Surat Terbuka: ASEAN perlu memperbaiki pendekatannya yang gagal dalam menghadapi krisis pasca kudeta militer di Myanmar

Surat Terbuka untuk Ketua ASEAN

24 April 2023

Hari ini adalah tahun kedua sejak ASEAN menyepakati Konsensus Lima Poin sebagai respon atas kudeta militer di Myanmar. Militer Myanmar telah mengabaikan seruan dari komunitas internasional untuk menghentikan kekerasan. Selain itu, sejak kudeta tersebut, militer Myanmar telah melakukan kejahatan perang serta dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Para pemimpin ASEAN harus mengambil tindakan dan mengatasi situasi di Myanmar tanpa penundaan lebih lanjut. Amnesty International telah melakukan penilaian atas konsensus lima poin ASEAN berdasarkan bukti nyata yang relevan sebagai contoh, dan menyoroti kegagalannya:

1) Pertama, kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya.

Menurut the Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), pihak militer Myanmar telah mengeksekusi setidaknya empat orang, menjatuhkan hukuman mati terhadap setidaknya 123 orang, dan menangkap 21.334 orang, di mana 17.446 orang diantaranya masih ditahan. Pasukan keamanan menyiksa para tahanan dan membunuh setidaknya 3.239 orang, termasuk serangan di luar hukum yang membunuh dan melukai warga sipil melalui penggunaan serangan udara yang mematikan, eksekusi di luar hukum, penembakan artileri, ranjau darat terlarang, dan munisi tandan. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), sejak kudeta, pertempuran telah membuat 1,4 juta orang mengungsi di dalam negeri, membakar atau menghancurkan 60.000 properti sipil dan mengakibatkan 75.400 orang mengungsi ke negara tetangga. Pihak militer juga menahan dan memenjarakan setidaknya 2.000 orang Rohingya sejak kudeta atas tuduhan ‘perjalanan tidak sah’ ke luar Negara Bagian Rakhine. Angka-angka ini menggambarkan fakta bahwa militer Myanmar tidak berencana menghentikan kekerasan atau menahan diri terhadap warga sipil.

2) Kedua, dialog konstruktif di antara semua pihak terkait harus dimulai untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat.

Pada Juli 2022, militer Myanmar mengeksekusi empat orang, termasuk seorang aktivis dan satu anggota Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Pada Desember 2022, militer Myanmar menjatuhkan hukuman 33 tahun penjara terhadap Aung San Suu Kyi dalam persidangan yang sangat tidak adil dan dengan prosedur yang sama sekali tidak transparan. Pada bulan Oktober, Pengadilan Negeri Magway memberi hukuman 148 tahun penjara kepada mantan anggota parlemen NLD Win Myint Hlaing atas tuduhan terkait teror. Dalam waktu yang bersamaan, aktivis Aung Khant, Kyaw Thet dan Hnin Maung dijatuhi hukuman antara 95 dan 225 tahun penjara di bawah Undang-Undang Kontra-Terorisme. Selain itu, militer Myanmar terus mengincar dan memenjarakan politisi dari kelompok oposisi. Pihak militer Myanmar menggunakan sistem peradilan sebagai alat penindas untuk membungkam dan secara kolektif menghukum suara-suara kritis. Pada 7 April 2023, Pendeta Samson, pemimpin agama dan komunitas Kachin, dijatuhi hukuman enam tahun penjara atas pelanggaran berserikat, pencemaran nama baik, dan terorisme. Tuduhan ini digunakan sebagai alat oleh militer Myanmar untuk membungkam dan menghukum orang yang menggunakan kebebasan mereka untuk berbicara. Dialog yang konstruktif tidak mungkin dilakukan jika orang dipenjara secara tidak adil dan ditahan secara sewenang-wenang. Pihak militer Myanmar harus membebaskan semua orang yang ditahan dan dipenjara karena aktivitas damai mereka dalam menentang kudeta dan pelanggaran HAM oleh pihak militer.

3) Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog, dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN.

Pada Maret 2022, Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar mengunjungi Myanmar untuk pertama kalinya. Utusan Khusus tersebut bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, tetapi pihak militer diduga melarangnya untuk bertemu dengan kelompok masyarakat sipil ataupun anggota NLD, yang memenangkan kursi terbanyak dalam Pemilu 2020. Militer Myanmar juga menolak permintaan Utusan Khusus untuk bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Kegagalan untuk bertemu dengan pihak lain selain pimpinan militer Myanmar menunjukkan bahwa ASEAN belum mampu memfasilitasi mediasi.

4) Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre.

Pada Oktober 2022, pihak militer Myanmar memberlakukan Undang-Undang Pendaftaran Organisasi yang sangat membatasi hak atas kebebasan berserikat dengan menjatuhkan hukuman pidana pada organisasi kemanusiaan nasional dan internasional jika mereka tidak mendaftar ke pihak berwenang. Pemberlakuan UU tersebut sangat menghambat bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan. Amnesty International telah mendokumentasikan pihak militer yang menghalangi bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa melalui pembatasan administrasi yang rumit dan penyerangan terhadap kamp-kamp untuk pengungsi internal. Pengeboman udara besar-besaran, penembakan membabi buta, dan pembantaian oleh pihak militer mengakibatnya masifnya jumlah korban jiwa dan pengungsian, yang semakin meningkatkan kebutuhan akan bantuan kemanusiaan. UNOCHA memperkirakan bahwa sebanyak 17,6 juta orang, termasuk lebih dari sembilan juta perempuan dan anak perempuan, akan membutuhkan bantuan kemanusiaan pada tahun 2023. Pada bulan Desember 2021, dua pekerja kemanusiaan menjadi bagian dari korban yang tewas dalam pembantaian oleh militer di Negara Bagian Kayah. Laporan akhir tahun UNOCHA juga menunjukkan bahwa “Myanmar mencatat jumlah tertinggi kedua pekerja kemanusiaan yang tewas secara global pada tahun 2022, dan jumlah keempat tertinggi pekerja kemanusiaan yang terluka”. AHA Center juga telah gagal memberikan bantuan kemanusiaan yang memadai kepada penduduk yang membutuhkan.

5) Kelima, utusan dan delegasi khusus akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Lihat poin 2 dan 3 di atas.

Menanggapi kegagalan ASEAN untuk mengimplementasikan konsensus lima poin, Amnesty International mendesak negara-negara anggota ASEAN dan ASEAN untuk membuat rekomendasi berikut kepada militer Myanmar:

1) Segera berhenti menjatuhkan bom udara ke warga sipil dan melakukan serangan tanpa pandang bulu melalui darat dan udara yang melanggar hukum humaniter internasional.
2) Mencabut pemadaman internet, pembatasan administratif serta pembatasan sewenang-wenang lainnya atas bantuan kemanusiaan, menghentikan serangan terhadap pekerja kemanusiaan, dan membuka akses tanpa hambatan untuk organisasi kemanusiaan nasional dan internasional, sehingga mereka dapat menjangkau semua warga sipil yang membutuhkan.
3) Bebaskan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang atau dipenjara secara tidak adil melalui pengadilan yang sangat tidak adil sejak kudeta.
4) Segera hentikan tindakan intimidasi, penangkapan, atau penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap pekerja media, petugas medis dan lainnya yang secara damai bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil.
5) Membebaskan semua orang Rohingya yang ditahan secara sewenang-wenang karena menggunakan hak mereka atas kebebasan bergerak, serta menghentikan peran militer dalam setiap rencana untuk mengembalikan masyarakat Rohingya secara paksa dari kamp Cox’s Bazar dan Bashan Char.