terhadap hukum.”

Selain itu gugatan ini merupakan wujud partisipasi publik dalam menciptakan proses bernegara yang transparan, partisipatif, dan akuntabel, sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Mengapa memilih PTUN sebagai ruang menempuh keadilan?

Pernyataan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 merupakan bagian dari Tindakan Pemerintahan. Perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Apa tujuan dari gugatan TUN?

Gugatan ini merupakan bentuk lain advokasi formal untuk menghadirkan akuntabilitas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Gugatan ini juga menjadi salah satu upaya untuk menghadang kelelahan (exhaustion) perjuangan korban yang selama ini tidak pernah direspon baik oleh negara dan hanya dijadikan komoditas politik elektoral. Melalui metode litigasi strategis, gugatan ini dapat membuka pintu keadilan dan dapat memberikan dampak perubahan kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, gugatan ini juga dapat dimaknai sebagai medium amplifikasi dukungan publik terhadap langkah-langkah advokasi pelanggaran HAM berat masa lalu.  

Mengapa gugatan TUN ini diajukan pada Mei 2020?

Gugatan TUN ini merupakan tindak lanjut keberatan administratif yang disampaikan keluarga korban, didampingi oleh Advokat dari LBH Jakarta kepada Jaksa Agung pada 13 Februari 2020. Jaksa Agung kemudian membalas Keberatan Administratif tersebut pada 19 Februari 2020. Namun, dalam surat tersebut Kejaksaan menulis nomor surat Keberatan Administratif yang salah dan pernyataan dalam balasan tidak menggambarkan keinginan untuk mencabut pernyataan mereka yang menyatakan bahwa Peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. 

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung 2/2019 menyebutkan Gugatan diajukan paling lama 90 hari sejak tindakan pemerintah dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Administrasi Pemerintah”. Pasal 4 ayat 2 menyebutkan : “Selama warga masyarakat menempuh upaya administrasi, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbentar sampai keputusan upaya administrasi terakhir diterima”. 

Lebih lanjut, pelayangan gugatan pada Mei 2020 juga merupakan cara kami untuk mengenang Tragedi Trisakti 12 Mei 1998.

Apa hasil yang diharapkan dari Gugatan TUN ini terhadap proses advokasi kasus Semanggi 1 dan 2?

Melalui gugatan TUN ini, Jaksa Agung diharapkan mengklarifikasi dan membatalkan pernyataan yang menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan Pelanggaran HAM Berat, serta mendorong pihak Jaksa Agung untuk melanjutkan penyidikan terhadap pelanggaran HAM berat berdasarkan penyelidikan dan laporan dari Komnas HAM, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.