Cerita Stella Monica, Penyintas UU ITE

Stella Monica dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dan dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena mengunggah keluhannya pada 27 Desember 2019 tentang iritasi kulit yang ia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya. Klinik kecantikan tempat Stella berobat merasa namanya telah dicemarkan dan melaporkan Stella ke pihak berwenang. Klinik tersebut menuduh Stella telah melakukan pencemaran nama baik mereka dan melanggar UU ITE.

Saat pertama kali membahas kasusnya dengan polisi, polisi merespons bahwa ini hanya masalah kecil dan sebaiknya Stella dan klinik kecantikan tersebut “damai” saja. Namun ternyata, proses terus berlanjut hingga akhirnya Stella dijadikan tersangka.

Sejak saat itu, Stella harus melewati proses yang panjang, salah satunya termasuk juga mendapatkan perlakuan buruk dari Kejaksaan Agung. Stella mengaku, pada saat itu Jaksa langsung menuduh dan menghakimi bahwa Stella bersalah tanpa adanya proses penyidikan apapun. Selain itu, Jaksa juga membuka handphone Stella tanpa adanya izin darinya.  Namun akhirnya, pada 14 Desember 2021 Stella Monica divonis bebas oleh majelis hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. 

Akibat dari proses pencarian keadilan yang panjang dan menyakitkan, terdapat beberapa dampak emosional yang Stella alami. Saat pertama kali Stella mendengar bahwa ia menjadi tersangka, Stella sempat merasa ingin bunuh diri. Selain itu, beberapa dampak lainnya adalah mood swing selama hampir 2 tahun, mudah marah karena efek stres, dan seringkali merasa sedih dan linglung. Karena kasusnya viral, Stella juga menjadi takut saat pergi ke ruang publik, seperti mall dan bahkan gereja. Stella merasa saat sedang berada di ruang publik, Stella takut orang-orang akan membicarakannya, “Itu Stella yang kena ITE ya?” 

Stella merasa sekarang UU ITE justru digunakan untuk mengancam dan mengintimidasi individu, terutama dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik. Stella mengusulkan agar sebaiknya UU ITE direvisi total dan sebaiknya pasal pencemaran nama baik dihapuskan saja. 

Stella berharap, untuk para pemiliki usaha yang dikritik oleh konsumen, sebaiknya dapat menggunakan kritik itu untuk memperbaiki diri dan bukannya menggunakan UU ITE untuk mengancam dan mengintimidasi konsumen. Lalu Stella memberi pesan bagi para konsumen, untuk jangan takut mengutarakan pendapat, karena konsumen mempunyai hak untuk berbicara. 

Ini wawancara Amnesty International Indonesia dengan Stella Monica mengenai pengalaman dan proses yang berlangsung selama Stella Monica berjuang melawan pasal karet UU ITE.

Interviewer: Saat Kakak dulu pertama mengunggah tentang pengalaman Kakak di klinik kecantikan itu di Instagram story, apakah Kakak ada rasa khawatir bahwa nanti akan diserang balik bahkan sampai dilaporkan ke polisi oleh pihak kliniknya?

Stella Monica: Kalau dari aku nggak sih Kak, karena aku merasa pernah berobat disana jadi aku punya hak untuk ngomong. Aku udah tau UU ITE dari lama banget, cuma hanya sepintas tau aja kaya ah apaan sih lapor pake UU ITE nggak penting. Aku berharap dengan aku memberi review klinik itu bisa mencari aku, istilahnya ‘Stella ada yang bisa kita bantu, kenapa wajahmu?’ Aku berekspektasi seperti itu, makanya aku berani.

Tapi dalam konteks dari dulu sosial mediaku dari dulu nggak pernah open for public. Dulu pernah ada kejadian nggak mengenakan karena open for public, akhirnya ku kunci aja, jadi yang menyaksikan juga followersku gitu kan. Eh tapi ternyata ada orang jahat yang lapor, istilahnya ya cepu ya, ya udah dia ngelapor. Nggak ada khawatir tuh nggak ada, sampai punya pikiran dilaporin polisi nggak ada. Karena aku ngerasa waktu itu ah UU ITE nggak penting sih, toh aku nggak bakal kena, aku merasa seperti itu. Eh ternyata kenanya di aku… ya sudah, deh…

“Karena aku ngerasa waktu itu ah UU ITE nggak penting sih, toh aku nggak bakal kena, aku merasa seperti itu. Eh ternyata kenanya di aku… ya sudah deh…”

Interviewer: Jadi Kak Stella juga udah familiar juga ya dengan UU ITE dan nggak nyangka sama sekali ya bakal kena UU ITE. Saat Kakak dilaporkan dan dituduh melanggar UU ITE, Kakak pernah nggak sih mendapat ancaman atau pun intimidasi dari pihak pelapor atau pihak-pihak lain dari sisi pelapor?

Stella Monica: Sering. Aku ngomong apa adanya aja sih ya kak. Ketika sebelum di persidangan kan di Kepolisian dulu sebelum di Kejaksaan tuh, intinya polisi bilang ini masalah kecil, bisa nggak damai aja. Kita kan sebagai orang awam ya bilang gini ke penyidik “Ya bapak bantu dong, masa nggak bisa sih dibantu” tapi ya sudah aku diberi tahu teman “Kamu nggak usah berharap banyak lah Stel, soalnya kok kayaknya bakal lanjut”. Aku juga berharapnya stop kan, eh ternyata sampai dijadikan tersangka.

“Aku cuma ngerasa gini sih, kok kamu bisa-bisanya langsung menghakimi aku yang salah. Itu ya aneh, harusnya kamu netral dulu dong.”

Aku udah nangis, kaya mau bunuh diri rasanya. Sumpah dalam seumur hidup aku nggak pernah kena kasus hukum, paling parah kena tilang itu pun cuma dua/tiga kali, bisa dihitung tangan. Dari situ akhirnya ke Kejaksaan, di Kejaksaan itu aku langsung dituduh sih “Kamu tuh salah, kamu udah bikin kerugian ratusan juta! Kok kamu nggak minta maaf aja sih. Kamu kan kalau minta maaf nggak perlu sampai ke Kejaksaan, nggak perlu sampai blunder gini”. Aku cuma ngerasa gini sih, kok kamu bisa-bisanya langsung menghakimi aku yang salah. Itu ya aneh, harusnya kamu netral dulu dong.

Aku akhirnya membantah sih, aku bilang “Bu kalau ngomong itu ya dipikir dulu. Dibalik deh posisinya, kalau Ibu jadi saya gimana?” terus intinya dia bilang tetep salah, ya sudah. Nah dari situ ada aja pihak-pihak yang berusaha merasuki pikiran kita, ya kaya cari panggung lah. Ada yang bilang gini “Stel, kamu tuh kalau mau damai aja sama mereka deh, masuk koran… ya paling hukumanmu cuma 3 bulan penjara lah… kalo mau… dan sidangmu nggak akan selama yang kamu pikirin, sidang tuh bisa sampe satu tahun tuh bisa loh Stel, UU ITE tuh lama banget, udah damai aja” Aku kaget sih, hah apaan sih aku tuh nggak ngerasa salah gitu kan, aku bilang kalau aku misalnya di-endorse aku koar-koar di sosmed itu aku salah, karena anggepannya endorse pun ada kontraknya kan, lah aku loh pasien aku bayar lunas pakai kartu debitku semua.

Ada juga yang bilang “Nggak mungkin lah kamu bebas, aku tuh udah tau kamu akan dijatuhin hukuman berapa lama” ada yang kaya gitu itu banyak banget Kak. Ada yang bilang “Wah kamu kaya gini pasti kalah sih” Kalau viral ya bisa bikin beberapa pihak kasian ke aku, cuma ya gimana ya kalau si klinik itu power-nya kuat.

Ya itu bener-bener moodku tuh kaya mood swing banget sih selama hampir 2 tahun itu, naik turun naik turun karena terpengaruh omongan seperti itu dan juga keluargaku juga kaya dipengaruhi, terus ada yang bilang “Udah lah kamu minta maaf aja lah, aku kenal kok sama yang klinik tuh kenal kok aku, bilangin kalau bisa jangan kebacut deh dengan hukumannya”.

Aku sampai mikir gini sih, apa sih maksudnya, kan ini belum dijalanin ya, kok bisa-bisanya ngomong aku harus minta maaf langsung supaya selesai semua. Itu pun sempat sih dari pihak sana menawarkan damai, aku harus ngaku di media, minta maaf ya nanti sama dia bisa dinegosiasikan. Intinya seperti itu sih kak.

Aku cuma nggak habis pikir sih kaya, lo kok gila sih bisa kaya gitu banget, istilahnya, lo gila apa mau menjarain anak orang segitu ambisinya tuh kenapa padahal aku bukan artis kan, bukan influencer, kaya kamu kenapa segitunya mau menjarain aku tuh pasti there’s something wrong with them. Aku sampai mikir aja, teman-temanku juga bingung sih hah kamu loh bukan siapa-siapa sih, aku juga bukan sosialita, ya ngapain kan dia sampai se-kekeh itu mau masukin aku ke penjara. Itu sih… aku cuma nggak habis pikir aja sih waktu itu kak.

Interviewer: Serem juga ya kak, bahkan aku kaget dari Kejaksaan juga langsung frontal seperti itu ya. Itu waktu di Kejaksaan hanya kakak dengan jaksanya atau sama pihak pelapor juga?

Stella Monica: Nggak ada, jadi pihak pelapor H-7 sudah di-briefing sama Jaksa.

Ketika waktu giliranku aku ditemenin sama pengacaraku 1 orang, waktu itu dateng baru duduk disuruh isi kertas warna pink (nama, identitas, alamat, tipe HP (handphone), dan nama Instagram), “terus tiba-tiba jaksa ngomong “Kamu tuh nggak ngerasa salah ta Stella?” sambil dia buka HP aku gitu, aku merasa loh itu ya termasuk privasi ku kenapa sih kok kamu buka-buka di depanku. Oke lah kamu mencari bukti ya terserah kamu. Tapi satu hal yang aku sangat jengkel, mereka buka galeri HP-ku, melihat foto-foto gitu sih di depanku”.

“terus tiba-tiba jaksa ngomong “Kamu tuh nggak ngerasa salah ta Stella?” sambil dia buka HP aku gitu, aku merasa loh itu ya termasuk privasi ku kenapa sih kok kamu buka-buka di depanku. Oke lah kamu mencari bukti ya terserah kamu. Tapi satu hal yang aku sangat jengkel, mereka buka galeri HP-ku, melihat foto-foto gitu sih di depanku”.

Aku bingung sih, aku akhirnya khawatir ya pasti punya pikiran buruk ini kok malah buka-buka galeriku. Misalnya kalau profesional ya ayo dong buka aja intinya Instagram aja sudah, nggak usah kemana-mana. Aku masih ingat sih Kak intinya apa yang diucapkan sama dua jaksa itu intinya mereka secara nggak langsung suruh aku ngaku salah gitu dari awal.

Interviewer: Tadi Kakak juga sempat mention ada anggota keluarga juga yang dapat ancaman atau intimidasi gitu ya Kak, jadi nggak cuma Kakak.

Stella Monica: Iya nggak cuma aku, banyak kok, adekku dapet, mama papa juga dapet.

Interviewer: Kalau dengan ancaman dan intimidasi itu dari sepengamatan Kakak ada nggak sih yang kira-kira nih berbasis gender gitu? Misalnya karena Kakak perempuan juga, jadi makin direndahkan atau disepelekan gitu.

Stella Monica: Kalau itu sih untungnya nggak ada kalau masalah gender itu, cuma sih sempet denger aja “Kalau misalnya kamu bisa mengambil hati hakim sama jaksa, ya mungkin bisa diringankan hukumannya karena kamu perempuan” kaya gitu ada, tetanggaku ada yang ngomong kaya gitu sama mama “Eh suruh bilangin Stella, kalau bisa sama jaksanya yang merendah lah, supaya dikasih keringanan hukuman, apalagi kan sesama cewek ya”. Nah aku dasarnya itu dari awal gini sifatnya, kalau aku nggak salah aku nggak akan mau tunduk sama orang itu, even dia misalnya jabatannya tinggi.

Aku setiap kali di ruang persidangan liat jaksa tuh aku buang muka, karena aku marah. Daripada aku marah memaki itu kan salah ya, aku langsung buang muka aja. Mama tuh masih bilang, kamu tuh coba sapa kek jaksanya biar dia istilahnya iba sama kamu, aku bilang nggak aku nggak mau, bodo amat, mama mau gitu mama aja nggak usah aku. Percuma disapa pun dia nggak akan gubris kok.

Waktu itu aku pesen minuman di ojol (ojek online) buat tim kita karena persidangan ditunda 6 jam kalau nggak salah, aku ambil minuman itu kan di depan gerbang pengadilan, memang harus aku yang ambil karena aku yang order di ojol itu kan. Ketemu lah si jaksa keluar dari mobil, anggepannya dia tuh kaya menganggap aku mau kabur dari persidangan, dia di depan banyak orang bilang “Eh Stella kamu mau kemana! Jangan kabur ya habis ini sidang!”.

Nah aku dasarnya aku memang orangnya keras, langsung aku bilang kaya gini, “Eh Ibu, yang mau kabur tuh siapa, saya mau ambil ojek kok, kenapa?” “Oh ya sudah jangan pergi ya” “Loh siapa yang mau pergi, ada mama saya kok” ya gitu. Ya mama tuh sampai kamu jangan kaya gitu ci, pengacaraku bilang sabar…sabar, aku nggak bisa sabar soalnya aku dianggap kaya narapidana buronan, gila gitu loh Kak, nggak masuk akal. Kok bisa-bisanya sampai dia ngejudge aku seperti itu, nggak profesional sih menurutku.

Interviewer: Kalau dari Kakak sendiri, boleh dong kak diceritain gimana sih dampak emosional yang kakak alami setelah dituduh melanggar UU ITE?

Stella Monica: Dampak emosionalnya tuh gampang marah, itu karena efek stress sih. Karena kaya apa ya nggak pernah kena kasus hukum, terus tiba-tiba jadi sampai Kepolisian, terus jadi tersangka, terus jadi ke P-21 siap-siap jadi terdakwa gitu kan. Jadi gampang marah, terus tiba-tiba juga gampang sedih, jadi kayak orang bingung.

Abis doa malam misalnya, terus doa ada yang cerita itu terus set nangis karena tiba-tiba inget sama kaya kenapa sih kok aku harus kaya gini, if I could turn back the time, I wouldn’t do that. Aku nggak akan ngelakuin, apa ya… aku bermaksud baik ngasih review tentang muka aku yang hancur, kenapa sih kok malah kaya gini, ternyata nggak ada pertanggungjawaban dari pihak sana.

“ketika kita berhadapan di tempat umum kan kita nggak tau siapa yang pro, siapa yang kontra, jadi bener-bener mengalami ketakutan pas ketemu orang, even ke gereja pun, karena aku kan aktif di gereja, itu minder banget, aku menutup diri dari teman-teman aku”.
 

Sama merasa minder sih, misalnya lagi ke mall, apalagi waktu lagi viral banget, kan viralnya 3x kan itu, ke mall tuh kaya tiba-tiba takut. Kan orang misalnya kaya ‘Itu Stella ya! Itu Stella yang kena ITE ya? ‘ Ketika kita berhadapan di tempat umum kan kita nggak tau siapa yang pro, siapa yang kontra, jadi bener-bener mengalami ketakutan pas ketemu orang, even ke gereja pun, karena aku kan aktif di gereja, itu minder banget, aku menutup diri dari teman-teman aku.
 

Sampai akhirnya teman-teman aku cuma bisa menghibur aku ‘Kamu nggak boleh kaya gini, Tuhan tuh melindungi kamu, kamu tuh nggak boleh ngerasa kaya oh aku nih salah, aku nih istilhnya udah bikin masalah berat sampai punya pikiran ingin mati tuh nggak boleh’.

Itu tuh aku sampai konsultasi sama salah satu kakak rohaniku, aku bilang Aku nggak mau ke gereja deh karena aku merasa kasusku ramai dan aku takut dikucilkan, aku takut nggak punya teman, aku takut semua orang tuh istilahnya terus ngawasin aku, itu sampai segitu ke psikologisnya aku.

Untungnya dari teman-teman PAKU ITE kasih semangat, teman-teman LBH juga, terus Anin, Anin yang selalu dampingin aku sama mama, Anin selalu kasih moral support terus kamu nggak boleh punya pikiran kaya gitu, pokoknya kamu harus yakin kamu menang. Aku kadang cuma mikir ya, orang gampang kasih kita nasihat, tapi ketika kita mengalami tuh oh my God itu berat banget gitu.

Interviewer: Tadi kan udah banyak bahas juga nih Kak soal keluarga, dari keluarga atau teman tuh ada nggak sih yang bilang atau minta Kakak untuk jangan lagi ngeluarin pendapat di media sosial?

Stella Monica: Semua. Semua bilang udah sekarang kamu gausah deh , misalnya dari Company A ada yang jelek pelayanannya mungkin di restoran itu, terus kamu ngepost di sosial media dengan maksud baik karena kan kalau misalnya kita complain ke Instagramnya kan responnya lama, misalnya customer servicenya lama, terus kadang kan kalau misalnya hal itu bisa dimasukan ke IG Story dan itu viral kan kadang responnya lebih cepat, aku pernah kaya gitu.

Kejadiannya bulan Maret, jadi bad mood banget sama salah satu driver ojol makanan karena nggak ramah dan dia minta parkirnya mahal banget, itu aku marah, aku cuma post aja di sosial media, kaya kecewa sih intinya pengalamanku kaya kok bisa sih bohongin customer gini, tapi habis itu mamaku liat IG (Instagram), teman-temanku liat IG, langsung bilang itu mending hapus aja, takutnya nanti orang menilai oh Stella nih nggak berubah, tetep gini aja sukanya ngritik-ngritik gitu, aku akhirnya hapus.

Kaya gitu sih, banyak sih yang ngomong “ya udah Stel kamu sekarang kalau misalnya ada yang janggal dari servicenya 1 orang di perusahaan tertentu atau apa ya produknya, udah kamu nggak usah review lagi deh mendingan dari pada nanti maksudmu baik tapi orang itu malah salah nangkep, ya akhirnya lapor pake ITE lagi”.

Interviewer: Kakak sempet ada nggak sih upaya mediasi atau ngobrol antara Kakak sama pihak klinik gitu?

Stella Monica: Jadi ketika di Polda, selesai diperiksa sebagai saksi, aku diperiksa 7 jam totalnya dari jam 10 sampai jam 5 sore. Terus penyidikku bilang “Mbak Stella sama papanya Mbak Stella, saran aja kalau bisa mediasi mandiri dulu, kalau memang nggak bisa mandiri baru nanti kita bantu”.

Aku di Polda itu hari Jumat, akhirnya Sabtunya aku langsung dateng ke klinik aku datengin dokter pelapor aku yang di mana itu bukan dokter aku kan, dia kerjanya di klinik cabang, aku dateng sama mama dan papa, aku minta maaf kalau postinganku tuh bikin gaduh satu Surabaya, karena menurut dia satu Surabaya tuh tau postingan aku, terus aku minta maaf, aku bilang tolong lah kalau bisa nggak usah dibawa ke meja hijau, masalah kecil doang gitu kan.

Tapi waktu itu aku minta maaf sih sebenernya kaya nggak ada nangis gitu nggak, mama yang nangis, mama sampai “Ayo lah dok masa nggak bisa sih” dan dia dengan arogannya bilang “Maaf Stella nggak bisa ya, karena si ownernya juga sangat tersinggung sama kamu, kamu ya harus dihukum sejera mungkin, kalau bisa penjara sih supaya kamu kapok ya, dan juga itu teman-teman kamu yang ikut ngekomen postinganmu juga itu dipanggil semua sama Kepolisian biar kapok semua.”

“dia dengan arogannya bilang “Maaf Stella nggak bisa ya, karena si ownernya juga sangat tersinggung sama kamu, kamu ya harus dihukum sejera mungkin, kalau bisa penjara sih supaya kamu kapok ya, dan juga itu teman-teman kamu yang ikut ngekomen postinganmu juga itu dipanggil semua sama Kepolisian biar kapok semua”.

Oh ya udah karena dasarnya juga aku nggak ngerasa salah kan aku langsung “Oh ya sudah terserah dokter deh” aku langsung tinggal, terus salah satu teman papa aku yang paham hukum kasih tau ke papa “Coba Stella buat permintaan maaf deh tapi jangan pernah ngaku salah, bilang aja minta maaf kalau postingannya membuat gaduh, ya semoga aja pihak klinik memaafkan saya”.

Aku bikin itu, durasinya 1.17 menit, sampai hari ini pun aku simpan videonya, dan di video itu tidak ada kata-kata ‘saya salah’ aku cuma bilang minta maaf kalau postingan aku membuat rugi dan gaduh pihak klinik, serta aku tag Instagram klinik, tag IG dokter pelapor, dan 3 orang dokterku yang handle muka-ku selama aku perawatan disana, kemudian misalnya aku upload jam 8 malem, jam 8.05 si dokter pelapor merespon video aku, dia mengatakan “Stella, tolong ditake down ya videonya, tolong dihapus”.

Hari Selasa tiba-tiba pihak Polda, di email itu kan ada notification kalau seseorang berusaha untuk ganti password Instagram kita, diganti sama Polda passwordku.

Nah aku bingung sih, langsung aku screenshot karena itu bukti di polisi kalau aku dituduh nggak ada niat baik, aku punya buktinya, dan aku juga ngerasa gini, katamu satu Surabaya tahu postinganku, harusnya kalau aku sudah buat video klarifikasi ya that will be okay, satu Surabaya bakal tau  dan itu aku open for public, tapi disuruh hapus, ya udah aku hapus aja postingan-ku. Postingan itu kan hari minggu, hari Selasa tiba-tiba pihak Polda, di email itu kan ada notification kalau seseorang berusaha untuk ganti password Instagram kita, diganti sama Polda passwordku.

Langsung dari situ aku udah curiga, oh pasti udah dapet laporan dari klinik kalau aku upload video, ya aku juga nggak kalah cepet juga ya, aku ganti password-ku dan ternyata ketauan sama pihaknya Polda, akhirnya pihak Polda ganti password lagi dan ganti e-mail nya jadi e-mail nya sudah bukan punya aku lagi. Ya udah sampai sekarang aku nggak bisa akses Instagramku yang lama itu, anggepannya aku sudah buang itu, karena nggak dikasih tau lagi kan, password-nya sudah beda, e-mail nya juga sudah beda.

Terus dari situ juga aku kirim surat ke klinik, aku minta maaf ada materai segala macem, ditolak sama dokter itu. Aku kesana sendiri sama papa waktu itu untuk kasih surat, ditolak, akhirnya sama papa dikirim lewat kantor pos karena kalau lewat pos kan dia nggak mungkin ga terima surat itu, pasti diterima tapi pasti dibuang juga gitu kan. Abis itu selang 4 bulanan itu tiba-tiba datang penyidik Polda, bilang kalau aku tersangka.

Terus ketika pelimpahan berkas dari Polda ke Kejaksaan, itu dipertemukan aku dan pelapor sama tim pengacara, si dokter tetap kekeh bilang, “Stella tuh nggak ada niat baik, saya tuh sudah 5 kali berusaha mediasi sama dia tapi Stella nggak respon.” Aku langsung ketawa sih, aku bilang sama pengacara aku, “Mediasi 5 kali, dari mana? Dia nggak ada upaya mediasi, dia tuntut aku masukin koran, harga korannya itu total 1M, untuk iklan 3x penerbitan setengah halaman, siapa yang punya uangnya?” aku bilang gitu sama pengacaraku. “Mulut kok buat-buat omongan.” Terus pengacaraku bilang “Sabar Stel, sabar, biarin aja mereka koar-koar itu, kita diem aja,” terus ya si penyidiknya bilang, “Gini ya dokter, jadi ini kan pelimpahan berkas ke Kejaksaan, ada yang mau disampaikan lagi nggak ke pihak Stella?” Dia (doktor) bilang nggak ada, terus giliran aku ditanya ada yang mau disampaikan, aku bilang, “Nggak ada ya upaya mediasi 5x, dia nggak pernah ada upaya mediasi sama saya, dia mau lanjutin sampai penjara.” Terus akhirnya ke Kejaksaan.

