Cerita Bu Sumarsih: Cinta untuk Wawan, Bara Api Perlawanan

“Kami sekeluarga selalu santap malam bersama. Anak-anak saya, Wawan dan Irma antusias bercerita tentang pengalaman menarik mereka di kampus dan sekolah. Saya masih ingat betul kala itu Wawan menyebutkan tentang agenda reformasi. Kami pun sahut-sahutan karena saya sebagai pekerja di DPR dan bapaknya Wawan di lembaga penelitian juga tak asing dengan isu yang diperjuangkan mahasiswa. Sayur asem, empal dan tempe goreng tepung adalah kesukaan Wawan.”

Maria Katarina Sumarsih, akrab disapa Bu Sumarsih, mengingat kembali memori bersama Wawan sebelum penembakan mengenaskan yang menyasar sejumlah mahasiswa pasca reformasi 1998 atau yang kita ingat sebagai tragedi Semanggi I. Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan adalah salah satu korbannya. Menyisakan duka dan kehilangan yang mendalam bagi Sumarsih dan keluarganya.  

Foto closeup Wawan terpampang di kaos hitam yang dikenakan Sumarsih saat ditemui di rumahnya di bilangan Meruya Selatan, Jakarta Barat. Hari itu Sumarsih sedang bersiap pergi ke depan istana, sama seperti Kamis-kamis sebelumnya.  

Sebelum mulai berbincang, Sumarsih mempersilahkan saya untuk makan siang. Tempe dan bandeng yang sudah dilumuri bumbu ia keluarkan dari kulkas untuk digoreng. Di tungku sebelahnya Sumarsih memanaskan sayur asem. Hidangan siang lengkap dengan sambel itu mengobati kerinduan saya pada rumah. 

Saya terpaksa melahap masakan itu sendirian karena Sumarsih sedang berpuasa. “Semenjak ditinggal Wawan, saya nggak bisa makan nasi,” sahut Sumarsih seraya duduk di meja makan. 

 “Saya berpuasa untuk memelihara harapan, nanti kalau sudah sore kan berharap-harap, ah sebentar lagi saya akan minum dan saya akan makan.” Menurutnya, puasa itu sama dengan proses yang ia lalui untuk bangkit dalam menghadapi kehidupan, bangkit dari duka cita dan kehilangan dengan harapan bahwa kelak korban akan mendapat keadilan. 

“Dulu cita-cita Wawan itu ingin jadi pengusaha real estate, tapi kalau keinginan ibunya ya biar dia jadi pastor.” Sumarsih tertawa sambil mengenang anak sulungnya itu. Namun ia terpaksa mengubur impiannya setelah Wawan ditembak oleh oknum saat hendak menolong temannya yang terluka saat TNI dikerahkan oleh negara untuk menghalau gerakan mahasiswa pasca reformasi. 

Mahasiswa turun ke jalan menolak Sidang Istimewa MPR RI diantaranya karena disinyalir akan dipergunakan untuk konsolidasi kroni-kroni Presiden Soeharto yang diturunkan dari jabatan presiden oleh gerakan mahasiswa 1998. Pada Jumat, 13 November 1998 menjelang penutupan Sidang Istimewa MPR RI. 

Wawan turun ke jalan bukan sebagai demonstran tetapi relawan medis yang memberikan pertolongan pertama pada teman-temannya, korban unjuk rasa yang terluka karena gas air mata atau serangan oleh aparat. 

Menurut kesaksian dari beberapa orang mengatakan bahwa Wawan meninggal dunia karena ditembak oleh aparat di halaman kampusnya ketika sedang menolong seorang korban yang juga ditembak oleh aparat. Wawan kuliah di Kampus Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. 

“Ada suster dari Rumah Sakit Carolus yang cerita ke saya kalau dulu Wawan banyak dikenal oleh para suster di Rumah Sakit Carolus dan Rumah Sakit Medistra. Kalau ke Rumah Sakit Wawan sering minta obat-obatan untuk menolong teman-temannya yang ikut demo,” tutur Sumarsih.  

“Saya belum kuat untuk membuka barang-barang peninggalan Wawan, dari dulu saya belum pernah melihat isi tasnya.”

