Semua yang perlu kamu ketahui tentang temuan Ombudsman RI soal TWK pegawai KPK

Dalam sebuah konferensi pers pada tanggal 21 Juli 2021, Ombudsman RI mengumumkan bahwa mereka menemukan adanya maladministrasi dalam proses pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Apa sih Ombudsman itu? Apa yang dimaksud dengan maladministrasi? Dan apa sebenarnya masalah dalam proses pengalihan status itu? Simak penjelasan berikut untuk tahu semuanya.

Apa sih Ombudsman RI dan apa kewenangannya?

Ombudsman merupakan suatu lembaga negara yang berperan sebagai medium pengaduan masyarakat terhadap masalah sistemik yang mengarah pada pelayanan publik yang buruk atau pelanggaran hak-hak masyarakat.

 Di Indonesia, Ombudsman berfungsi sebagai pengawas penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.

Jika Ombudsman menemukan adanya maladministrasi, yang didefinisikan sebagai “perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses administrasi pelayanan publik”, mereka memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi, kesimpulan, pendapat, atau saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman untuk ditindaklanjuti pihak terkait dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik.

Maladministrasi dapat berupa, antara lain, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum, tindakan diskriminatif.

Kenapa proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN diadukan ke Ombudsman?

UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai “Revisi UU KPK” mengamanatkan seluruh pegawai KPK agar statusnya dialihkan menjadi ASN. Tapi Revisi UU KPK tidak menjabarkan bagaimana seharusnya proses pengalihan status tersebut berlangsung.

Pada Januari 2021, pimpinan KPK menetapkan Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Aparatur Sipil Negara (Perkom No. 1 Tahun 2021).

Menurut Pasal 5 ayat (4) peraturan tersebut, pegawai KPK diwajibkan mengikuti proses asesmen “tes wawasan kebangsaan” atau TWK yang dilaksanakan oleh KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai syarat pengalihan status menjadi ASN.

Nah, sebetulnya tes yang menguji wawasan kebangsaan cukup umum dilakukan di instansi-instansi pemerintah. Biasanya tesnya memuat pertanyaan seputar UUD 1945, Pancasila, atau sejarah Indonesia. Tapi dalam proses TWK yang dilalui pegawai KPK pada bulan Maret 2021, banyak pertanyaan  yang  sangat subjektif, berbau pelanggaran privasi, dan cenderung bersifat diskriminatif, mulai dari: agama, pandangan politik, hingga ranah yang lebih pribadi seperti seksualitas.

Beberapa pertanyaan yang dilaporkan oleh pegawai KPK termasuk “apakah punya pacar?”, “kalo dengan pacar ngapain saja?”, “kenapa tidak menikah?”, “masih memiliki hasrat seksual atau tidak?” dan “pilih Pancasila atau Al-Quran”.

Padahal, perlindungan hak atas privasi dan non-diskriminasi khususnya dalam memperoleh pekerjaan sudah jelas dimuat dalam hukum Indonesia maupun instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Hal ini akhirnya berujung pada 75 pegawai KPK dianggap tidak lolos TWK, yang terdiri dari 51 pegawai yang diberhentikan dan 24 lainnya “dibina”. Para pegawai yang tidak lolos ini akhirnya menuntut keadilan dan melaporkan permasalahan ini ke beberapa lembaga negara, di antaranya adalah Komnas HAM dan Ombudsman RI melalui tim advokasi “Selamatkan KPK”, terkait adanya dugaan “penyimpangan prosedur”.

Nah, pada hari Rabu, 21 Juli 2021 silam, Ombudsman RI melaporkan hasil investigasi terkait proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN yang temuan-temuannya memperlihatkan bahwa proses tersebut mengandung banyak sekali maladministrasi.

Apa saja temuan Ombudsman RI?

Pada tanggal 21 Juli 2021, Ombudsman RI mengadakan konferensi pers terkait hasil temuan investigasi tentang proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Dalam konferensi pers ini, Ombudsman RI menyatakan bahwa terdapat berbagai maladministrasi dalam proses tersebut, mulai dari pembentukan kebijakan, pelaksanaan asesmen TWK, hingga penetapan hasil asesmen tersebut. Adapun maladministrasi yang dilakukan oleh KPK berupa:

  1. Penyimpangan prosedur

Dalam tahap penyusunan regulasi, penyimpangan prosedur terjadi pada saat pelaksanaan rapat harmonisasi. Selain itu, KPK juga tidak menyebarluaskan informasi ihwal rancangan Peraturan KPK pada sistem informasi internal setelah dilakukan proses perubahan terhadap rancangan Peraturan KPK tersebut.

  1. Penyalahgunaan wewenang

Dalam tahap penyusunan regulasi, penyalahgunaan wewenang terjadi dalam hal penandatanganan berita acara pengharmonisasian yang dilakukan oleh pihak yang justru tidak hadir pada rapat harmonisasi tersebut: Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. Penyalahgunaan wewenang ini dilakukan oleh Menteri PAN-RB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, lima Pimpinan KPK, Ketua KASN dan Kepala LAN.