Interviewer: Selama kasus ini kakak dapet bantuannya dalam bentuk apa saja sih dan dari mana saja?

Stella Monica: Aku pertama itu dikasih tau sama sepupu sih tentang PAKU ITE . Aku bingung, ini tuh apa, ini paguyuban yang pernah kena UU ITE. Akhirnya aku googling, aku cari tahu sampai ketemu Facebooknya PAKU ITE, ketemu lah nomornya Mas Arsyad waktu itu. Terus aku kontak Mas Arsyad aku chat, singkat cerita aku tunjukin kronologis terus aku fotoin surat dari Polda juga termasuk postingan-ku. Mas Arsyad telfon akhirnya, karena kalau dichat tuh kan bisa misunderstand sama miscommunication, aku akhirnya jelasin dari A-Z.  Terus  Mas Arsyad tuh paham “Oke Stella abis gini saya coba kaji sama tim saya ya untuk mempelajari kasus kamu.”

Aku dapat jawaban, 2 hari kemudian di-invite ke group PAKU ITE, aku perkenalan secara singkat namaku siapa dan kasus apa yang sedang aku hadapi itu aku jelasin secara singkat, dan ternyata setelah aku masuk group itu lumayan banyak anggotanya tuh sekitar 80. Aku berpikir wah berarti banyak sih yang kena jadi korbannya UU ITE ini, kok sampai kaya gitu tuh kok bisa, terus akhirnya Mas Arsyad kasih kontaknya Anin. Anin kan sekretarisnya PAKU ITE dan kebetulan juga tinggal di Surabaya, aku disuruh jelasin ke Anin, Mas Arsyad udah cerita ke Anin garis besarnya cuma nanti aku harus cerita lagi ke Anin untuk kasih tau dan dirapatkan dengan tim terkait.

Aku sih bilang ke Anin ini harus pakai pengacara, setauku pengacara untuk UU ITE tuh mahal banget, bener-bener mahal nggak ada duit kan. Anin bilang, “Aku kenalin sama LBH ya  Stel, kamu dateng ke LBH Kidal, nanti bilang aja atas rekomendasinya Anin”. Akhirnya aku ketemu sama tim LBH, ketemu Mas Dimas dan diskusi, abis itu penanggung jawab kasusku di LBH itu Pak Habibus.

 Akhirnya Mas Arsyad bilang “Stel, kita ini bener-bener bantu kamu, kita bantu kamu ini dibantu banyak sekali dibantu banyak sekali lembaga-lembaga besar di Indonesia, contohnya SAFENet, terus Amnesty, bukan nggak mungkin loh Stel kasus ini ramai sampai Komnas HAM pun akan turun tangan, sampai ke Menkopolhukam pun bisa karena ini viral banget, tapi kamu harus siap ketika sudah viral karena pasti kamu akan kaget ada yang pro dan kontra, yang penting kamu tetap jaga emosi, ketika liat misalnya ramai banget yang komen kontra kamu harus sabar, jangan terpengaruh”.

Aku tuh waktu itu nggak tau SAFENet, Amnesty, itu apa, aku googling, “Oh ternyata mereka ini orang-orang yang memang lebih pro ke kebebasan berekspresi, wah kok bisa sih se-massive ini,” terus aku juga cerita ke teman gerejaku, aku curhat, “Gila loh Stel, Tuhan tuh baik loh sama kamu, kamu nggak nyangka ketika kamu tuh merasa aduh gimana ya aku kalau pakai pengacara habis berapa,” terus dapet omongan kalau pakai pengacara tuh jasanya mahal bisa sampai habis satu rumah, tapi Puji Tuhan banget ini semua orang-orang ini kan nggak minta biaya.

Ketika aku menang kasus ini teman-temanku tanya “Kamu kena kasus ini udah habis berapa Stel?”  aku bilang “Nggak ada, nggak ada sepeser pun,” aku cuma beliin teman-teman LBH semua makanan, minuman, karena kasihan kan mereka ini membantu aku tuh benar-benar tulus ikhlas, masa aku nggak ada sepeser pun kasih mereka. Sampai ada BPKN juga, Pak Rolas sendiri yang datang waktu itu. Aku nggak tau siapa sih BPKN tuh, sampai akhirnya perwakilan BPKN tuh bilang kita ini juga dilantik sama Pak Presiden.

Ketika teman-teman dari BPKN datang sebagai saksi, ahli pun ada yang tanya ke mama, yang datang itu siapa saja. Dia bilang “Oh itu BPKN, BPKN itu perlindungan konsumen nasional, di bawah naungannya Pak Presiden,” karena mereka pakai baju juga kan ada logo BPKN sama bendera RI kan. Itu pada kaget semua, sampai di pengadilan bilang, “Gila ya, kasusnya Stella nih kayaknya kasus ter-ramai di pengadilan, banyak banget loh orang-orang yang bantu dia sampai ada petisi segala macem, change.org juga.”

Nggak ada yang nyangka, sampai aku juga mikir, wah gila ya dulu tuh berarti kasusku tuh besar udah kaya kasus nasional, dan temenku bilang “Kamu harus bangga sih Stel jadi artis”, “Ya nggak bangga sih artis, artis ITE hahaha ngawur.” Kalau nggak digituin juga hari ini mungkin aku nggak kaya gini kak. Aku bersyukur sih kalau ramai begini meskipun dulu agak takut kalau viral, tapi ya udah dijalanin semua.

Interviewer: Kalau kakak kan dulu melihat UU ITE tuh dari jauh, pikirnya nggak bakal kena juga, dsb. Kalau sekarang kakak gimana sih memandang UU ITE? Dan kira-kira dari pandangan kakak sendiri apa sih yang perlu dibenahi dari UU tersebut?

