Surat Terbuka: Bebaskan Ferry Kombo dan Seluruh Tahanan Hati Nurani Papua

Kepada Yth.
Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Sekretariat Negara
Jl. Veteran No. 17-18
Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Indonesia (10110)


Dengan hormat,


Melalui surat ini Amnesty International Indonesia bermaksud menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas langkah Jaksa Penuntutan Umum di Pengadilan Negeri Balikpapan, pada 5 Juni 2020. Mereka membacakan tuntutan yang cukup berat atas tujuh tahanan hati nurani asal Papua yang ditangkap semata-mata karena menjalankan hak mereka untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat secara damai dalam unjuk rasa anti-rasisme di Jayapura pada Agustus 2019.


Jaksa Penuntut Umum menuntut 10 tahun penjara untuk Ketua BEM demisioner Universitas Cendrawasih Ferry Kombo, 10 tahun penjara untuk Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexsander Gobai, dan 5 tahun penjara untuk seorang mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Hengki Hilapok. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum menuntut 15 tahun penjara untuk Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay dan Ketua
KNPB Timika Stevanus Itlay. Sebelumnya, pada Selasa, 2 Juni 2020, Jaksa Penuntut Umum menuntut 17 tahun penjara untuk Wakil Ketua United Liberation Movement for West Papua Buchtar Tabuni, dan 5 tahun penjara untuk mahasiswa yang juga pengurus BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Irwanus Uropmabin.


Amnesty International Indonesia melihat tuntutan tersebut bertentangan dengan kewajiban internasional hak asasi manusia Indonesia. Kami juga mengamati, telah terjadi peningkatan pengenaan pasal makar terhadap setidaknya 44 orang aktivis Papua yang tengah menjalankan kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai. Otoritas keamanan Papua telah menangkap dan menetapkan mereka sebagai tersangka dan ditahan dengan tuduhan melanggar Pasal 106 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman maksimum penjara seumur hidup.


Otoritas Indonesia kerap menerapkan kedua pasal “makar” tersebut, dengan pengertian yang terlalu umum dan kabur sehingga tidak lagi sesuai tujuan awal dari pasal tersebut. Akibatnya adalah penerapan semena-mena yang berpotensi untuk membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat.


Pada tahun 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang secara tegas menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 19, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.
Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan
berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.


Amnesty International tidak mengambil sikap apa pun mengenai posisi politik provinsi mana pun di Indonesia. Namun kami meyakini bahwa negara wajib melindungi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk secara damai mengadvokasi penentuan nasib sendiri atau solusi politik lainnya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Amnesty International Indonesia meminta Bapak Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Melepaskan seluruh tahanan hati nurani Papua dengan segera dan tanpa syarat, yaitu mereka yang mengekspresikan pendapat politik secara damai dan tanpa melakukan hasutan untuk melakukan diskriminasi, tindakan peperangan atau kekerasan;
  2. Memastikan bahwa para tahanan tidak disiksa atau diperlakukan dengan buruk, serta memiliki akses rutin kepada anggota keluarga dan pengacara pilihan mereka. Mereka harus dibantu oleh pengacara mereka selama proses hukum, sesuai hak atas peradilan yang adil;
  3. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mencabut atau secara substantif segera mengamandemen Pasal 106 dan 110 KUHP, dan memastikan bahwa ketentuan-ketentuan ini tidak dapat lagi digunakan untuk mempidanakan kebebasan berekspresi melampaui batasan-batasan yang diperbolehkan oleh hukum dan standar internasional hak asasi manusia yang berlaku;
  4. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menghapuskan pasal makar dari RKUHP dan rancangan undang-undang lainnya.

Demikian surat ini disampaikan, atas segala perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami


Usman Hamid
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia