Usut Dugaan Pembunuhan Remaja Papua Oleh Anggota Militer di Asiki

Menanggapi kasus dugaan pembunuhan terhadap seorang remaja Papua berumur 18 tahun bernama Oktovianus Warip Betera oleh beberapa anggota militer dari Kodam Brawjiaya di Desa Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyatakan:

“Baru saja terjadi di Nduga, pembunuhan di luar hukum yang diduga melibatkan anggota TNI kembali terjadi di Papua. Bahkan dalam sebulan terakhir, pembunuhan seperti ini bukan pula yang pertama terjadi di Asiki, Boven Digul. Sebelumnya, anggota Polri juga diduga membunuh petani kebun pisang Marius Betera. Jelas ini semua patut disesalkan. Ini menunjukkan negara tidak serius dalam mencegah maupun menindak tindakan represif aparat yang melanggar hukum di Papua. Akibatnya, terus berulang. Amnesty kembali harus mendesak negara untuk menegakkan hukum dan hak asasi manusia di Papua.”

“Terlebih lagi, ada dugaan bahwa aparat TNI berusaha menutup-nutupi kasus ini dari keluarga korban. Keluarga korban bahkan awalnya tidak bisa melihat jenazah korban. Jika benar demikian, maka ini menunjukkan sikap yang tidak profesional dari institusi militer di Asiki.“

“Penghilangan nyawa, apalagi jika itu dilakukan di luar hukum, adalah pelanggaran HAM berat. Otoritas yang berwenang harus bertindak tegas kepada pelaku, tidak cukup hanya dengan permintaan maaf.”

“Kami mendesak otoritas berwenang untuk melakukan investigasi independen dan transparan terkait kasus ini dalam ranah hukum pidana. Tidak cukup hanya sanksi internal kepada pelaku. Jangan ada lagi impunitas hukum, apalagi terhadap aparat negara seperti TNI dan kepolisian yang seharusnya memberi contoh perilaku yang menghormati hukum dan hak hidup manusia.”

“Kami mendesak negara untuk memastikan tersedianya reparasi bagi keluarga korban dan memfasilitasi proses pemulihan secara fisik, moral, material dan maupun mental.”

Latar belakang

Berdasarkan informasi yang diterima oleh Amnesty International Indonesia, pada tanggal 24 Juli 2020, terjadi sebuah adu mulut antara Oktovianus Betera, 18 tahun (usia berdasarkan keterangan pemuka agama dari tempat di mana ia menjadi jemaat), dengan seorang pemilik kios di Asiki, Papua. Oktovianus diduga mencuri sesuatu dari kios tersebut, namun belum ada konfirmasi dan bukti mengenai apa yang dicurinya. Sang pemilik kios saat itu juga langsung menghubungi TNI Kostrad, Satgas Yonif Raider 516/Caraka Yudha, tentang kejadian tersebut.

Aparat satgas pamtas mendatangi kios tersebut dan diduga mengeroyok Oktovianus hingga ia meninggal dunia. Berdasarkan laporan media-media setempat, hasil visum jenazah Oktovianus ditemukan lebam bekas penganiayaan. Sumber Amnesty di Papua mengatakan bahwa pihak TNI awalnya langsung memasukan jenazah Oktovianus ke peti mati kemudian peti tersebut dipaku sehingga menyulitkan keluarga korban untuk melihat jenazahnya.

Keluarga akhirnya bisa melihat jenazah korban setelah ada desakan dari pemuka agama setempat. Proses pemakaman pun dilaporkan dilaksanakan dengan pengawalan ketat oleh aparat TNI. Sumber yang sama juga mengatakan kepada Amnesty bahwa Danrem 174/ATW Brigjen TNI Bangun Nawoko telah meminta maaf kepada pihak keluarga melalui Kasrem.

Danrem Brigjen TNI Bangun membenarkan telah mengirim tim ke Asiki untuk menyelidiki insiden tersebut. Sumber Amnesty dari Mabes TNI telah mengonfirmasi adanya insiden tersebut dan menyatakan bahwa pihak TNI telah memulai penyelidikan terhadap pelaku.

Data Amnesty menunjukkan, dalam dua bulan terakhir, ada 5 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua yang diduga melibatkan aparat. Selain kasus Oktovianus Betera, pada 18 Juli lalu, ayah-anak bernama Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu (18) juga menjadi korban dugaan pembunuhan di luar hukum di wilayah Nduga oleh aparat TNI. Lalu pada 11 Juni 2020, Sularso (42) menjadi korban pembunuhan di Wamena, Jayawijaya, yang diduga juga melibatkan anggota TNI. Tanggal 25 Mei 2020, dugaan pembunuhan terhadap Justinus Silas Dimara (35) terjadi di Jayapura. Terduga pelakunya adalah Satgas Pengendalian, Pencegahan dan Penanganan Virus COVID Provinsi Papua. Kemudian kasus dugaan pembunuhan Marius Betera (40) yang sama-sama terjadi di Asiki, Boven Digul, dengan terduga pelaku dari kepolisian.

Data yang sama juga menunjukkan bahwa hampir tiap bulan di tahun 2020 ini pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua. Amnesty mencatat adanya 10 kasus pembunuhan di luar hukum sejak Februari 2020 hingga 24 Juli 2020 dengan total 14 korban.

Pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) oleh aparat merupakan pelanggaran hak untuk hidup, hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional dan Konstitusi Indonesia. Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya. Maka kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Pelaku tindak pelanggaran kriminal terkait HAM harus ditangani melalui sistem peradilan pidana dan bukan dengan penanganan internal atau ditangani sebagai suatu tindak pelanggaran disiplin. Meski sanksi disiplin tetap bisa berlangsung pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak bisa menggantikan proses pengadilan tersangka di pengadilan sipil. Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.

Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.