Stella Monica: Sebenarnya aku tau UU ITE itu kan dari masa pemerintahan presiden yang sebelumnya, itu kan UU ITE dibuat dengan tujuan yang bagus untuk transaksi elektronik karena banyak penipuan online shop, minta pulsa, itu kan untuk menghindari penipuan seperti itu, penipuan secara online lah pokoknya. Menurutku itu bagus, idenya ok sih ini, jadi kita sebagai customer kalo beli tuh nggak akan takut lagi, kadang pun e-commerce yang terkenal pun masih ada penipunya juga kan, yang bikin jelek nama perusahaannya oknum-oknum tertentu.

Tapi setelah aku liat kok penggunaannya melenceng dari fungsi yang seharusnya, malah kok sebenarnya digunakan untuk mengancam individu terutama, mengintimidasi. Dan aku liat dari google berita UU ITE itu 80% tentang pencemaran nama baik. Aku merasa kalo emang kita berkata jujur tentang ketidakpuasan, kenapa sampai dikatakan pencemaran nama baik gitu kan, padahal seharusnya itu kan bisa jadi gambaran untuk berkaca dari pihak perusahaan. Kan kebanyakan yang menggunakan UU ITE ya perusahaan itu salah satunya, perusahaan yang mengkasuskan individu seperti kasusku.

Kayak, kenapa sih harus pake UU ITE? Jadi aku merasa kok penggunaannya semakin ngawur ya, kok malah aneh-aneh sih kasusnya ada aja yang nyerang, nyerang individu ketika memposting sesuatu di Facebook lah, Instagram lah, atau di Twitter sekali pun. Aku ngerasa itu nggak penting, halkaya gini ngapain sih dilaporin, gitu kan. Ketika tahu UU ITE itu mau direvisi, aku dan  teman-teman PAKU ITE tuh senang banget, tapi kok lama-lama nggak ada baunya ya… jadi nggak sih direvisi?

Terus aku merasa kalau revisi doang tuh nggak cukup sih, karena kebanyakan revisi tuh hanya mengganti beberapa bagian aja, tidak mengganti secara total gitu kan. Kalau aku sih pengennya beberapa pasal dicabut aja deh, atau misalnya mereka tidak bisa mencabut pasal karena beberapa pertimbangan ya at least misalnya pencemaran nama baik, kan sudah jelas itu antar individu, kenapa kok bisa seperti kasusku, korporasi kok bisa lolos.

Kan itu menurutku harus lebih ditekankan di UU ITE itu – objek pencemaran nama baik itu adalah individu misalnya, dan kalau di sosial media ya harus ditekankan kalau di sosmed itu harus dilihat dulu: satu, sosial media dikunci atau tidak; dua, dari kata-katanya itu memang mengandung unsur fitnah atau nggak, kalo ada kebenarannya ya berarti bukan fitnah. Kayak aku me-review itu kan bukan fitnah, tapi dianggapnya memfitnah.

Jadi harus benar-benar ditekankan sih menurutku; ya udah oke lah kalau memang tidak bisa dicabut, revisi yang benar lah, revisi total. Kalau perlu yang pencemaran nama baik individu-individu itu nggak usah ada sih mendingan. Karena menurutku nggak penting, kalau misalnya terus dilanjutin, misalnya aja rakyat Indonesia katakan 2 milyar, nanti bukan tidak mungkin yang kena UU ITE itu bisa sampai 1.5 milyar, sisanya nggak pernah kena. Itu bisa aja terjadi ya kan kalau dari pemerintahnya benar-benar nggak ada kemauan untuk dirombak gitu sih menurutku.

Interviewer: Berarti kalau dari kakak sendiri harapannya masyarakat harus apa sih kira-kira dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi atau agar orang-orang tercegah dari ancaman UU ITE?

Stella Monica: Kalau dari aku sih intinya masyarakat tuh harus melek hukum sih, meskipun kita nggak belajar tentang hukum tapi at least kita harus tau tentang hukum.

Jadi ketika kita diserang – kaya aku deh diserang sama hal-hal yang berbau hukum – aku jadi ngerti dan paham, loh harusnya kan bukan kaya gini, di pasal tuh kaya gini ketentuannya kok kamu malah nyerang aku pakai hukum? Jadi ya masyarakat tuh harus melek hukum, yang kedua, masyarakat harus bertindak itu intinya aktif bukan pasif, terutama kalau ada kasus UU ITE, karena jujur aja sih kelemahan dari kita-kita tuh terkadang tuh ketika ada kasus nggak viral, kita merasa bodo amat.

“yang kedua, masyarakat harus bertindak itu intinya aktif bukan pasif, terutama kalau ada kasus UU ITE, karena jujur aja sih kelemahan dari kita-kita tuh terkadang tuh ketika ada kasus nggak viral, kita merasa bodo amat”.

Itu aku alami dulu, kaya alah apaan sih nggak penting. Ya udah sebatas itu biarin aja.

“Makanya ini masyarakat harus kompak juga, ketika ada kasus harus peduli, jangan sampai ketika udah viral baru wah ternyata UU ITE itu bahaya ya, kaya gitu loh dan mereka juga intinya harus lebih aware, lebih mendukung kampanye terutama untuk masalah UU ITE ini.”

Tapi ketika kena dengan sendirinya tuh udah benar-benar kaya dilempar batu, ternyata berat. Makanya ini masyarakat harus kompak juga, ketika ada kasus harus peduli, jangan sampai ketika udah viral baru wah ternyata UU ITE itu bahaya ya, kaya gitu loh dan mereka juga intinya harus lebih aware, lebih mendukung kampanye terutama untuk masalah UU ITE ini.

Karena aku juga suka liat sosmed gitu kan, kaya misalnya ada campaign tentang UU ITE, ya memang sih masyarakatnya tuh banyak yang komen sama like, setuju harus revisi, tapi kadang mereka tuh action-nya cuma sampai situ aja, kaya at least lah mereka action-nya tuh nge-repost lah, entah di Instagram, di Whatsapp, terus kaya kirim di grup-grup gitu loh, mewanti-wanti.

Ya pokoknya saling bergandengan lah, even nggak kenal pun ya udah, semua harus dikasih tau. Karena aku yakin sih tentang UU ITE ini banyak yang belum tau dan itu bahaya banget.

Interviewer: Pertanyaan terakhir kak, harapan kakak apa sih bagi terjaminnya perlindungan konsumen dan kebebasan berekspresi di Indonesia?

Stella Monica: Harapannya sih untuk pemilik usaha lebih dengerin lah komplainnya konsumen, jangan sampai konsumen ketika memang ngomong kenyataan itu ada baiknya diajak ngomong baik-baik dulu, kenapa kok kamu sampai nge-review jelek kaya gini? Jangan langsung main pamer hukum, contohnya main somasi. Somasi tidak diturutin lapor ke polisi sampai ke pengadilan, semua itu kan pasti nggak habis cuma waktu jam aja, banyak kan waktu terbuang akhirnya.

Intinya sebagai pemilik usaha pun harus pinter-pinter, ketika ada konsumen mengkomplain, me-review, tuh harus dikaji lagi, jangan langsung mengatakan kamu tuh nggak bener, kamu tuh reviewmu apa, kamu tuh salah, dsb. Itu tuh nggak boleh sih menurut aku. Terus juga sebagai konsumen pun, berkaca dari pengalamanku, jangan takut untuk mengutarakan pendapat kalau memang yang kalian alami sangat tidak menyenangkan, jelek, dan tidak sesuai dengan biaya dan waktu yang kalian korbankan, karena kalian punya hak loh untuk bicara, kalian juga sudah bayar, kalian habis waktu banyak, kalian juga berkorban tenaga.
 

“… jangan takut untuk mengutarakan pendapat kalau memang yang kalian alami sangat tidak menyenangkan, jelek, dan tidak sesuai dengan biaya dan waktu yang kalian korbankan, karena kalian punya hak loh untuk bicara, kalian juga sudah bayar, kalian habis waktu banyak, kalian juga berkorban tenaga… ”
 

Itu kan nggak cuma sekali dua kali kan, apalagi kaya kasusku yang treatment gini, ya lebih hargain lah konsumen.

Intinya konsumen itu kan macem-macem juga ya, ada yang ekonomi di atas, bawah, tengah gitu kan, tapi jangan membedakan konsumen seperti itu. Jangan karena konsumen itu orang yang sangat kaya, duitnya banyak, sosialita, kamu lebih respect ke sana, sedangkan konsumen yang menengah ini kamu anggap sebagai konsumen yang biasa aja lah, alah nggak perlu lah kita terlalu welcome ke kamu, yang penting kamu bayar.

Inget loh kalau kalian nggak ada konsumen kalian nggak dapet duit, kalian nggak dapet yang namanya cuan, kita konsumen tuh sebagian besar yang kasih kalian cuan untuk keberhasilan kalian, toh kalau misalnya perusahaan jasa deh baik-baik sama konsumen, konsumen tuh secara nggak langsung akan mempromosikan kok: ini bagus loh, kamu harus kesini, aku cocok, cuma memang untuk klinik kecantikan itu kan cocok-cocokan, ya pasti kita akan kasih review bagus dong, itu kan secara nggak langsung membantu mereka.

Misalkan kaya covid gini deh, ini kan pada sepi semua, akhirnya apa… ketika kita kasih review bagus orang tuh melihat loh bagus ya sekarang mukanya, pasti tanya, Stel, kamu disana gimana, orang pasti akan penasaran, akan kesana. Lah itu contoh-contoh yang bagus, hubungan antar konsumen dan si perusahaan jasa, kalau dari awal si perusahaan jasa nih memang sifatnya arogan dan memilih-milih pasien, dan istilahnya kalau ngeliat nggak ngenakin lah, nah itu udah keliatan kalau tidak profesional.

Interviewer: Menurut Stella dulu sebelum jadi korban UU ITE, persepsi Stella kalau dengar kasus-kasus misalnya jurnalis atau aktivis HAM yang terjerat UU ITE itu perasaannya gimana sebelum dan setelah menjadi korbannya UU ITE? Apa ada bedanya?

Stella Monica: Kalau sebelum sih, aku tau kasusnya beberapa jurnalis yang dilaporin itu kena UU ITE karena berusaha mengungkap fakta tapi malah dipenjara, aku waktu baca berita tuh ketawa sih kaya, kok aneh sih, maksudnya jurnalis itu kan ya kewajibannya seperti itu, ketika jurnalis dapet perintah dari atasannya ya mereka mau nggak mau harus melakukannya, ya masa nolak kerjaan. Kalau nolak ya mereka pasti dimarahi dong sama atasan. Terus ya nggak sampai di penjara lah, maksudnya paling habis ini kelar lah.

Tapi, setelah aku kena ITE tuh kan se-group sama Mas Asrul juga, itu ternyata masih berjalan kasusnya, aku kaget, loh perasaan aku liat kasusnya ini udah lumayan lama, kok masih barengan sama aku.

Orang berusaha mengungkap fakta dan bukti-buktinya pun udah ada, kalau yang diberitakan jurnalis itu memang ada fakta peristiwa seperti itu, tapi yang aku sesali kenapa kok dari penegak hukumnya kok bisa-bisanya meloloskan laporan seperti itu loh Mas.

Terus ya ternyata lama-lama nggak cuma Mas Asrul, beberapa jurnalis juga kena kan akhirnya karena hal sepele, dari situ aku merasa ya kalau nggak mau dimasukin di headline news ya berbuat baik aja gitu, nggak usah aneh-aneh gitu loh. Orang berusaha mengungkap fakta dan bukti-buktinya pun udah ada, kalau yang diberitakan jurnalis itu memang ada fakta peristiwa seperti itu, tapi yang aku sesali kenapa kok dari penegak hukumnya kok bisa-bisanya meloloskan laporan seperti itu loh Mas.

Itu yang sampai sekarang itu aku kesel aja sih kalau inget-inget, kok bisa [laporannya] lolos, padahal sudah tau kalau itu tuh memang ada buktinya kuat, tapi kok lolos yaa.

Interviewer: Jadi sebenarnya Stella dulu pernah ngobrol-ngobrol gitu nggak sama jurnalis-jurnalis yang kena UU ITE gitu?