  1. Tidak kompeten

Pada tahapan pelaksanaan asesmen TWK, ditemukan maladministrasi di mana BKN tidak berkompeten dalam melaksanakan asesmen TWK. Dalam pelaksanaannya, BKN ternyata tidak memiliki alat ukur, instrumen dan asesor untuk melakukan asesmen tersebut. Pada akhirnya menggunakan instrumen yang dimiliki Dinas Psikologi AD dan pada saat pelaksanaan asesmen TWK, pihak BKN hanya bertindak selaku pengamat dan asesmen sepenuhnya dilakukan oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat (DISPSIAD), Badan Intelijen Strategis (BAIS-TNI), Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat (PUSINTEL AD), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).

  1. Pengabaian

Maladministrasi juga terjadi dalam penetapan hasil asesmen TWK. KPK sebagai Lembaga Negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif mengabaikan pernyataan Presiden pada tanggal 17 Mei 2021, yang menegaskan bahwa “hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan terhadap individu maupun institusi KPK; tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes”. KPK juga telah mengabaikan amar Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan proses alih status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk menjadi ASN.

  1. Bertindak tidak patut

Sebagai akibat dari pengabaian di atas, Ketua KPK juga dianggap telah melakukan perbuatan tidak patut dengan menerbitkan SK No. 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen TWK Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN karena merugikan hak pegawai KPK, meski sudah ada arahan dari Presiden serta putusan hukum yang mengikat, yakni Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019.

Apa langkah ke depannya?

Berdasarkan hasil investigasi Ombudsman RI, terdapat beberapa tindakan korektif yang diberikan kepada KPK dan BKN, serta saran untuk Presiden.

Ombudsman RI mendesak Pimpinan KPK dan Sekjen KPK agar:

  1. Memberikan penjelasan kepada pegawai KPK perihal konsekuensi pelaksanaan asesmen TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah;
  2. Hasil asesmen TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan, baik terhadap individu maupun institusi KPK dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat.
  3. Terhadap Pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
  4. Mengalihkan status 75 Pegawai KPK tersebut menjadi pegawai ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021.

Ombudsman RI juga mendesak Kepala BKN agar menelaah aturan dan menyusun roadmap berupa mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terhadap pengalihan status pegawai menjadi pegawai ASN dalam rangka perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian di masa yang akan datang.

Selain itu, Ombudsman RI juga memberi saran kepada Presiden agar:

  1. Mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) KPK terkait pengalihan status 75 (tujuh puluh lima) Pegawai KPK menjadi pegawai ASN.
  2. Melakukan pembinaan terhadap Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menteri Hukum-HAM, serta Menteri PAN-RB bagi perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian yang berorientasi kepada asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik.
  3. Melakukan monitoring terhadap tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman kepada BKN untuk menyusun roadmap manajemen kepegawaian, khususnya tentang mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terkait pengalihan status pegawai menjadi pegawai ASN di masa depan.
  4. Memastikan bahwa pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan dalam setiap proses manajemen ASN dilaksanakan sesuai dengan standar yang berlaku.

Bagaimana jika KPK dan BKN tidak melaksanakan ‘tindakan korektif’ yang diberikan oleh Ombudsman RI?

Menurut Pasal 16 ayat (4) Peraturan Ombudsman RI No. 38 Tahun 2019, jika KPK dan BKN tidak melaksanakan tindakan korektif dalam jangka waktu 30 hari, maka Ombudsman RI akan mengeskalasikan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut menjadi Rekomendasi. Pihak terlapor wajib untuk melaksanakan rekomendasi dalam jangka waktu 60 hari. Jika rekomendasi masih belum mempan, maka Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Jika hal ini juga masih belum bisa menyelesaikan sengketa, maka DPR dan Presiden berhak untuk memberikan sanksi administratif terhadap KPK dan BKN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kenapa kita harus peduli tentang ini?

Masalah TWK ini bukan hanya tentang hak-hak pegawai KPK sebagai individu, tapi juga tentang pelemahan upaya pemberantasan korupsi yang dibutuhkan untuk menjamin hak-hak masyarakat secara keseluruhan.

Korupsi yang terjadi di lingkup peradilan telah melemahkan hak masyarakat atas perlindungan hukum, sementara korupsi di sektor lingkungan dan sumber daya alam telah menyebabkan maraknya penggusuran dan kriminalisasi masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah. Korupsi di sektor lingkungan juga telah menyebabkan berbagai kerusakan dan bencana lingkungan yang masif, yang telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian ekonomi, baik bagi masyarakat maupun negara. Sementara penggelapan dana yang berkaitan dengan pemenuhan hak ekonomi dan sosial masyarakat, termasuk bantuan sosial, menghalangi distribusi kebutuhan pokok bagi mereka yang tidak memiliki akses dengan kemampuannya sendiri.

Karena itu, kita harus mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan pemberhentian 51 pegawai KPK, memastikan bahwa asesmen di lembaga pemerintah berlangsung tanpa diskriminasi, memastikan adanya pencegahan terhadap pelanggaran hak lainnya di lembaga pemerintah, dan memastikan adanya jaminan keamanan dan perlindungan hukum pada para pegawai yang mengajukan keberatan atas pemberhentian tersebut.

Beri dukunganmu kepada KPK melalui petisi ini!