Surat Terbuka: ASEAN Harus Menyelesaikan Pelanggaran HAM di Rakhine

Secretary Alan Peter Cayetano
Foreign Secretary of the Republic of the Philippines
Department of Foreign Affairs
2330 Roxas Boulevard
Pasay City, Metro Manila
Philippines

Yang Terhormat Menteri Luar Negeri Cayetano,

Saya menulis atas nama Amnesty International untuk mengungkapkan keprihatinan mendalam kami atas krisis kemanusiaan yang dihadapi penduduk sipil di negara bagian Rakhine. Sebagai Ketua Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), organisasi kami mendesak Filipina agar dengan segera menangani masalah tersebut sesuai dengan Piagam ASEAN dan hukum serta standar HAM internasional.

Pasca kelompok bersenjata Rohingya melancarkan serangkaian serangan terkoordinasi terhadap puluhan pos keamanan pada 25 Agustus 2017, pasukan keamanan Myanmar melakukan serangan balasan yang melanggar hukum internasional dan tidak proporsional terhadap mayarakat sipil etnis Rohingya. Amnesty International telah mendokumentasikan banyak pelanggaran hak asasi manusia termasuk pembunuhan di luar hukum, pembakaran rumah dan desa skala besar, juga mengkonfirmasi penggunaan ranjau darat anti-personil oleh Angkatan Darat Myanmar. Akses kemanusiaan ke negara bagian Rakhine sangat terbatas bagi Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi kemanusiaan internasional lainnya. Pembatasan ini mengancam nyawa ribuan orang. Menurut perkiraan terbaru PBB, total 480.000 orang Rohingya telah melarikan diri ke Banglades, sementara pemerintah Myanmar telah mengevakuasi lebih dari 30.000 orang yang tergabung dalam komunitas etnis minoritas lainnya di Rakhine.

Pihak berwenang Myanmar memiliki tugas untuk melindungi seluruh warga dari serangan, serta untuk menyelidiki dan mengadili mereka yang dicurigai bertanggung jawab. Otoritas Myanmar juga harus memastikan bahwa tindakan untuk menanggapi serangan tersebut proporsional dan tidak melanggar hak asasi manusia.

Bukti yang dikumpulkan Amnesty International menyimpulkan apa yang terjadi di negara bagian Rakhine merupakan pembersihan etnis, dengan komunitas Rohingya ditarget karena kesukuan dan agama mereka. Secara hukum, ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang mencakup pembunuhan dan pemindahan paksa penduduk. Kekerasan di Rakhine telah terjadi dalam konteks yang lebih luas yaitu diskriminasi yang telah berlangsung lama terhadap komunitas Rohingya di Myanmar dimana mereka dipisahkan, dihilangkan kewarganegaraan, dan dibatasi hak mereka untuk bebasan bergerak, mengakses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian, mempraktekkan agama dan berpartisipasi dalam kehidupan publik.

Piagam ASEAN dengan jelas menetapkan “ASEAN dan negara anggotanya harus bertindak sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap kebebasan fundamental, promosi dan perlindungan hak asasi manusia, dan promosi keadilan sosial”. Selanjutnya Pasal 20 (4) mengatur bahwa “dalam kondisi dimana kasus pelanggaran serius terhadap prinsip ketidakpatuhan, hal tersebut harus mengacu pada KTT ASEAN untuk mengambil sebuah keputusan;” dan Pasal 7 (2) (d) bahwa “KTT ASEAN akan … menangani situasi darurat yang mempengaruhi ASEAN dengan mengambil tindakan yang tepat”. Amnesty International percaya bahwa Myanmar telah benar-benar melanggar komitmen hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi berdasarkan Piagam ASEAN.

Organisasi kami menganggap pernyataan dari Ketua ASEAN pada 24 September yang mengungkapkan keprihatinan dan mengutuk “semua tindakan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil, penghancuran rumah, dan pemindahan sejumlah besar orang” di Rakhine belumlah cukup untuk merespon permasalahan yang terjadi di Rakhine. Apa yang dibutuhkan adalah respon yang lebih signifikan dari ASEAN terhadap krisis di Myanmar.

Oleh karena itu kami meminta ASEAN untuk mengambil langkah berikut ini sebagai prioritas:

  • Menggelar sidang darurat untuk membicarakan krisis di Rakhine berdasarkan pasal 20 (4) and 7 (2) (d) dari Piagam ASEAN dengan pemerintah Myanmar untuk:
    • Menghentikan kekerasan dan pelanggaran HAM serta kejahatan lainnya dengan berpegang teguh pada hukum internasional.
    • Memastikan bantuan kemanusiaan diterima oleh pengungsi Rohingya di Bangladesh and warga Myanmar lainnya yang terlantar.
    • Memastikan keselamatan dan kepulangan pengungsi Rohingya yang secara suka rela mau pulang ke Rakhine
    • Menyelesaikan akar permasalahan dari krisis yang terjadi saat ini khususnya terkait diskriminasi dan segregasi berdasarkan etnis dan agama terhadap etnis Rohingya.
    • Mendukung tim pencari fakta yang dibentuk oleh dewan HAM PBB dan inisiatif internasional lainnya untuk menginvestigasi pelanggaran HAM dan kejahatan yang terjadi berdasarkan ketentuan internasional dan menghukum pelaku pelanggaran HAM.
  • Mendukung diadopsinya sebuah resolusi tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di Myanmar di sidang umum PBB
  • Membentuk sebuah mekanisme, baik melalui Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) atau melalui badan lain, yang akan menerima pengaduan pelanggaran hak asasi manusia oleh Negara Anggota ASEAN dari perorangan dan kelompok, dengan mandat untuk menyelidiki pengaduan, mencari dan menerima informasi dari Negara Anggota yang bersangkutan, serta membuat rekomendasi untuk mengatasi masalah yang diangkat dalam pengaduan tersebut.

Salam hormat,

Claire Mallinson, Directur
Amnesty International Australia

Mabel Au, Directur
Amnesty International Hong Kong

Aakar Patel, Directur
Amnesty International India

Usman Hamid, Directur
Amnesty International Indonesia

Kaoru Yamaguchi, Direktur (pelaksana tugas)
Amnesty International Japan

Catherine Hee Jin Kim, Direktur
Amnesty International Korea

Gwen Lee, Direktur (pelaksana tugas)
Amnesty International Malaysia

Altantuya Batdorj, Direktur
Amnesty International Mongolia

Nirajan Thapaliya, Direktur
Amnesty International Nepal

Grant Bayldon, Direktur
Amnesty International New Zealand

Butch Olano, Direktur
Amnesty International Philippines

Piyanut Kotsan, Direktur
Amnesty International Thailand

James Fang, Direktur
Amnesty International Taiwan