“Saya belum kuat untuk membuka barang-barang peninggalan Wawan, dari dulu saya belum pernah melihat isi tasnya,” ungkap Sumarsih   

Duka cita seorang Ibu kini telah bertransformasi pada cinta kepada sesama, dan juga bertransformasi untuk mewujudkan apa yang diperjuangkan Wawan dan teman-temannya pasca Reformasi 1998 sekaligus perjuangan untuk menegakkan hukum dan HAM. Cintanya kepada Wawan menyemangati langkah kehidupannya. 

Kini Sumarsih telah melewati sebanyak 759 Kamis di depan Istana Negara. Payung hitam yang dipegangnya saat aksi diam berlangsung tak hanya melindungi dari panas yang menyengat maupun saat hujan turun, tapi sebagai simbol bahwa bila negara gagal melindungi hak-hak warganya, maka Tuhan akan memberikan perlindungan surgawi. 

Aksi Kamisan telah mewadahi suara-suara rakyat yang tertindas dari berbagai daerah. Petani, nelayan, buruh, dan warga masyarakat lainnya yang ruang hidupnya terampas oleh korporasi maupun proyek pembangunan sesekali datang ke Jakarta dan bergabung dengan Aksi Kamisan untuk menyuarakan hak-haknya. Aksi Kamisan menjadi ruang publik untuk menyuarakan berbagai permasalahan rakyat yang belum ditangani oleh pemerintah pusat maupun daerah. 

Lebih jauh, orang-orang muda di banyak tempat seperti Yogyakarta, Bandung, Samarinda, Makassar, Solo, dan sebagainya berinisiatif membuat Aksi Kamisan di daerah masing-masing. Setiap Kamis mereka mengajak teman sebayanya dan masyarakat umum untuk ikut memperjuangkan hak-hak korban dan melawan impunitas yang terus dilanggengkan negara. Di Samarinda misalnya, telah mengadakan Aksi Kamisan sebanyak 275 kali. 

Kasih dan cinta Ibu rupanya memang tak terhingga sepanjang masa. Seorang Ibu bertubuh kecil dan berambut putih itu telah melahirkan sebuah gerakan yang kukuh dan konstan mengingatkan pemerintah bahwa korban hari ini masih belum mendapatkan keadilan. 

Ini wawancara kami dengan Ibu Sumarsih.

Q: Apakah Ibu pernah menyangka Aksi Kamisan akan bertahan sampai 15 tahun?

Oh, engga. Awalnya ini kan inisiatif dari Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Jadi 10 Desember 2004 itu saya pernah mendapat Yap Thiam Hien Award, penghargaannya berupa uang. Penghormatannya berupa piagam. Kemudian saya mikir uang itu untuk apa? Kalau dibagi, dibaginya gimana? Karena kan kita berjuangnya sama-sama, ada aktivis, ada mahasiswa dan juga korban dari berbagai kasus. Kan saya tidak sendirian.  

Kemudian saya bilang ke Romo Sandi supaya nanti kalau ada nilai tunainya sebaiknya digunakan untuk kegiatan korban. Karena pada waktu itu Romo juga menjadi panitia pemilihan kandidat yang akan diberikan penghargaan, kemudian diputuskanlah bahwa nanti akan berdiri organisasi korban, namanya Swabella. Dipimpin oleh Bu Suciwati dan Bu Sumarsih. Setelah diumumkan, saya dan Mba Suci mengadakan rapat di kantor Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK). Lalu kami pikir-pikir nama Swabella itu terdengar sangat orde baru, ya. Kayak swakarya, swasembada begitu, ya? Akhirnya namanya diganti JSKK itu tadi. 

Kami rutin mengadakan rapat setiap hari Selasa. Kami pernah mengadakan rapat bersama KontraS dan JRKI. Di rapat itu, kami tanya apa yang seharusnya kami lakukan untuk korban. Dari KontraS bilang, “Banyak Bu yang bisa dikerjakan, bisa bikin newsletter, majalah, inisiatif penguatan ekonomi korban, dan macam-macam.  Yang ikut gabung di JSKK adalah korban/keluarga korban pelanggaran HAM bidang sipil politik, sosial dan ekonomi. Ada korban penggusuran, korban pelanggaran HAM berat dari berbagai kasus, buruh migran juga ada. 