Stella Monica: Belum sih, selama ini aku sama Mas Asrul itu kaya di grup aja, jadi Mas Asrul tuh ya minta tolong sebarin artikel kasusnya Mas Asrul itu, terus ya kan waktu itu ada yang tanya sih, Mas Asrul kenapa sih kejadian awalnya, itu aku menyimak sih, kaya ya berusaha mengungkap fakta tapi malah kena. Akhirnya tanya sama Anin,”loh nin emang ini dia ini nggak bisa mediasi aja?”, “Ya nggak mau, pelapornya kekeh pengen lanjut”, 11-12 sama kasusku cuma bedanya satunya perusahaan terus satunya ya itu berbau politik itu.

Interviewer: Kalau sekarang karena Stella juga kasusnya paling nggak agak lega dikit, udah ada keputusan walaupun masih ada kasasi, ada message nggak yang mau disampaikan ke teman-teman jurnalis yang kena UU ITE atau pun mungkin ke general public, orang-orang biasa yang sekarang sedang menghadapi UU ITE, ada pesan nggak?

Stella Monica:

Yang pasti jangan nyerah, soalnya susah sih Mas kita ini kan rakyat kecil ya, yang bisa mencabut undang-undang itu ya cuma orang yang membuatnya dan lembaga-lembaga yang terkait, kita nggak punya kekuatan untuk mencabut itu kan, cuma ya aku sih cuma bisa kasih saran juga, berhati-hati, karena sekarang itu sosmed bisa jahat sih. Bukan sosial medianya yang jahat, orangnya yang jahat.

“yang pasti jangan nyerah, soalnya susah sih Mas kita ini kan rakyat kecil ya, yang bisa mencabut undang-undang itu ya cuma orang yang membuatnya dan lembaga-lembaga yang terkait, kita nggak punya kekuatan untuk mencabut itu kan,”

Kaya kasusku, orang yang aku kenal baik ternyata jadi pengkhianat, jadi cepunya yang ke sana (pihak pelapor). Intinya hati-hati kalau memposting sesuatu, terus kalau memang misalnya kita merasa kepahitan dengan satu hal, sama teman deh misalnya, lebih baik ya coba diselesaiin baik-baik lah, kalau misalnya nggak bisa baik-baik ya coba aja bawa ke jalur hukum tapi jangan dari sosmed.

Kalau yang kasusku aku sudah komplain berkali-kali tapi tetap tidak respon dan aku memang bikin review itu bukan semata-mata, oh aku bikin komplain nggak direspon nih, ya udah buat sosial media, nggak. Cuma mereka menganggap seperti itu aku bodo amat ya udah gitu kan, pokoknya ya sekarang semuanya itu harus berpikir dua kali lah, terutama di sosmed, sosmed itu memang apa pun terserah kita tapi harus hati-hati.

Interviewer: Pertanyaan terakhir, misalnya di Zoom meeting ini ada Pak Presiden Jokowi, Stella sebagai penyintas UU ITE, Stella mau ngomong apa?

Stella Monica:

“Halo Pak Jokowi, saya Stella Pak, saya dulu kena UU ITE karena dibilang mencemarkan nama baik sama salah satu klinik di Surabaya, saya berharap Pak Jokowi mendengarkan suara kita rakyat kecil ini yang sering ditindas, diancam pakai UU ITE ini. Intinya, kalau misalnya dari Pak Presiden tidak menegaskan tentang revisi atau perombakan secara total UU ITE, mau jadi apa generasi selanjutnya Pak?”

Halo Pak Jokowi, saya Stella Pak, saya dulu kena UU ITE karena dibilang mencemarkan nama baik sama salah satu klinik di Surabaya, saya berharap Pak Jokowi mendengarkan suara kita rakyat kecil ini yang sering ditindas, diancam pakai UU ITE ini. Intinya, kalau misalnya dari Pak Presiden tidak menegaskan tentang revisi atau perombakan secara total UU ITE, mau jadi apa generasi selanjutnya Pak?
Aku cuma bisa bilang gitu sih, karena kalau kaya gini kan lama-lama mentalnya masyarakat lain kaya, oh ada ITE, masuk ITE aja, laporin ITE, jadi dikit-dikit main ITE, jadinya apa? Lama-lama bisa penuh Pak penjara.

Terus orang-orang yang seharusnya bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya gara-gara hal sepele masuk penjara, terus nggak bisa kerja karena SKCKnya jelek, kaya aku nih SKCK ku masih ketahan, kan nggak enak ya.

Kita ini kan generasi yang unggul tapi malah generasinya turun semua hanya karena hal sepele. Kita kan hanya mengkritik apa yang kita rasakan, tapi kalau misalnya seperti mahasiswa atau aktivis mengkritik pemerintahan misalnya, akan lebih baik coba deh diterima kritik itu dengan baik, istilahnya dengan kepala dingin, jangan langsung kaya diancam gitu.

Kita memberi kritik juga kan demi kebaikan negara, bukan semata-mata kita mengkritik tanpa berpikir panjang, itu sih yang aku mau sampaikan ke Pak Presiden sih supaya Pak Presiden lebih bisa melihat ternyata UU ITE tuh banyak sekali loh merenggut masa depan orang itu udah nggak main-main, berarti sudah aware, darurat banget kan. Karena di luar negeri pun selama aku pernah ke luar negeri dan punya teman-teman di luar negeri pun UU ITE tidak segitunya, kenapa cuma disini aja dijadikan tameng untuk mengancam seseorang. Kalau kaya gini kan lama-lama mentalnya masyarakat lain kaya oh ada ITE, masuk ITE aja, laporin ITE, jadi dikit-dikit main ITE, jadinya apa? Lama-lama bisa penuh Pak penjara.

Kalau kaya gini kan lama-lama mentalnya masyarakat lain kaya oh ada ITE, masuk ITE aja, laporin ITE, jadi dikit-dikit main ITE, jadinya apa? Lama-lama bisa penuh Pak penjara.

Interviewer: Ok, terima kasih banyak Stella.

Selama UU ITE belum direvisi, #SemuaBisaKena.

Mari terus desak revisi pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE yang berpotensi mengancam hak atas kebebasan berekspresi kita!

Hentikan kriminalisasi ekspresi pembela HAM Fatia Maulidyanti

Desak perlindungan untuk Fatia dan semua pembela HAM yang dikriminalisasi hanya karena bicara data dan fakta.