Usut dugaan penganiayaan aparat terhadap demonstran Lutfi

[Amnesty International Indonesia/ Aldo Marchiano Kaligis]

Merespon kesaksian Lutfi Alfiandi, salah satu demonstran aksi September 2019, di depan persidangan kemarin bahwa dirinya telah disiksa oleh aparat saat pemeriksaan di kepolisian, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Pengakuan Lutfi bahwa ia dipaksa untuk mengaku dan dianiaya oleh polisi harus diusut tuntas.”

“Penggunaan penyiksaan selama interogasi adalah praktik usang yang seharusnya ditinggalkan. Ini keterlaluan dan melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.”

“Di bawah konvensi yang juga diratifikasi Indonesia itu, penggunaan penyiksaan tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apa pun.”

“Kami meminta Komnas HAM, Ombudsman dan Kompolnas mengusut tuntas dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan kekerasan yang tidak diperlukan terhadap demonstran. Caranya adalah dengan melakukan penyelidikan. Pelaku kekerasan harus diadili, dan tidak cukup diberi sanksi administratif, apalagi dibiarkan lolos tanpa penghukuman.”

Latar belakang

Pada 20 Januari 2020, Lutfi Alfiandi menjalani sidang lanjutan atas dakwaan melawan aparat yang sedang menjalankan tugas, merusak fasilitas umum dan melakukan kekerasan terhadap polisi pada saat demonstrasi menolak RUU KUHP dan RUU KPK di depan Gedung MPR/DPR RI 30 September 2019.

Dalam persidangan itu, Lutfi mengaku dirinya mendapat penyiksaan dari aparat sehingga terpaksa mengaku sebagai pelaku pelemparan batu terhadap petugas. Ia juga mengatakan tertekan dan mendapatkan sejumlah penganiayaan fisik seperti ‘dijepit’ dan ‘disetrum’.

Lutfi ditangkap anggota Polres Jakarta Barat usai demo yang berujung ricuh tersebut.

Ia terancam pidana dalam pasal 212 KUH Pidana juncto pasal 214 ayat 1 KUH Pidana atau pasal 170 ayat 1 KUH Pidana atau 218 KUH Pidana.

Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, polisi diizinkan untuk menggunakan kekuatan hanya jika benar-benar diperlukan. Penggunaan kekuatan harus ditujukan untuk menghentikan kekerasan, sambal meminimalkan cedera dan melindungi hak untuk hidup.

Polri memiliki Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa yang sesuai dengan standar HAM. Namun, belum ada perubahan yang berarti dalam praktik yang dilakukan kepolisian dalam penggunaan kekuatan dan pengendalian massa.