Dalam rapat 9 Januari 2007 saya sampaikan, kalau kita bikin buku dan sosialisasi masalah HAM ke kampus-kampus, ke masyarakat, ke sekolah-sekolah. Terus kapan kita advokasi kasusnya? Bagaimana kalau kita adakan aksi rutin? Terserah mau seminggu sekali, mau dua minggu sekali, mau sebulan sekali, gitu. Akhirnya disetujui seminggu sekali, terus kemudian dipilih hari Kamis. Bercerita tentang Aksi Kamisan tuh semua orang beda-beda pengalamannya, kalo pengalaman yang saya alami ya seperti yang saya ceritakan sebagaimana tertulis di dalam catatan rapat atau catatan kegiatan lainnya. 

Lalu ada pertimbangan kalau hari Senin kan hari pertama kerja dalam satu minggu. Kalau Selasa ada konvoi sepeda motor untuk Munir. Hari Rabu ada yang kuliah. Kalau Kamis katanya Mba suci bisa ikut. Hari Jumat hari pendek, terus hari Sabtu dan Minggu libur. Akhirnya dipilihlah hari Kamis. 

Lokasinya di mana? Ada yang usul di Bunderan HI, ada yang di DPR, ada yang di Kejaksaan Agung. Terus akhirnya, Dik Yati Andriani, orang KontraS yang kemudian pernah menjadi koordinator KontraS, mengusulkan di depan Istana Negara karena istana itu lambang kekuasaan. Oke disepakati di depan istana. Tapi kan kita gak punya uang. Terus aksi diam ya, nama aksinya aksi diam. Jadi kita nanti berdiri saja, diam, selama satu jam. Kita mulainya dari jam berapa? Dari jam 4 sampai jam 5. Ketika kita diam, suara kita diwakili apa? Ya kita bikin selebaran. Nah kalau begitu, aksinya jam 4 sampai jam 5 waktunya orang-orang kantor pulang kerja jadi jalan raya rame. 

Kalo ditanya kenapa maskotnya payung, waktu itu juga gak mikir ya, kenapa kok saya ngomong payung begitu. Tapi kemudian saat diwawancara orang Kompas tentang Aksi Kamisan menulis kalau payung itu adalah lambang perlindungan, perlindungan dari panas dan hujan, perlindungan ketika kami ini tidak dilindungi negara. Saya percaya, bila negara tidak memberikan perlindungan duniawi maka Tuhan akan menganugerahi perlindungan surgawi.  

Warnanya apa? Mba Suci bilang hitam. Kalau buat saya hitam itu lambang keteguhan, bukan lambang duka cita karena duka cita saya sudah bertransformasi menjadi cinta. Ketika saya mencintai Wawan, saya juga mencintai sesama korban. Bagi saya ini adalah lambang keteguhan. Dan ternyata saya sudah 24 tahun ini hampir tidak berhenti melakukan kegiatan untuk memperjuangkan agar kasus penembakan Wawan dan kawan-kawannya ini  menjadi barometer penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Untuk mewujudkan agenda reformasi yang diperjuangkan Wawan dan kawan-kawannya, khususnya agenda reformasi ke-3, yaitu tegakkan hukum. 

Dan ternyata saya sudah 24 tahun ini hampir tidak berhenti melakukan kegiatan untuk memperjuangkan agar kasus penembakan Wawan dan kawan-kawannya ini menjadi barometer penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Untuk mewujudkan agenda reformasi yang diperjuangkan Wawan dan kawan-kawannya, khususnya agenda reformasi ke-3, yaitu tegakkan hukum. 

Waktu itu saya juga tanya sampai kapan kita terus aksi? Lalu Mba Suci bilang, “nanti sama saya, Bu.” Terus Dik Yati Indriani juga menyahut, “nanti sama saya juga, Bu.” Akhirnya saya bilang gini, “nanti kalo tiga orang saja yang ikut aksi kita bubar ya, gak diterusin,” gitu. 

Kenapa sampe kuat bertahan itu karena disemangati oleh cinta. Bagi saya, dalam cinta ada semangat dan harapan. Selama ini sampai Aksi Kamisan ke 750 yang kemarin itu paling sedikit dihadiri tujuh orang karena pada saat itu hari Kamis menjelang lebaran tahun 2022. Yang terlihat di YouTube yang dateng cuma 7 orang, tetapi sebenarnya ada 8 orang. Yang 1 pulang duluan karena khawatir sulit mencari kendaraan. Pada hari itu jalannya diblokir, ada demo di patung kuda, jadi kalo di patung kuda ada demo gitu kan jalan di sekitar istana ditutup. Terus yang ikut 8 orang itu juga pernah dua kali di bulan Desember 2007 dan Desember 2008. 

Aksi Kamisan itu sangat berarti. Aksi Kamisan itu selama ini yang membiayai masyarakat. Pernah ada yang membuatkan kaos Aksi Kamisan. Setelah saya diwawancarai oleh Metro TV, lalu suami saya ditelepon oleh seorang pengusaha yang menawarkan bantuan untuk Aksi Kamisan. Saya minta payung. 

Terus juga ada pembagian tugas dengan lembaga-lembaga seperti KontraS, Amnesty International Indonesia, dan LBH Jakarta untuk melaksanakan Aksi Kamisan. Jadi siapa bisa bantu apa, gitu. Pas ada anak ‘98 yang jadi pengusaha ia tanya, “Bu, perlu payung, ya?” “Nanti saya beliin ya, Bu.”  

Lalu ada juga ada Ibu-ibu yang sama anaknya dateng ke Aksi Kamisan terus dia bilang “Bu, ini mau sumpah pemuda ya, Bu? Nanti saya kirim uang ya, Bu.” Ngasihnya berapa? 5 juta.  

Kemudian ada seniman Indonesia yang tinggal di Brussel, ia ditawari untuk bikin pameran di museum HAM di Kanada. Seniman ini minta kami kirim 70 payung yang ada tulisannya Aksi Kamisan untuk instalasi pameran HAM. Setelah kami kirimkan payung itu kemudian diganti uang yang banyak jumlahnya. Beli payungnya cuma berapa, dikasih uangnya banyak.  

Q: Apa saja milestone atau kemenangan-kemenangan kecil yang sudah dicapai Aksi Kamisan?

Ada yang bilang Aksi Kamisan itu gak ada hasilnya. Tapi kalau buat saya hasilnya luar biasa. Kenapa luar biasa? Karena yang jelas aksi ini sudah menginspirasi anak-anak muda di berbagai kota.

Ada yang bilang Aksi Kamisan itu gak ada hasilnya. Tapi kalau buat saya hasilnya luar biasa. Kenapa luar biasa? Karena yang jelas aksi ini sudah menginspirasi anak-anak muda di berbagai kota. Mereka kemudian mengadakan Aksi Kamisan. Saya mengatakan menginspirasi karena mereka di daerah itu juga pakai payung. Mulainya ada yang dari jam 3 sampai jam 5, ada yang jam 4 sampai jam 5. Ada yang dari jam 2 sudah mulai keliling untuk mencari massa, seperti di Samarinda. Di Pekanbaru juga seperti itu, mereka jam 2 sudah ke tempat-tempat tertentu untuk ngajak teman ikut Aksi Kamisan. Mereka kemudian mengadakan Aksi Kamisan. Saya mengatakan menginspirasi karena mereka di daerah itu juga pakai payung. Mulainya ada yang dari jam 3 sampai jam 5, ada yang jam 4 sampai jam 5.

Untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM kan udah diatur di UU Pengadilan HAM. Tapi ketika pemerintah berusaha untuk menyelesaikan kasus itu di luar UU misalnya saat masa pemerintahan SBY. Saya masih ingat betul Aksi Kamisan dimulai pertama kali pada 18 Januari 2007. Di periode kedua pemerintahannya, Pak SBY membentuk Tim Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu. Kami menolak. Kemudian upaya penyelesaian non yudisial itu tidak berlanjut. Mengenai tidak berlanjutnya karena apa saya tidak tahu, tapi buktinya tidak berlanjut.  

Kemudian waktu itu Pak Albert Hasibuan sebagai Ketua KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II yang dibentuk oleh Komnas HAM diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Beberapa korban termasuk saya diajak oleh KontraS untuk menemui Wantimpres. Tapi Pak Albert ini akan mengusulkan kepada Presiden agar minta maaf kepada keluarga korban pelanggaran HAM berat dan rakyat Indonesia. 

Kalau saya menolak. Kenapa menolak? Minta maaf itu tidak perlu. Kalau menurut saya yang penting ada perubahan perilaku. Jangan kemudian ada Semanggi I, Semanggi II, ada Wasior-Wamena, Paniai, pembunuhan Munir, sampe ke Kanjuruhan ya. 

Kanjuruhan itu kan yang menembakkan gas air mata polisi, yang nendang dan mukul  itu kan tentara kalau kita lihat di siaran Kompas TV. Yang penting perilaku aparat itu harus ada perubahan. Gak perlu minta maaf, apa artinya minta maaf kalo kemudian kekerasan itu terus terjadi? 

Yang penting perilaku aparat itu harus ada perubahan. Gak perlu minta maaf, apa artinya minta maaf kalo kemudian kekerasan itu terus terjadi?

Kalau di masa pemerintahan Jokowi saya masih ingat betul waktu di kampanye pemilu 2014 Jokowi-JK punya visi misi yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Nah, Nawacita butir ff. itu presiden berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi beban politik bangsa dan seterusnya. Disebut satu persatu kasusnya; ada Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Kerusuhan 13-15 Mei 1998, penghilangan paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, Tragedi ‘65. Di butir ff. dalam Nawacita juga disebutkan berkomitmen untuk menghapus impunitas dalam sistem hukum nasional termasuk merevisi Undang-undang Peradilan Militer. 

Dengan komitmen yang sejalan dengan perjuangan Aksi Kamisan, maka saya kampanye ayo pilih Jokowi dan saya nyoblos Jokowi di Pemilu 2014. Eh, tahunya di pertengahan periode pertama Pak Jokowi mengangkat Pak Wiranto yang diduga sebagai dalang dibalik kasus pelanggaran HAM berat Tragedi ’98 termasuk Tragedi Semanggi I menjadi Menkopolhukam. Lalu Pak Jokowi membentuk Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi yang beranggotakan BIN, Mabes TNI, Mabes Polri, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan Kemenkopolhukam. Kami menolak Komite itu. Dengan cara apa? Ya kami mengirim surat ke presiden, masang spanduk, dan perlengkapan aksi lainnya.   

Pada saat Pak Wiranto menjabat sebagai Menkopolhukam itu mengusung yang namanya Dewan Kerukunan Nasional. Kami juga mengkritisinya, dan menolak. Kemudian Menko Polhukam, Wiranto mengeluarkan pernyataan bahwa fungsi dari Dewan Kerukunan Nasional itu tujuannya tidak dipergunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tetapi untuk menyelesaikan konflik horisontal, gitu. Kemudian Wiranto membentuk Tim Terpadu yang juga kami tolak karena perkara pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan di luar undang-undang yang berlaku yaitu UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. 

Kemudian menjelang Pemilu 2019, kami para korban pelanggaran HAM berat yang tergabung dalam JSKK diterima Presiden Jokowi di istana. Kami membawa laporan investigasi Semanggi I, Semanggi II, dan draf pengakuan negara bahwa kasus pelanggaran HAM yang sudah diselidiki Komnas HAM adalah pelanggaran HAM berat yang harus segera ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung ke tingkat penyidikan. Lalu saya serahkan semua berkas itu ke Pak Jokowi. 

“bagaimanapun yang namanya korban itu kan berjuangnya tidak hanya berjuang menuntut penyelesaian kasus tapi kan juga berjuang untuk bangkit, anak yang dicintai meninggal dalam waktu sekejap itu sakit rasanya.”

Nah terus saya tanya “Apakah draf pengakuan yang sudah kami haturkan kepada Bapak Presiden, Bapak berkenan untuk menandatangani sekarang?” Lalu Pak Presiden menjawab “Oh nanti dulu Bu, saya akan pelajari berkas dari Ibu dulu. Untuk perkembangan pertemuan kita selanjutnya, Ibu bisa menghubungi Pak Moeldoko, Kepala KSP.” Untuk menutup petemuaan dengan Bapak Presiden saya sampaikan bahwa di dalam berkas yang saya serahkan kepada Bapak Presdien ada dokumen yang menyebut nama Menhankam Pangab ’98. 

