Tidak memberi efek jera, Indonesia harus tinggalkan hukuman mati

Menanggapi vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada 13 orang oleh Pengadilan Negeri Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Vonis hukuman mati kepada 13 orang dalam satu hari di Sukabumi adalah preseden buruk yang pertama kali terjadi. Ini kembali menunjukkan tren vonis mati di Indonesia yang justru semakin meningkat di tengah tren global yang menunjukkan penurunan dalam hal menjatuhkan vonis mati.”

“Sepanjang 2020, kami mencatat ada setidaknya 117 orang yang divonis dengan hukuman mati, 101 di antaranya terkait kasus narkotika. Jumlah 117 vonis ini adalah kenaikan signifikan dari 80 vonis mati yang dijatuhkan pada 2019, dan 48 vonis pada 2018.”

“Sudah ada 142 negara yang menghapus hukuman mati. Banyak pula yang paling tidak telah melakukan moratorium penundaan pelaksanaan hukuman mati. Indonesia memang belum menghapus hukuman mati, tapi telah dikenal dunia sebagai negara yang tergolong sebagai negara yang cenderung terbuka pada moratorium. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menunjukkan komitmen serius terhadap hak-hak asasi manusia dengan bergerak menuju penghapusan hukuman mati, sebagai tahap lanjutan setelah moratorium. Bukan malah menambah jumlah orang yang menunggu eksekusi.”

“Kami tidak menentang hukuman bagi orang yang terbukti melakukan tindakan kriminal. Tapi apa pun kejahatannya, apa pun latar asal usul kebangsaannya, hukuman yang dikenakan harus menghormati komitmen Indonesia untuk tidak menjatuhkan hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.”

Latar belakang

Pada 6 April, Pengadilan Negeri Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat menjatuhkan vonis mati kepada 13 terdakwa kasus narkotika. Empat di antara terdakwa adalah warga negara asing, sementara sembilan lainnya adalah warga negara Indonesia.

Hukuman mati merupakan bentuk hukuman buruk, kejam dan merendahkan harkat martabat manusia. Hukuman ini juga memberikan siksaan mental dan fisik kepada narapidananya. Bahkan hukuman ini juga melanggar hak untuk hidup yang diatur dalam Protokol Opsional Tambahan Kedua dari Kovenan Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Lebih jauh, hukuman mati melanggar komitmen Indonesia yang juga sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT) melalui UU No. 5 tahun 1998.

Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dan untuk tidak disiksa juga diatur dalam Konstitusi Indonesia dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagai bagian dari Dewan HAM PBB, Indonesia memiliki tanggung jawab atas komitmennya untuk melaksanakan kovenan maupun konvensi tersebut, dalam hal ini termasuk menghapus hukuman mati. Secara ilmiah, hukuman ini tidak terbukti telah memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan.

Tidak hanya eksekusi mati itu sendiri yang merupakan bentuk hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, namun fenomena deret tunggu eksekusi mati (deathrow phenomenon) juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi yang merupakan bagian dari penyiksaan.

Hal ini disampaikan oleh Juan E. Mendez (Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat periode 2010-2016) bahwa “waktu lama dalam deret tunggu eksekusi mati, bersama dengan kondisi-kondisi (buruk) yang menyertainya, merupakan pelanggaran terhadap larangan penyiksaan itu sendiri.”

Amnesty International Indonesia dengan tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali – terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan.  Amnesty International tidak menolak penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan. Tapi apapun jenis kejahatannya, bentuk hukumannya harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.