Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi

Mulai dari pemukulan, pelecehan, hingga kurungan isolasi (incommunicado), penyiksaan masih menyebabkan banyak orang di seluruh dunia menderita. Ironisnya, mereka yang seharusnya melindungi kita kerap jadi pelakunya. Padahal, semua orang berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Mari kita kulik lebih jauh apa yang dimaksud dengan penyiksaan dan mengapa harus dibasmi tuntas.

Apa yang dimaksud dengan penyiksaan?

Penyiksaan terjadi ketika seseorang dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang sangat serius dan kejam (fisik atau mental) kepada orang lain. 

Penyiksaan bertujuan untuk menghukum seseorang, mengintimidasi, atau mendapatkan informasi dari mereka. Penyiksaan juga kerap digunakan sebagai hukuman yang dilakukan untuk menyebarkan ketakutan di masyarakat.

Ada berbagai metode penyiksaan. Penyiksaan dapat berupa serangan fisik, seperti pemukulan dan kejutan listrik. Penyiksaan juga bisa bersifat seksual, seperti pemerkosaan atau pelecehan seksual, maupun bersifat psikologis, seperti menciptakan situasi yang menyebabkan seseorang kurang tidur, atau kurungan isolasi (incommunicado) yang berkepanjangan.

Definisi spesifik penyiksaan terkandung dalam beberapa instrumen internasional, seperti:

Definisi penyiksaan juga muncul dalam yurisprudensi dan temuan lain dari PBB dan badan perjanjian regional, serta pengadilan pidana internasional.

Ada unsur-unsur yang dapat menjadi tolok ukur penyiksaan menurut hukum internasional, yaitu:

  • Penyiksaan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan fisik dan/atau mental yang cukup serius hingga dianggap parah;
  • Penyiksaan dilakukan dengan sengaja;
  • Penyiksaan dilakukan untuk suatu tujuan atau atas dasar diskriminasi; dan
  • Ada keterlibatan pejabat negara, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam tindakan penyiksaan.

Tindakan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah tindakan yang dilarang secara hukum. Tidak ada pembenaran apa pun untuk penyiksaan.

Upaya untuk melakukan penyiksaan, serta tindakan keterlibatan atau partisipasi dalam penyiksaan, membantu negara lain untuk melakukan penyiksaan, atau kebijakan dari pejabat publik untuk menghasut, menyetujui, atau menyetujui penyiksaan, juga dilarang.

Apa bedanya penyiksaan dengan hukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat?

Suatu tindakan bisa disebut sebagai hukuman dan/atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat dan perlakuan buruk lainnya jika memiliki salah satu atau lebih elemen kunci dari penyiksaan: niat, tujuan, dan rasa sakit yang parah atau penderitaan yang cukup serius, tapi tidak memenuhi keseluruhan elemen.

Tidak seperti penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat belum didefinisikan dalam perjanjian internasional. Tapi, larangan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap integritas fisik dan mental semua individu, dan perlindungan seluas mungkin dari penyiksaan dan perlakuan buruk setiap saat.

Semua bentuk penyiksaan dan perlakuan buruk secara mutlak dilarang menurut hukum internasional – dan ini bukan hanya masalah hukum. Larangan hukum universal didasarkan pada konsensus filosofis bahwa penyiksaan dan perlakuan buruk adalah perbuatan yang mengerikan dan kejam.

Mengapa kita harus menghapuskan penyiksaan?

Penggunaan penyiksaan menghancurkan orang, merusak supremasi hukum, merusak sistem peradilan pidana dan mengikis kepercayaan publik pada lembaga publik dan negara yang mereka wakili. Hal ini menyebabkan rasa sakit dan penderitaan yang parah bagi para korban, bahkan hingga tindakan penyiksaan berhenti.

Penyiksaan, selain tidak dapat dibenarkan, juga bukan cara efektif untuk mendapatkan informasi. Sayangnya, mitos umum yang masih dipercayai adalah bahwa penyiksaan dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi dari terduga pelaku kejahatan dengan dalih menyelamatkan nyawa orang lain.

Di berbagai belahan dunia, penyiksaan masih digunakan untuk mendapatkan pengakuan dari terduga pelaku kejahatan. Padahal, informasi yang diperoleh dengan cara ini tidak dapat dipercaya karena orang akan mengatakan apa pun di bawah siksaan hanya untuk menghentikan rasa sakitnya. Mereka akan mengatakan apa yang menurut mereka ingin didengar oleh penyiksa mereka.

Bahkan, dalam hukum internasional, pengakuan yang didapatkan melalui praktik penyiksaan tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. 