Tentang perkembangan Tim Terpadu tadi juga ternyata pemerintah mengklaim bahwa Komnas HAM tergabung dalam tim tersebut. Kemudian Komnas HAM mengeluarkan surat resmi bahwa Komnas HAM tidak mau menjadi anggota Tim Terpadu. Saya masih menyimpan kliping beritanya dari Harian Kompas. Lalu kami mengirimkan surat ke Kemenkopolhukam mengkritisi hal tersebut. Akhirnya, kalau tidak salah tanggal 23 Maret yang lalu saya menelusuri surat yang dikirim setiap kamis itu ya, dapet jawaban dari Menkopolhukam bahwa Tim Terpadu tidak dilanjutkan lagi.  

Selama ini Aksi Kamisan selalu menolak penyelesaian pelanggaran HAM secara non yudisial. Kami keluarga korban bersama pihak-pihak lain setiap hari Kamis di depan Istana Negara menolak terbentuknya tim penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial, kami menolak Dewan Kerukunan Nasional, menolak Tim Terpadu dan lain-lain. Hasilnya ya ternyata upaya-upaya pemerintah itu juga tidak berlanjut. 

Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada tanggal 16 Agustus 2022, Presiden Jokowi bilang telah menandatangani Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Saya langsung minta tolong teman-teman Aksi Kamisan untuk bikin spanduk yang bunyinya “Tolak Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.” 

Q: Kenapa penyelesaian pelanggaran HAM berat harus melalui peradilan HAM?

Indonesia kan negara hukum. Jadi waktu belum ada UU Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000, kami keluarga korban mencari cara untuk memperoleh keadilan, ada dari Trisakti yang mendesak supaya dibikin panitia khusus. Kalau saya berusaha untuk mencari kebenaran dulu, caranya dengan membentuk paguyuban tragedi 13-15 Mei ‘98, Semanggi I, Semanggi II, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Kami mendatangi lembaga-lembaga negara terkait untuk mencari kebenaran, kemudian disahkanlah UU Pengadilan HAM. Nah, setelah undang-undang akhirnya sekarang kami mencari keadilan. Jadi Aksi Kamisan cara kami bertahan, untuk membongkar fakta dan kebenaran, mencari kebenaran, dan melawan impunitas.

Q: Apakah Ibu pernah merasa lelah dan ingin menyerah?

Oh iya, lelah. Saya kalau sedang lelah di depan istana  nggak sadar bilang kenapa yang datang Aksi Kamisan lebih dari 3 orang. Kalau tinggal 3 orang, aksinya tidak diterusin.  Kadang-kadang putus asa. Terus yang menyemangati ya itu tadi, cinta saya kepada Wawan. Duka saya sudah bertransformasi pada cinta kepada sesama, dan juga bertransformasi pada perjuangan untuk menegakkan hukum dan HAM. Harapan saya ya semoga penyelesaian pelanggaran HAM berat ini menjadi barometer penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Tapi tidak mudah. Sekecil apapun, saya berusaha untuk memelihara harapan supaya tidak lelah. 

Q: Kenapa kita harus memelihara harapan terhadap masa depan keadilan di Indonesia, Bu?

Saya rasa satu-satunya cara untuk memperbaiki peradaban bangsa Indonesia itu dengan adanya penegakan hukum. Selama hukum tidak ditegakkan, hukum akan berpihak kepada penguasa. Maka Indonesia tidak akan lepas dari kekerasan aparat. Akan terus terjadi keberulangan pelanggaran HAM berat dan korupsi di masa depan. Pelanggaran HAM dan korupsi itu kan musuh bersama kita.  

Q: Pesan apa yang ingin Ibu sampaikan kepada orang-orang muda dan supporter Amnesty yang akan menghadapi pemerintah yang lalai dan ingkar janji terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM? 

Harapan saya terutama kepada orang-orang muda, ya, di mana pun karena masa depan itu ada di tangan orang-orang muda, termasuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, itu juga ada di tangan mereka. Harapan saya suatu saat ketika ada anak muda yang menjadi presiden agar berani menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Ketika dia berani menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, saya percaya pemberantasan korupsi pun juga akan berhasil. Itu namanya mewujudkan cita-cita reformasi menurut saya.

Mari bersolidaritas dengan korban pelanggaran HAM berat. Desak pemerintah usut tuntas kasus pelanggaran HAM berat, wujudkan keadilan dan pemulihan bagi korban, dan pastikan pelanggaran HAM berat tidak berulang.