Presiden Jokowi Mau Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Di Luar Jalur Hukum? 

Baru-baru ini, dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada Selasa, 16 Agustus 2022, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa dia telah menandatangani Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Tapi, setelah Presiden mengakui telah menandatanganinya dalam Pidato Kenegaraan, sampai sekarang, dokumennya belum bisa diakses. Keppres ini dikhawatirkan malah melanggengkan impunitas atau ketiadaan hukuman terhadap pelaku, dan melanggar hak korban untuk mengakses keadilan melalui proses hukum yang transparan, adil, dan tidak memihak.

Apa aja masalah dalam Keppres tersebut?

  • Penuntasan pelanggaran HAM berat di luar jalur hukum secara tunggal tidak ada dalam UU tentang HAM maupun UU Pengadilan HAM.

Penuntasan kasus hanya secara non-yudisial tidak dikenal dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meski mekanisme non-yudisial dapat juga dilakukan melalui rekonsiliasi, tapi UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih dalam tahap pembahasan di Kemenkumham, yang dikhawatirkan tidak dapat menjamin hak korban pelanggaran HAM berat.

  • Berpotensi melanggengkan impunitas

Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu berisiko menghilangkan proses yudisial dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. 

Jangan sampai ada korban, tapi tidak ada pelaku yang diadili di pengadilan melalui Pengadilan HAM. Negara seharusnya memberi penjelasan tentang kerangka penyelesaian pelanggaran HAM berat secara komprehensif, dan menegaskan bahwa rehabilitasi yang akan dilakukan tidak menggantikan bentuk penyelesaian lainnya, terutama penyelesaian melalui jalur hukum atau yudisial. 

Bentuk penyelesaian komprehensif seharusnya mencakup pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas reparasi yang termasuk hak atas rehabilitasi, jaminan ketidakberulangan kejahatan di masa depan, hingga hak atas keadilan hukum berupa penuntutan pelaku di pengadilan.

Kenapa usut tuntas kasus pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM itu penting banget?

Penuntasan kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh, termasuk pemenuhan hak korban dan penghukuman pelaku secara efektif melalui pengadilan HAM sangat penting. Kalau kasus pelanggaran HAM tidak diusut tuntas, pelanggaran HAM serupa dapat terus berulang.
Saat ini, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan Komnas HAM yang belum tuntas penanganannya: 

  • Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999
  • Mei 1998
  • Wasior 2001-2002
  • Wamena 2003
  • Penghilangan orang secara paksa 1997-1998 
  • Talangsari 1989
  • Peristiwa 1965-1966
  • Penembakan misterius 1982-1985
  • Jambo Keupok 2003
  • Simpang KKA Aceh 1999 
  • Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989
  • Tragedi Paniai 2014

Dari 12 kasus tersebut, satu-satunya kasus yang sudah masuk ke peradilan adalah kasus Paniai.

Gimana mekanisme pengadilan HAM?

Di Indonesia, mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat diatur dalam Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM akan melakukan penyelidikan dan menentukan unsur pelanggaran HAM dalam suatu kasus. Lalu, Jaksa Agung selaku penyidik menentukan tersangka, membuat tuntutan, dan memproses kasus di pengadilan. Kasus kemudian disidang di pengadilan HAM oleh lima orang Majelis Hakim, tiga di antaranya dari tim Ad Hoc. Tim Ad Hoc dibentuk atas usul DPR dan disahkan melalui Keputusan Presiden. 

Apakah pengadilan HAM telah efektif menjamin hak korban?

Pada praktiknya, pengadilan HAM belum dilaksanakan secara efektif di Indonesia. Misalnya, pada kasus Tanjung Priok (1984), pengadilan HAM Ad Hoc tingkat pertama memutus bersalah terdakwa pelaku pelanggar HAM. 

Tapi, para terdakwa melakukan banding ke Pengadilan Tinggi dan diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas itu juga menggugurkan kewajiban negara untuk memberi ganti rugi dan pemulihan kepada korban.

Kenapa negara kelihatannya sulit banget mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat?

Kurangnya komitmen pihak-pihak tertentu dalam menyelesaikan kasus, sistem hukum yang kurang memadai untuk mengadili pelaku, hingga proses politik sarat kepentingan menjadi hambatan-hambatan utama penuntasan kasus pelanggaran HAM. 

Relasi kuasa pihak-pihak yang berkuasa juga seringkali lebih kuat hingga menempatkan kepentingan politik di atas kemanusiaan, sementara pelanggaran HAM terus terjadi, dan semakin banyak korban menderita.

Di Indonesia, bolak-balik pengembalian berkas antara Komnas HAM (penyelidik) dan Jaksa Agung (penyidik dan penuntut), menjadi salah satu penghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Kejaksaan Agung kerap menyebut kurangnya bukti dalam penyelidikan, bahkan hilangnya dokumen penyelidikan, sebagai faktor yang menghambat penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Selain itu, beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM berat malah menjadi pejabat pemerintah. Padahal, terduga pelaku, apalagi pelaku, tidak seharusnya terlibat aktif dalam menentukan kebijakan publik. Misalnya, jika mereka memanipulasi penegakan hukum untuk menguntungkan mereka atau membuat mereka bisa lolos dari hukuman, mereka jadi sulit dihukum. 

Apa yang harusnya dilakukan negara?

  • Mengadili pelaku pelanggaran HAM berat secara hukum sesuai standar HAM internasional melalui Pengadilan HAM Ad hoc sesuai UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
  • Menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM melalui pembuatan kebijakan, legislasi, regulasi, dan sistem pengadilan yang memadai dan efektif untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM
  • Mereformasi sistem penegakan hukum agar berorientasi HAM.

Ingin tahu kabar terbaru tentang HAM?

Bergabung jadi pendukung Amnesty International

Dapatkan kabar terbaru dan konten edukasi HAM.