Dalam istilah hukum hak asasi manusia, larangan mutlak atas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya bersifat “non-derogable” – yang berarti tidak dapat dikurangi bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.

Apa saja dampak penyiksaan dan perlakuan buruk?

Korban penyiksaan menghadapi berbagai konsekuensi jangka panjang yang sangat merugikan, baik secara fisik maupun psikologis.

Rasa sakit fisik dan psikologis yang ditimbulkan dari penyiksaan dan perlakuan buruk dapat menyebabkan rasa sakit dan cedera berat, gangguan stres pasca-trauma atau post-trauma-stress-disorder (PTSD), dan depresi. Inilah sebabnya mengapa korban penyiksaan dan perlakuan buruk harus mendapat keadilan dan memiliki akses untuk mendapatkan ganti rugi termasuk untuk keperluan pemulihan, dan pelaku penyiksaan terhadap mereka harus dibawa ke pengadilan. Pemulihan dapat mencakup perawatan medis, konseling, kompensasi ekonomi, rehabilitasi, dan reintegrasi ke dalam masyarakat.

Gimana situasi kasus penyiksaan dan perlakuan buruk dan tidak manusiawi yang merendahkan martabat kemanusiaan saat ini?

Lebih dari tiga dekade setelah Konvensi Menentang Penyiksaan mulai berlaku, penyiksaan dan perlakuan buruk masih terus terjadi. Misalnya, di Myanmar, sejak kudeta militer terjadi pada 2021, telah terjadi 150 insiden penyiksaan hingga tewas dalam penahanan dan dalam upaya penangkapan. Bentuk penyiksaan yang digunakan antara lain pemukulan, kekerasan seksual, perampasan makanan dan air serta penolakan perawatan medis.

Di Indonesia, Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tentang Situasi Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia selama periode Juni 2021 – Mei 2022 mencatat setidaknya terdapat 50 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di Indonesia. Angka tersebut tidak menutup kemungkinan adanya jumlah kasus yang lebih besar di lapangan. 

Berdasarkan 50 kasus penyiksaan yang tercatat oleh KontraS, Kepolisian masih menjadi aktor utama dalam kasus-kasus penyiksaan, yakni sebanyak 31 kasus, dilanjutkan dengan TNI (AD, AL, AU) dengan 13 kasus dan sipir sebanyak 6 kasus. Sejumlah kasus penyiksaan tersebut telah menimbulkan sebanyak 144 korban dengan rincian 126 korban luka-luka dan 18 tewas. 

Tak hanya aktor negara, KontraS juga menyoroti adanya keterlibatan aktor sipil sebagai pelaku tindak penyiksaan yang dapat dilihat secara langsung dalam kasus Kerangkeng Langkat. KontraS juga menyoroti praktik penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang masih berlangsung. Terjadi setidaknya 40 kali eksekusi cambuk yang terjadi di Provinsi Aceh.


Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyatakan, polisi telah menjadi aktor utama penyiksaan terhadap orang yang terseret kasus hukum sepanjang Januari 2021 hingga Mei 2022. 80 persen terduga pelaku adalah polisi, disusul TNI (15 persen) dan petugas sipir (5 persen). 85 persen terduga pelaku hanya diproses melalui penegakan etik di internal instansi yang tidak transparan, tanpa diikuti oleh proses penegakan hukum.

Apa saja kasus penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya yang pernah terjadi di Indonesia?

Ini beberapa di antaranya:

  • Peristiwa Talangsari 1989

Peristiwa pelanggaran HAM berat ini terjadi di Talangsari, Provinsi Lampung pada 7 Februari 1989. Keputusan Presiden Soeharto untuk menerbitkan UU nomor 3 tahun 1985 dan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang kewajiban semua partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia agar menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal dan melarang azas lainnya memicu penolakan dari warga desa Talangsari yang ingin menjalankan syariat Islam. 

Pemerintah Orde Baru menuding warga desa Talangsari melakukan gerakan subversif yang ingin menggulingkan pemerintahan. Akibatnya, terjadi bentrokan antara aparat dan warga sipil terjadi. Setidaknya 27 orang tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum, 5 orang diculik, 78 orang dihilangkan secara paksa, 23 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 24 orang mengalami pengusiran. 

  • Rumoh Geudong dan Pos Sattis lain di Aceh 1989-1998

Peristiwa  Rumoh  Geudong  dan  Pos  Sattis  Lainnya terjadi  di  masa  Aceh  dalam  status  Daerah  Operasi Militer  (DOM)  pada  1989–1998.  Di  dalam  pelaksanaan  DOM  pada saat itu,  Pemerintah  RI  melalui Panglima  ABRI  memutuskan  untuk  melaksanakan  Operasi  Jaring  Merah  (Jamer)  yang menjadikan  Korem  011/Lilawangsa sebagai  pusat  komando  lapangan. Rumah Geudong menjadi markas penyiksaan dan kekerasan bagi warga yang diduga terlibat dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). 

Laporan Komnas HAM menyatakan terjadi kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, perampasan  kemerdekaan  atau  perampasan  kebebasan  fisik  lain  secara  sewenang-wenang  dan  penghilangan  orang  secara  paksa.  Korban dari peristiwa ini oleh tim pencari fakta Komnas HAM diperkirakan mencapai 3.504 kasus dengan rincian; 168 kasus orang hilang, 378 kasus meninggal, 14 kasus perkosaan, 193 kasus cacat berat, 210 kasus cacat sedang, 359 kasus cacat ringan, 1.298 kasus janda, 178 kasus stress/trauma, 223 kasus pembakaran rumah, dan 47 kasus perusakan rumah. Total dari kerugian materil tersebut mencapai Rp 4,2 miliar.

  • Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi 2 tahun 1998 dan 1999
  1. Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 adalah peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. 
  2. Peristiwa Semanggi I 

Peristiwa Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 saat demonstrasi ribuan mahasiswa atas kepemimpinan BJ Habibie, Dwifungsi ABRI, aparat melakukan tindakan represif termasuk https://www.google.com/url?q=https://asumsi.co/post/1634/napak-tilas-korban-rumoh-geudong&sa=D&source=docs&ust=1659348563455040&usg=AOvVaw0DuBNnS_H8Lb0h5NP4G7jM pemukulan dan penyiksaan yang membuat 17 warga sipil tewas dan 109 orang lainnya luka-luka.

  1. Peristiwa Semanggi II 

Peristiwa Semanggi II terjadi pada tanggal 24 September 1999 , dimana mahasiswa turun ke jalan melakukan demonstrasi dengan tuntutan menolak pemberlakukan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Warga sipil yang tewas ditemukan berjumlah 11 orang dan jumlah korban luka mencapai 217 orang akibat tindakan kekerasan seperti pemukulan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat.

  • Penghilangan Paksa 1998-1999

Praktik penghilangan paksa di Indonesia telah terjadi sejak era Orde Baru. Di Indonesia, setidaknya 13 orang yang menjadi korban penghilangan paksa-Wiji Thukul, Dedi Hamdun, Hendra Hambali, Abdun Nasser, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Sonny, Noval Alkatiri, Yani Afri, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin dan Ismail masih hilang. 

Korban penghilangan paksa ditahan secara sewenang-wenang dan rawan menjadi korban penyiksaan. Penghilangan paksa melanggar hak untuk tidak menjadi sasaran penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau melanggar martabat. 

  • Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 13 Juni 2001, diawali dengan aparat Brimob yang diduga melakukan penyerangan terhadap warga melalui tindakan penganiayaan, pembunuhan dan pemerkosaan di Desa Wondiboi, Wasior, Manokwari, Papua Barat.

Penyerangan dipicu oleh terbunuhnya lima anggota Brimob dan satu orang warga sipil di perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa yang diduga diserang oleh TPNPB-OPM (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka). Akibatnya 4 orang tewas, 39 disiksa, 5 hilang dan seorang korban kekerasan seksual.

  • Peristiwa Paniai Berdarah

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 8 Desember 2014, bermula dari warga yang menyampaikan protes atas dugaan pemukulan 11 anak Papua oleh personel militer di dekat markas militer dan polisi setempat. 

Keadaan memanas saat pengunjuk rasa mulai melemparkan batu dan kayu ke sekitar gedung markas militer dan polisi. Pasukan keamanan yang berjaga menembaki massa aksi dengan peluru tajam hingga menewaskan empat orang korban. Setidaknya 21 orang lainnya mengalami luka tusuk.

  • Tragedi Rasisme Mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019

Peristiwa ini bermula pada 16 Agustus 2019. Sebuah organisasi masyarakat setempat menuduh mahasiswa Papua membuang bendera nasional Indonesia ke selokan sebelum perayaan Hari Kemerdekaan, dan melempar batu ke asrama mahasiswa Papua. Mereka juga diduga melakukan penghinaan dengan kata-kata termasuk “monyet,” “anjing,” “binatang,” dan “babi. Ormas dan aparat mengepung asrama. Upaya negosiasi oleh mahasiswa tidak dihiraukan.

