Wakil Rakyat Gagal Pahami Prioritas

Menanggapi hasil rapat kerja Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dengan Menteri Hukum dan HAM serta Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah yang menyepakati dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Perlindungan hukum bagi para penyintas kekerasan seksual sangatlah mendesak. Banyak korban masih enggan bersuara atau merasa terintimidasi karena relasi sosial atau relasi kekuasaan dengan si pelaku. RUU PKS memberi jaminan kepada mereka untuk tidak ragu lagi menyeret pelaku, siapapun dia, ke jalur hukum.”

“Dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas menunjukkan betapa wakil rakyat tidak sensitif terhadap isu perlindungan korban, dan pastinya mereka telah gagal memahami kebutuhan rakyat.”

“Rumusan definisi kekerasan seksual di peraturan perundang-undangan masih memuat banyak celah yang mendorong terjadinya ketiadaan hukuman atau impunitas pelaku kekerasan seksual.”

“Belum lagi jika kita lihat catatan Komnas Perempuan. Selama 12 tahun belakangan ini, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat. Bahkan, pengaduan kasus kejahatan di dunia maya di tahun 2019, yang bentuk terbanyaknya adalah ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban, mencapai 281 kasus, naik 300 persen dari tahun sebelumnya.”

“Karena itu, RUU PKS menjadi sangat penting untuk segera disahkan, bukan malah dikeluarkan dari daftar Prolegnas. Kami mendesak anggota dewan mencabut penarikan RUU ini dari Prolegnas.”

Latar belakang

Pada tanggal 2 Juli 2020, rapat kerja Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dengan Menteri Hukum dan HAM serta Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah menyepakati adanya perubahan terhadap Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2020.

Salah satu dari 16 RUU yang dihapus dari daftar Prolegnas adalah RUU PKS. Padahal RUU ini telah menempuh jalan panjang sejak diinisiasi oleh Komnas Perempuan tahun 2012, dan sempat dimasukkan Prolegnas Prioritas pada tahun 2016.

Bulan Maret lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan. Terdapat setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019 yang mayoritas bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Komnas Perempuan juga mencatat, selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Ini artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir.

Sementara baru pertengahan Juni lalu, seorang pengurus gereja di Depok, Jawa Barat, ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pencabulan anak di bawah umur. Korban adalah anak laki-laki jemaat gereja yang masih di bawah umur. Menurut keterangan Kapolres Metro Depok, Komisaris Besar Azis Andriansyah, tersangka berinisial SM (42) sudah ditangkap berdasarkan laporan dari beberapa orang tua anak.

Di sisi lain, RUU Ketahanan Keluarga yang memuat sejumlah pasal yang mengatur pembatasan peran perempuan justru tetap dipertahankan di Prolegnas Proritas 2020. Dalam RUU kontroversial ini, kewajiban istri diatur hanya mencakup ranah domestik, antara lain mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya serta memperlakukan suami dan anak dengan baik.

Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyebutkan bahwa negara harus tidak menunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya dengan merumuskan sanksi dalam perundang-undangan nasional untuk menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan serta mengatur mekanisme pemulihan yang efektif dan adil.

Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984, Pemerintah Indonesia berkewajiban membuat peraturan yang dapat menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan.