RKUHP Segera Disahkan, tapi Pembahasan Pasal Bermasalah Masih Belum Partisipatif dan Transparan! 

Pemerintah dan DPR sudah menyepakati pengesahan tahap I Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Rapat Komisi III DPR tanggal 25 November 2022. Pemerintah menargetkan untuk segera mengesahkannya antara November-Desember 2022.

Meski pemerintah sudah melakukan sosialisasi RKUHP ke publik sejak 2019, masih dipertahankannya pasal-pasal RKUHP bermasalah belum menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR mempertimbangkan masukan substantif dari partisipasi aktif dan bermakna oleh masyarakat terkait revisi RKUHP. 

Padahal, partisipasi aktif dalam pembentukan aturan pidana sangat penting karena bisa berdampak pada hak asasi kita. Apalagi, beberapa pasal di RKUHP mengancam ruang kebebasan sipil yang akhir-akhir ini semakin menyempit dengan banyaknya kriminalisasi terhadap pembela HAM, aktivis, bahkan masyarakat umum yang menyuarakan pendapatnya.

Aksi Tolak RKUHP © Lembaga Pers Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah / Journo Liberta

Gimana Sejarah RKUHP?

Tahukah kamu, kalau aturan hukum pidana kita bersumber dari hukum zaman Belanda yang sudah ada sejak lebih dari 100 tahun lalu? Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (WvS) Stb No.732/ 1915 mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Lalu, UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan UU No. 73/1958 memberlakukan WvS, atau yang lebih dikenal dengan KUHP, sebagai Peraturan Hukum Pidana Nasional.  

Upaya pembaruan KUHP sudah dimulai sejak 1958. Di tahun yang sama, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) didirikan. Pada 2012, wacana revisi KUHP pertama kali disampaikan ke DPR oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali rencana revisi ke DPR dan menerbitkan Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015 pada 5 Juni 2015, yang ditindaklanjuti dengan pembahasan intensif selama lebih dari empat tahun.  

Terus, gimana perkembangan terbaru revisi KUHP? 

Walau sudah mendapat kritik dan masukan dari masyarakat, tetapi pemerintah masih juga tidak mengakomodasi masukan itu secara bermakna. Perubahan yang terjadi dari RKUHP versi 4 Juli 2022 ke RKUHP versi 9 November 2022 tidak signifikan. Pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi masih hadir dengan ancaman pemidanaan. Hukuman mati masih dipertahankan, begitu pula pasal tentang makar dengan definisinya yang terlalu lentur masih ada di draf terbaru itu. 

Kita tahu, RKUHP ini sudah melalui jalan yang panjang dan berliku. Pada 18 September 2019, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati RKUHP dalam Pembahasan Tingkat I untuk dibahas dalam Pembahasan Tingkat II, yakni pengambilan keputusan di Rapat Paripurna. Substansi RKUHP yang dianggap bermasalah menyebabkan masyarakat turun ke jalan untuk aksi pada 23 sampai 30 September 2019. Aksi berlangsung di berbagai kota besar di Indonesia seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, dan Palu. Akhirnya, pada 26 September 2019, pemerintah menunda pembahasan RKUHP pada Pembahasan Tingkat II.  

Sekarang, RKUHP masuk Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022 berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 8/DPR RI/2021-2022. 


RKUHP direncanakan akan diselesaikan pada Masa Sidang ke-V DPR RI tahun 2022. Besar kemungkinan RKUHP versi 9 November itu tidak akan banyak berubah dan akan disahkan menjadi undang-undang sebelum tahun ini berakhir. 

Ada poin-poin dalam RKUHP yang bisa mengancam hak asasi kita, lho! 

Ada beberapa pasal dalam RKUHP yang punya potensi multitafsir dan jadi pasal karet, dan bisa mengancam ruang kebebasan sipil yang semakin menyempit. Pasal-pasal tersebut berpotensi:  

  1. Membungkam kebebasan sipil, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta kebebasan pers dengan adanya antara lain:
  • Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
  • Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah.
  • Pasal tentang penyiaran berita bohong.
  • Pasal tentang penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu.
  • Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
  • Pasal tentang pencemaran nama baik.
  • Pasal tentang pencemaran orang mati.