Keesokan harinya, alih-alih membubarkan kerumunan yang menyerang pelajar Papua, polisi justru mengepung asrama dan meminta mereka untuk menyerahkan diri. Pengunjuk rasa terus memprotes rasisme, namun polisi merespon secara berlebihan dengan menembakkan gas air mata dan menangkap 43 pelajar Papua. Polisi menangkap mereka untuk diinterogasi, tetapi membebaskan mereka setelah tidak menemukan bukti bahwa mereka telah melecehkan bendera Indonesia.

Pelaku ujaran rasis dan serangan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, yakni aparatur sipil negara (ASN) Syamsul Arifin dan pimpinan ormas Tri Susanti dijatuhi hukuman 5 dan 7 bulan penjara.

Apa aturan yang melindungi kita dari penyiksaan?

Di bawah hukum internasional, penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan buruk lainnya selalu dilarang tanpa terkecuali. Setidaknya 172 negara telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang melarang penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya, dan 165 negara adalah pihak dalam Konvensi PBB Menentang Penyiksaan yang juga dikampanyekan oleh Amnesty International.

Prinsip martabat manusia diabadikan dalam pembukaan Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal 1 DUHAM menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan “sama dalam martabat dan hak”. Pernyataan serupa dapat ditemukan di mukadimah ICCPR, ICESCR dan Konvensi Menentang Penyiksaan.

Penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya secara universal diakui sebagai penghinaan terhadap martabat manusia. Pasal 5 DUHAM menyatakan bahwa “Tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.”

Instrumen dan badan internasional juga secara tegas mengaitkan larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dengan konsep martabat yang melekat pada manusia. Misalnya, Komite Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa tujuan pelarangan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya berdasarkan Pasal 7 ICCPR “adalah untuk melindungi martabat dan integritas fisik dan mental individu”.

Pasal 10 ICCPR menyatakan bahwa semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan “dengan kemanusiaan dan dengan menghormati martabat yang melekat pada pribadi manusia”. Hak ini mutlak dan tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun.

Pasal 8 Statuta Roma mencantumkan “melakukan kekejaman terhadap martabat pribadi, khususnya perlakuan yang menghinakan dan merendahkan martabat” sebagai salah satu kejahatan perang yang dapat dituntut oleh Pengadilan Pidana Internasional.

Hukum Indonesia juga tegas melarang penyiksaan. Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak untuk bebas dari penyiksaan juga tertuang dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Indonesia juga menjadi negara pihak dalam perjanjian internasional HAM dengan meratifikasi ICCPR dan CAT. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Berbagai peraturan yang lebih spesifik dan peraturan internal institusi keamanan juga mengatur larangan bagi anggota kepolisian untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan. 

Apa saja hambatan terhadap penghapusan penyiksaan?


Meski sudah ada Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture/CAT), praktik penyiksaan masih terus terjadi di seluruh dunia.

Di Indonesia, meski sudah ada Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan (National Prevention Mechanism) yang terdiri dari lima lembaga (Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI dan LPSK), akibat belum meratifikasi Optional Protocol of Convention Against Torture (OPCAT), Indonesia tidak memiliki mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan HAM sesuai amanat CAT yang telah diratifikasi Indonesia sejak 1998 lalu. 

OPCAT merupakan protokol pilihan dari CAT yang mengatur mengenai mekanisme pencegahan penyiksaan. Mekanisme ini bekerja secara independen dan mengandalkan bukti-bukti serta dialog konstruktif dalam mengusulkan perbaikan baik dalam hal pelayanan maupun perbaikan sistem di lapangan. Meratifikasi dan melaksanakan OPCAT dapat membantu negara-negara melakukan pencegahan penyiksaan dan pengawasan atas tempat-tempat tahanan.

Selain itu, selama ini pemeriksaan kasus penyiksaan di Indonesia umumnya menggunakan pasal-pasal penganiayaan dalam KUHP. Tapi, masalahnya pengaturan ‘penganiayaan’ dalam KUHP tidak cukup mampu menghadapi kompleksitas suatu tindakan penyiksaan, baik dari sisi tingkat kejahatan (gravity of the offence) dalam penyiksaan maupun kemampuan untuk menjangkau aktor-aktor yang terlibat dan harus dihukum. Akibatnya, banyak kasus penyiksaan yang diperlakukan sebagai kejahatan biasa dan hanya menjangkau para pelaku langsung dengan hukuman yang relatif ringan. Karena itu, masuknya tindak pidana penyiksaan dalam RKUHP perlu didukung secara serius untuk menghapuskan praktik penyiksaan.

