Surat Terbuka: Usut Tuntas Dugaan Penyiksaan oleh Aparat TNI di Kabupaten Keerom, Papua

Kepada Yth.
Panglima Tentara Nasional Indonesia
Jenderal TNI Andika Perkasa, S.E., M.A., M.Sc., M.Phil., Ph.D.
Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur 13870
Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Dengan hormat,

Perihal: Usut Tuntas Dugaan Penyiksaan oleh Aparat TNI di Kabupaten Keerom, Papua

Melalui surat terbuka ini, Amnesty International Indonesia mengecam tindakan penyiksaan terhadap
tiga orang anak yang dilakukan oleh anggota TNI, yang juga merupakan anggota Kopassus dan saat
itu bertugas di Pos Kopassus, Jl. Maleo, Kampung Yuwanain Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom,
Provinsi Papua.


Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, pada 27 Oktober 2022 sekitar pukul 06.00 WITA ketiga
orang anak laki-laki tersebut, yaitu Rahmat Faisei (14 tahun), Bastian Bate (13 tahun), dan Laurents
Kaung (11 tahun) mengalami aksi penyiksaan dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat manusia.


Tiga anak laki-laki itu mengalami luka-luka bekas kekerasan di sekujur tubuh mereka. Penyiksaan itu
diduga dipicu oleh alasan yang sederhana, yaitu hilangnya dua ekor burung kakak tua putih di Pos
Kopassus tersebut.


Reaksi anggota TNI berupa tindakan penyiksaan itu sangat mengkhawatirkan, karena aparat militer
bukan hanya telah melakukan tindakan di luar hukum, tapi melanggar larangan hukum internasional,
hukum konstitusional, dan ketentuan legal perundang-undangan yang berlaku di wilayah Republik
Indonesia. Terlebih lagi perbuatan kejam itu dilakukan terhadap anak-anak yang jika dituduh telah
melakukan pelanggaran hukum maka berlaku hukum peradilan bagi anak-anak.


Sebagai prajurit tentara Republik Indonesia, maka sudah seharusnya para anggota TNI itu mengenal
dan menghormati hukum-hukum tersebut. Peristiwa itu semakin menambah daftar aksi kekerasan
aparat terhadap warga sipil di Papua.


Atas kejadian itu, Amnesty International mendesak Pemerintah beserta jajaran penegak hukum dan
dalam hal ini kami mendesak Saudara selaku Panglima TNI untuk memproses para terduga pelaku
sesuai dengan hukum yang berlaku di lingkungan peradilan umum di wilayah Republik Indonesia.

Kami mendesak Panglima TNI untuk segera melakukan evaluasi internal dan pengawasan yang lebih
baik serta memastikan terwujudnya akuntabilitas hukum atas kinerja TNI di Papua dan penggunaan
kekuatan pasukan TNI di wilayah itu, dan menerapkan kebijakan yang nyata untuk mencegah kasus
semacam ini terus berulang di kemudian hari. Sejak Juli 2021 hingga Juli 2022, Amnesty mencatat
ada setidaknya 4 kasus penyiksaan yang diduga melibatkan anggota TNI dengan total 11 korban.

Penyiksaan adalah pelanggaran atas hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM
internasional yang telah diterima dan berlaku sebagai hukum nasional. Dalam hukum HAM
internasional, Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menegaskan
bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun. Kegagalan proses
akuntabilitas hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
hak asasi manusia.


Pelaku tindak pidana harus ditangani melalui sistem peradilan pidana dan bukan hanya dengan
penanganan internal atau ditangani sebagai suatu tindak pelanggaran disiplin. Meski sanksi disiplin
tetap bisa berlangsung pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak menggantikan
proses peradilan di lingkungan pengadilan umum. Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai
penafsir otoritatif ICCPR, menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan
pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan
imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan maupun penghukuman terhadap pihak-pihak
yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.


Pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan telah diatur pada UUD 1945 Pasal 28G
Ayat 2 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Juga
ditegaskan di dalam Pasal 4 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada intinya
menyatakan bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Selain itu, penyiksaan terhadap anak adalah pelanggaran
terhadap pasal 76C UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan undang-undang perlindungan anak
yang menegaskan, “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”


Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.