Surat Terbuka Tokoh-Tokoh Kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo Tentang Pemberian Amnesti kepada Seluruh Tahanan Hati Nurani (tahanan politik) di Maluku dan di Papua

Jakarta, 12 Agustus 2020

Kepada Yth.
Bapak Ir. H. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia Sekretariat Negara
Jl. Veteran No. 17-18
Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta Indonesia (10110)

Bapak Presiden yang terhormat,

Teriring salam semoga Bapak Presiden beserta jajaran kabinet senantiasa berada dalam keadaan sehat wal afiat. Melalui surat ini, perkenankan kami menyampaikan keprihatinan atas sebuah masalah yang dalam pandangan kami semestinya tidak lagi selaras dengan perkembangan masyarakat demokratis di Indonesia. Masalah tersebut adalah masih adanya sejumlah orang Papua dan Maluku yang dihukum semata-mata karena mengekspresikan pendapatnya secara damai. Kami mencatat, saat ini setidaknya terdapat 23 orang dipenjara di Fak-Fak, 11 orang di Sorong, 10 orang di Ambon, dan seorang berkewarganegaraan Polandia yang dipenjara di Wamena.

Para tahanan hati nurani tersebut divonis dengan hukuman kurungan atas tuduhan makar berdasarkan Pasal 106 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kami menilai, aparat penegak hukum kerap menerapkan pasal-pasal makar tersebut di luar yang diizinkan oleh hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.

Merujuk pada kaidah tersebut, mereka tidak seharusnya dihukum sejak awal karena mereka hanya menjalankan haknya untuk berpendapat, berekspresi dan berkumpul secara damai. Bahkan di masa lalu, pemerintah telah memberikan amnesti dan abolisi untuk membebaskan tanpa syarat mereka yang dihukum atas tuduhan serupa.

Bapak Presiden yang kami hormati,

Pemberian amnesti pernah diberikan oleh hampir seluruh Presiden Republik Indonesia, dari Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga dalam hal ini, Presiden Joko Widodo.

Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membebaskan orang-orang yang terlibat pemberontakan Daud Bereueh di Aceh melalui Amnesti (Keppres No. 180 tahun 1959 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi). Di tahun yang sama, Presiden Soekarno juga memberikan amnesti dan abolisi bagi mereka yang terlibat pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (Keppres No. 303 Tahun 1959).

Pada tahun 1977, Presiden Soeharto memberi amnesti dan abolisi bagi anggota Fretilin Timor Timur agar mereka bisa terlibat dalam pembangunan (Keppres No. 63 tahun 1977).

Pada tahun 1998, Presiden Habibie memberikan amnesti (Keppres No. 80 tahun1998) kepada Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, hingga Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba yang masing-masing terkait isu separatisme di Timor Timur, Aceh dan Papua.

Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan amnesti bagi setidaknya 95 tahanan politik Timor Timur dan mereka yang dihukum untuk Tragedi 1965 (Keppres No. 157 hingga 160 Tahun 1999).

Pada tahun 2005, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat Gerakan Aceh Merdeka (Keppres No. 22 tahun 2005).

Terakhir, pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo juga memberikan amnesti, meskipun bukan untuk perkara makar, yaitu kepada Baiq Nuril dengan sebuah pertimbangan kemanusiaan. Untuk perkara makar, pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo pernah memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua.

Bapak Presiden yang terhormat,

Perlu kami sampaikan pula bahwa pemberian amnesti tersebut rata-rata telah diberikan oleh presiden terdahulu pada saat penyelenggaraan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, menjelang penyelenggaraan HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 2020, kami bermaksud meminta secara khusus kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk berkenan membebaskan seluruh tahanan hati nurani di Papua dan Maluku, termasuk kepada Jakub Skrzypski, warga negara Polandia yang dipenjara di Wamena.

Dengan merujuk pengalaman tersebut, Amnesty International beserta dengan tokoh-tokoh nasional secara khusus meminta kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Menggunakan wewenang konstitusional Presiden untuk membebaskan semua tahanan nurani Papua, Maluku, termasuk Jakub Skrzypski tanpa syarat, sesuai kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945;
  2. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengamandemen Pasal 106 dan 110 KUHP atau mencabutnya, agar tidak dapat lagi digunakan untuk mempidanakan kebebasan berekspresi melampaui batas yang diizinkan oleh hukum hak asasi manusia internasional; dan
  3. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menghapuskan pasal makar dari RKUHP dan rancangan undang-undang lainnya.

Sebagai penutup, kami tidak memiliki sikap apa pun atas posisi politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan. Tapi kami meyakini bahwa negara wajib menjunjung tinggi penghormatan kemerdekaan warganya untuk berpendapat dan berekspresi secara damai. Hal ini telah dijamin dalam hukum hak-hak asasi manusia internasional termasuk dalam Konstitusi Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Demikian surat ini disampaikan. Atas segala perhatian Bapak Presiden, kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,


Narahubung

(1) Alissa Wahid: 0812-2627-2829   
(2) Uung Sendana: 0852-1710-4788
(3). Pdt. Henrek Lokra: 0812-1351-133

Forum Risalah Jakarta adalah forum dialog lintas elemen masyarakat yang difasilitasi oleh Kementerian Agama pada tahun 2018.  Forum ini terdiri atas para agamawan, budayawan, akademisi, aktivis, dan penggiat seni lintas generasi.

Forum yang digagas oleh Lukman Hakim Saifuddin ini melibatkan tokoh lintas iman seperti Komaruddin Hidayat, Nazaruddin Umar, Franz  Magnis Suseno, Weinata Sairin, Henriette Lebang, Suhadi Sendjaja, dan Uung     Sendana.

Azyumardi Azra Acep Zamzam Noor Ahmad Suaedy Alissa Wahid Anggia Ermarini A. Rumadi Arie Kriting Agus Noor Adung Abdul Rochman A. Romzy Bhikku Jayamedho Franz Magnis Suseno Fatin Hamama    Garin Nugroho Hadi Rahman Haidar Bagir Helmi Hidayat Inaya Wahid John A Titaley Kalis Mardiasih KH. Agus Sunyoto KH. M. Jadul Maula KH. D. Zawawi Imron Lies Marcoes Lukman Hakim Saifuddin MPU Suhadi Sendjaja  Syafi Alielha Udayana S. Pdt. Henriette T. Lebang Pdt. Weinata Sairin Romo Mudji Sutrisno Sunanto Taufik Abdullah Ulil Abshar Abdalla Uung Sendana Linggaraja Usman Hamid Wahyu Muryadi Yudi Latif Zastrow Al Ngatawi
 Abdul Mu’ti Abdul Manan Darmawan Triwibowo Baktinendra Prawiro Farhan Azis Fajar Adi Nugroho Gembala Socrates Yoman Lienche Maloali Irene L. Simanjuntak Ivan Rinaldi Jeirry Sumampouw Nikson Gans Lalu Pastor John Djonga Pdt. Audy Wuisang  Pdt. Andrikus Mofu Pdt. Henrek Lokra Pdt. Jacklevyn F. Manuputty Pdt. Lipius Biniluk Pdt. Suarbudaya Rahadian Pdt. Penrad Siagian Roy Murtadho Riezal Ilham Pratama Ronald Rischardt Septinus George Saa Sulthan Farras Ustad Saiful Al Payage Wahyuningtyas Woro  Yorrys Raweyai