Seharusnya tidak ada orang yang mendapat untung dari rasa sakit orang lain. Tapi, mulai dari tongkat paku hingga rompi kejut listrik, borgol ibu jari dan setrika kaki, alat penyiksaan masih diperdagangkan di seluruh dunia. Perusahaan juga terus menjual peralatan penegakan hukum biasa, seperti borgol sederhana, pentungan dan semprotan merica, kepada aparat keamanan yang menyalahgunakannya dalam tindakan penyiksaan.

Gimana kalau penyiksaan dilakukan oleh aparat negara?

Penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya kerap terjadi setelah penangkapan, atau bahkan selama penangkapan oleh penegak hukum. Akibatnya, orang yang ditahan dan dibatasi kebebasan bergeraknya, baik karena melakukan tindakan kriminal maupun dikriminalisasi, sangat rawan terhadap penyiksaan dan perlakuan buruk yang kejam dan tidak manusiawi. 

Langkah-langkah harus diambil untuk mencegah terulangnya penyiksaan atau perlakuan buruk, misalnya dengan penyediaan pelatihan, perubahan manajemen lembaga pemasyarakatan, menempatkan sarana pengawasan independen, dan mengadopsi, mengubah atau mencabut undang-undang.

Langkah-langkah lain yang dapat dilakukan untuk menciptakan lingkungan tanpa penyiksaan, misalnya:

  • Memberikan pelatihan dan kondisi kerja yang layak bagi penegak hukum dan pejabat lainnya;
  • Meninjau aturan, instruksi, metode dan praktik interogasi secara konsisten;
  • Melakukan pemantauan interogasi;
  • Memiliki pencatatan yang sistematis dan teratur;
  • Memastikan adanya sistem pengawasan independen terhadap tempat-tempat penahanan.

Menurut standar HAM internasional, setiap orang yang bersentuhan dengan sistem penegakan hukum berhak mendapat perlindungan dari penyiksaan dan perlakuan buruk.

Setiap orang juga berhak atas kebebasan pribadi. Penahanan incommunicado sangat dilarang. Seseorang hanya dapat dicabut kebebasannya secara sah atas dasar dan menurut prosedur yang ditetapkan oleh hukum, yang harus sesuai dengan standar internasional.

Penangkapan dan penahanan harus dilakukan hanya oleh orang yang diberi wewenang oleh hukum untuk melakukannya. Orang-orang harus diberitahu tentang alasan penangkapan mereka pada saat penangkapan dan segera diberitahu tentang tuduhan apa pun dalam bahasa dan cara yang mereka pahami. 

Orang-orang harus diberitahu tentang hak-hak mereka atas penangkapan dalam bahasa dan cara yang mereka pahami. Catatan resmi tentang penangkapan atau penahanan harus disimpan oleh otoritas yang menahan. Orang yang ditangkap harus memiliki akses ke nasihat hukum dan anggota keluarga, dokter dan pengacara.

Apa yang harus dilakukan negara untuk menghapuskan tindakan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi?

  • Melarang penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya secara hukum
  • Mengadili pelaku penyiksaan dan menjamin adanya peradilan yang independen dan efektif
  • Menyediakan pemulihan bagi korban, termasuk kompensasi dan rehabilitasi
  • Menempatkan perlindungan bagi orang-orang yang dibatasi kebebasannya dan memastikan perlindungan ini dipatuhi dalam praktik
  • Meratifikasi OPCAT
  • Memastikan bahwa pejabat dan lembaga negara tidak melanggar HAM ataupun abai terhadap pelanggaran HAM
  • Melakukan pengawasan efektif terhadap penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh lembaga negara maupun oleh aktor non-negara
  • Mendukung penghapusan tindakan penyiksaan, termasuk dengan memastikan bahwa tidak seorang pun diekstradisi, diusir atau dikembalikan ke negara tempat ada risiko nyata bahwa penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya dapat terjadi (refoulement).
  • Memberi perubahan hukuman dari pidana mati ke jenis hukuman lainnya bagi para terpidana mati yang telah lama mendekam di penjara karena penantian eksekusi mati merupakan perlakuan tidak manusiawi.

Apa yang bisa kita lakukan untuk dukung penghapusan atas penyiksaan?

  • Cari tahu lebih banyak tentang penyiksaan
  • Sebarkan kesadaran tentang dampak buruk penyiksaan
  • Desak negara mengadili pelaku penyiksaan, dan memberi keadilan dan pemulihan untuk korban
  • Desak negara ratifikasi OPCAT
  • Dukung advokasi anti penyiksaan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil.