Aparat Dalam Sorotan

Dari gerakan unjuk rasa “Reformasi di Korupsi” hingga “Mosi Tidak di Percaya”, perlakuan aparat kepolisian terhadap demonstran banyak menjadi sorotan. Sejumlah video dan laporan tentang kekerasan yang dilakukan aparat polisi-pun bermunculan. Kekerasan polisi menjadi sorotan karena erat kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Apa itu kekerasan polisi?

Kekerasan polisi dapat berupa penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pengunaan kekerasan berlebihan, dan penggunaan pasukan pengendali massa saat demonstrasi dengan sewenang-wenang hingga pembunuhan di luar hukum.

Apa yang saja kekerasan polisi yang muncul selama aksi unjuk rasa menolak Omnibus Cipta Kerja?

Aparat kepolisian menggunakan kekuatan berlebihan, menembakkan gas air mata secara langsung ke arah pengunjuk rasa, memukul dan menendang pengunjuk rasa untuk membubarkan aksi.

Bahkan, Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah membuat pernyataan resmi tentang empat relawan medisnya di Jakarta Pusat yang sempat ditabrak oleh motor polisi dan kemudian dipukul, juga oleh polisi.

Selain itu, ada pula laporan kekerasan terhadap jurnalis berupa perampasan alat kerja mereka, pemukulan dan pengeroyokan.

Mereka yang sempat ditahan-pun juga mengalami perlakuan tidak manusiawi, seperti dipaksa melepas pakaian dan merangkak, bahkan sempat tidak mendapatkan akses untuk bertemu dengan tim hukum mereka.

Apakah polisi bisa menggunakan kekerasan?

Aparat kepolisian harus mengedepankan prinsip nirkekerasan ketika ingin membubarkan masa dan demonstrasi. Pengunaan kekerasan adalah jalan terakhir. Kekerasan dan cedera harus diminimalisir (International Human Rights Standard for Police Officer: A Pocket Book on Human Rights For Police Officer).

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia juga telah secara jelas melarang segala bentuk penyiksaan, termasuk tindakan kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat polisi.

Menurut Pasal 8 Perkapolri 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat kepolisian dalam menjalankan tugas harus mematuhi perlindungan HAM, termasuk hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, serta hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Untuk itu aparat tidak boleh secara sewenang-wenang menangkap seseorang dan menyiksa tahanan yang terlibat dengan kejahatan.

Bahkan, menurut Pasal 7 Peraturan Kapolri 16/2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, aparat dilarang untuk bersikap arogan dan terpancing oleh massa, melakukan tindak kekerasan di luar prosedur, melakukan pengejaran massa secara perorangan, hingga mengucapkan kata-kata kotor dan memaki pengunjuk rasa.

Selain itu, menurut Pasal 5 Perkapolri 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, tujuan penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian ialah untuk mencegah, menghambat dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Tidak hanya itu, dalam Pasal 3 Perkapolri 1/2009 juga disebutkan bahwa penggunaan kekuatan haruslah mengedepankan prinsip proporsionalitas, yang berarti penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman dan tingkat kekuatan yang ada.

Sementara menurut Pasal 24 Perkapolri 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, polisi harus menghindari kekerasan, penganiayaan, pelecehan, dan pelanggaran hak asasi manusia ketika sedang mengamankan jalannya aksi.

Berapa banyak korban kekerasan polisi dalam demo menolak Omnibus Cipta Kerja?

Laporan komprehensif mengenai jumlah korban kekerasan polisi sedang disusun berbagai organisasi dan lembaga, termasuk Amnesty International Indonesia. Namun laporan dari lembaga bantuan hukum (LBH) di beberapa kota setidaknya menunjukkan hasil sebagai berikut:

LBH Surabaya mencatat ada 416 pengunjuk rasa yang ditangkap oleh aparat kepolisian

LBH Banda Aceh tmencatat ada 2 demonstran ditangkap di daerah Aceh Barat.

LBH Bandung menerima sekitar 200 laporan penangkapan yang masuk ke kanal pengaduan mereka.

LBH Surabaya juga mendapatkan informasi adanya 128 pengunjuk rasa ditangkap di Malang, Jawa Timur.

Polisi di Surabaya, Jawa Timur, menangkap seorang demonstran dalam aksi menolak Omnibus Cipta Kerja 6-8 Oktober 2020. Sumber: istimewa.

Lalu, apa sebenarnya peran polisi dalam aksi unjuk rasa atau demonstrasi?

Fungsi aparat kepolisian adalah sebagai penjaga keamanan dan ketertiban sosial, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pemeliharaan, dan layanan kepada masyarakat (Pasal 2 dan 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Aparat polisi harus selalu melindungi peserta unjuk rasa yang taat hukum dan tidak melakukan tindak kekerasan (Pasal 26 Perkapolri 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum)

Polisi adalah salah satu aktor utama untuk menjaga ketertiban umum dan menjaga stabilitas negara.

Bagaimana dengan akuntabilitas polisi?

Tugas polisi adalah menjamin dan melindungi masyarakat Indonesia, dan patuh dengan hukum pidana yang berlaku. Siapapun yang melanggar dan menggunakan kekerasan di luar hukum, terlepas dari jabatannya, harus diadili berdasarkan hukum yang berlaku. Segala bentuk pengunaan kekerasan berlebihan oleh aparat kepolisian harus diinvestigasi dengan independen, transparan, dan akuntabel. Berdasarkan bukti yang cukup, pelaku harus diadili di pengadilan pidana dengan memenuhi standar peradilan yang adil tanpa hukuman mati.