Surat Pernyataan Bersama Koalisi Pembela HAM: Seruan untuk mencabut tuntutan agar Veronica Koman Liau mengembalikan beasiswa LPDP

Veronica Koman received an award in Australia. Indonesian Government is forcing her to refund the scholarship fund.


Kepada Yth.


Rionald Silaban
Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
Gedung Danadyaksa Cikini
Jalan Cikini Raya No. 91 A-D 2, Cikini, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat,
DKI Jakarta 10330


Kami menulis ini untuk mengungkapkan keprihatinan kami atas surat Anda pada 24 Oktober 2019 terkait hukuman terhadap pengacara hak asasi manusia Veronica Koman
Liau, yang meminta dia untuk mengembalikan beasiswa yang telah diterima karena “tidak kembali dan melayani di Indonesia” setelah menyelesaikan studi master-nya di
Australian National University, Canberra. Kami meyakini, keputusan ini jelas dirancang untuk menghukum Veronica Koman Liau, atas pekerjaannya sebagai pembela hak asasi
manusia di Papua dan Papua Barat.

Pertama, kami mencatat setelah menyelesaikan studinya pada Agustus 2018, Veronica kembali ke Indonesia pada September 2018. Dia mendedikasikan dirinya untuk bekerja
dengan Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) di Jayapura, Papua.
Veronica memberikan layanan bantuan hukum kepada aktivis Papua, saat mengajukan banding di Pengadilan Negeri Timika pada April hingga Mei 2019. Ia lalu berangkat ke Australia untuk menghadiri wisuda pada 19 Juli 2019.

Pada Agustus dan September 2019, terjadi protes anti-rasisme di lebih dari 30 kota di Indonesia, termasuk provinsi Papua dan Papua Barat, di mana lebih dari 100 orang Papua ditangkap.

Protes dan aksi demo dipicu oleh video yang menunjukkan polisi menahan 43 mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada 17 Agustus 2019, karena diduga tidak mengibarkan bendera Indonesia pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Puluhan orang anggota ormas dan TNI mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya, mengejek mereka “monyet”. Polisi juga mengepung asrama mahasiswa Papua, menggunakan gas air mata menangkap mahasiswa Papua. Veronica lalu mengtweet video insiden tersebut dan memberikan wawancara pada media soal protes ini
dari Australia. Dia masih bekerja sebagai advokat di PAHAM.

Kedua, Polda Jawa Timur mengeluarkan subpoena untuk Veronica pada Agustus 2019 terkait tweet video insiden Surabaya, yang menuduh tweet Veronica itu berisi “hasutan”
dan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik, KUHP, dan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Polisi mengklaim, tweet tersebut merupakan
berita “hoax”. Tapi sesungguhnya serangan itu benar terjadi dan isi video itu benar adanya.

Tuduhan ini merupakan penyalahgunaan berat ketentuan hukum yang seharusnya diterapkan untuk menghapus diskriminasi daripada menghukum mereka yang membela
orang lain yang menjadi korbannya. Penggunaan pasal pidana ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi yang bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia dan menghalangi pekerjaan Veronica sebagai pengacara hak asasi manusia.

Pada 1 September 2019, Polda Jawa Timur melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Veronica. Sementara itu, Veronica menerima berbagai ancaman, termasuk ancaman pembunuhan dan pemerkosaan karena pekerjaannya tersebut. Keselamatan dan keamanan dirinya terancam, baik oleh aparat negara maupun bukan. Sayangnya, kami tidak melihat polisi Indonesia menangkap pelaku yang melakukan ancaman terhadap Veronica tersebut.

Pemerintah Indonesia, termasuk Kepolisian Republik Indonesia, memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk “melakukan semua tindakan yang diperlukan untuk
memastikan perlindungan setiap orang dari kekerasan, ancaman, pembalasan dendam, diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari pelaksanaannya yang sah,” sebagaimana ditetapkan dalam Poin 2(c) Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia. Ini termasuk memastikan keamanan Veronica dari segala ancaman atau tindakan pembalasan dari pihak manapun dan memastikan bahwa setiap pelaku dimintai pertanggungjawaban.

Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) merupakan program pemerintah yang harus dilaksanakan sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia Indonesia dan khususnya dalam hal ini Pasal 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang menjamin hak atas pendidikan tanpa diskriminasi.

Kami mengakui persyaratan bagi penerima beasiswa LPDP untuk kembali ke Indonesia setelah mereka menyelesaikan studi mereka atau untuk mengembalikan beasiswa yang mungkin telah mereka terima. Namun, dalam kasus ini, kami tidak yakin persyaratan tersebut adil, karena Veronica menghadapi masalah keamanan yang nyata seperti yang
dijelaskan di atas.

Desakan LPDP untuk Veronica kembali ke Indonesia dan dengan menjatuhkan hukuman finansial untuk mengembalikan beasiswa, menunjukkan pengabaian Anda
atas keselamatan pribadinya dan bertentangan dengan kewajiban Indonesia untuk melindungi pembela hak asasi manusia dan komitmen hak asasi manusia lainnya.

Veronica telah menunjukkan, dia akan bersedia untuk kembali ke Indonesia jika tidak menghadapi tuntutan yang tidak adil yang dihawatirkan mengancam keselamatan
pribadinya. Justru lebih baik jika kantor Anda meminta polisi untuk menangkap orang-orang yang mengancam mau membunuh dan memperkosa Veronica.

Kami meminta Anda untuk mencabut segera keputusan Anda sebagai Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan mendesak Kepolisian untuk menjamin hak atas
keamanan para penerima beasiswa LPDP.


Hormat kami,


Andreas Harsono (Human Right Watch)
Novel Matindas (Amnesty International Indonesia)
Damairia Pakpahan (Yayasan Perlindungan Insani Indonesia)
Ade Wahyudin (LBH Pers)
Syamsul Alam Agus (Yayasan Satu Keadilan)
Ardi Manto (Imparsial)
Fatia Maulidiyanti (KontraS)
Dahniar (HuMa)
Andi Muttaqien (ELSAM)
Alves Fonataba (PapuaItuKita)
Asep Komarudin (Greenpeace)
Andy Irfan (Federasi KontraS)
Franky Samperante (Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Muhamad Isnur (YLBHI)