Pasal-pasal tersebut berpotensi membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat, serta rentan disalahgunakan untuk merepresi pihak yang kritis terhadap pemerintah. Padahal,  hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 
 

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
  1. Melanggar hak hidup. RKUHP masih saja mengadopsi hukuman mati sebagai salah satu opsi hukuman pidana. Hukuman mati seharusnya dihapuskan secara total karena merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup yang dilindungi oleh hukum internasional. 
     
Aksi Tolak RKUHP © Lembaga Pers Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah / Journo Liberta

Emang kenapa kalau proses revisi KUHP nggak melibatkan warga? 

Kita berhak berpartisipasi dalam aturan hukum dan kebijakan yang bisa mempengaruhi hak asasi kita, lho!  

Hak ini dijamin dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang disahkan PBB pada 16 Desember 1966 dan diratifikasi oleh Indonesia pada 28 Oktober 2005 melalui UU No. 12/2005.  

Kita berhak ikut serta dalam pelaksanaan urusan publik , baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Hak ini dinyatakan dalam pasal 25 (a) ICCPR. Penjelasan mengenai hak tersebut juga diperkuat melalui komentar umum No. 25 terhadap Pasal 25 (a) ICCPR.  

Kita juga punya hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dalam bentuk apa pun. Hak ini dinyatakan dalam pasal 19 (2) ICCPR. Paragraf 18 Komentar Umum Komite HAM Nomor 34 Tahun 2011 menjelaskan bahwa kita berhak atas informasi yang dimiliki oleh badan publik atau lembaga yang menjalankan fungsi publik. Lembaga publik yang dimaksud termasuk lembaga negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 

Komunikasi atas informasi dan gagasan yang terbuka tentang isu yang menyangkut hak publik juga sangat penting untuk diwujudkan. Hal ini ditekankan dalam Komentar Umum Komite HAM PBB terkait hak partisipasi publik. Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB juga menekankan perlunya transparansi dalam pemerintahan. Negara harus mendukung dan mendorong keterlibatan warga sehingga ada interaksi terbuka dan jujur antara otoritas publik dan semua anggota masyarakat. 

Selain itu, dalam proses pembentukan aturan perundang-undangan, hukum nasional mengakui ada setidaknya tiga prasyarat hak warga atas partisipasi bermakna yang harusnya wajib dipenuhi:   

  1. Hak untuk didengarkan pendapatnya. 
  1. Hak untuk dipertimbangkan pendapatnya. 
  1. Hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. 

Tiga prasyarat terpenuhinya hak warga atas partisipasi bermakna ini termaktub dalam Penjelasan Umum atas UU nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Tidak dipertimbangkannya kritik masyarakat terhadap pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP melanggar hak warga atas partisipasi bermakna. Sikap pemerintah dan DPR ini juga mencederai semangat transparansi kebijakan publik ke masyarakat sebagai pihak yang akan menjadi subjek hukum. Mengingat pada 2019 RKUHP sangat tidak disetujui oleh masyarakat hingga menimbulkan protes besar, dan hingga sekarang pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi masih dipertahankan, ini jelas bentuk pengabaian suara masyarakat oleh pemerintah dan DPR.

Terus kita harus apa dengan wacana pengesahan RKUHP?  

Kita berhak berpartisipasi dalam urusan publik, dan karena aturan ini akan berdampak sangat besar bagi hidup kita, pemerintah dan DPR harus memberikan transparansi dan keterbukaan untuk memenuhi hak ini. Pasal-pasal bermasalah seperti pasal yang mengekang ruang kebebasan sipil dan pasal yang melanggar hak hidup seperti pasal tentang hukuman mati harus dikaji ulang dengan mendengar masukan dari publik.  

Pada 2019, suara masyarakat berhasil menunda pengesahan RKUHP yang saat itu telah disetujui di tingkat pertama dan siap disahkan di rapat paripurna. Tahun ini, kita tidak boleh berhenti mendesak pemerintah dan DPR buka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna. Pemerintah dan DPR harus dan cabut pasal bermasalah dalam RKUHP yang dapat mengancam hak asasi kita, dan tunda pengesahan RKUHP sebelum pasal-pasal bermasalah dihapus atau direvisi!  


Ingin mempelajari hakmu dan memperjuangkannya?

Bergabung jadi pendukung Amnesty International

Dapatkan edukasi HAM dan jadi bagian dari gerakan yang memperjuangkan HAM untuk semua orang, kapan pun, dan di mana pun.