Sudan Selatan: Kekejaman yang terus berlanjut mengubah sumber penghidupan Negara menjadi lahan pembantaian

  • Hampir satu juta orang mengungsi secara paksa di wilayah Equatoria, memicu krisis pengungsi yang tumbuh kembangnya paling cepat di dunia
  • Warga sipil ditembak, dipotong-potong sampai mati dengan parang dan dibakar di dalam rumah mereka
  • Wanita dan anak perempuan diculik dan diperkosa ramai-ramai

Konflik di garis depan Sudan Selatan telah memaksa ratusan ribu orang untuk melarikan diri dari wilayah Equatoria yang subur di negara tersebut selama setahun terakhir, menciptakan kekejaman, kelaparan dan ketakutan yang terus berlanjut, menurut keterangan terbaru Amnesty International hari ini.

Peneliti dari Amnesty International mengunjungi wilayah tersebut pada bulan Juni, mendokumentasikan bagaimana situasi di daerah tersebut terutama bagaimana pemerintah dan pasukan oposisi di wilayah selatan terlibat dalam kejahatan berdasarkan hukum internasional, pelanggaran berat hak asasi manusia dan pelanggaran lainnya – termasuk kejahatan perang – terhadap warga sipil. Kekejaman tersebut mengakibatkan perpindahan besar-besaran yang hampir mencapai angka satu juta orang, termasuk pengungsi yang melarikan diri ke Negara tetangga yakni Uganda.

“Eskalasi pertempuran di wilayah Equatoria telah menyebabkan meningkatnya kebrutalan terhadap warga sipil. Pria, wanita dan anak-anak telah ditembak, dipotong-potong sampai mati dengan parang dan dibakar hidup-hidup di rumah mereka. Perempuan dan anak perempuan diperkosa ramai-ramai dan diculik,” kata Donatella Rovera, Senior Crisis Response Adviser untuk Amnesty International, yang baru saja kembali dari wilayah tersebut.

“Rumah, sekolah, fasilitas medis dan organisasi kemanusiaan telah dirampok, dirusak dan dibakar hingga rata dengan tanah. Makanan digunakan sebagai senjata perang.

“Kekejaman ini terus berlanjut, dengan ratusan ribu orang yang kira-kira setahun lalu tidak terdampak atas konflik tersebut, terpaksa mengungsi sekarang.”

Wilayah Equatoria di Sudan Selatan telah terhindar dari kekerasan politik dan konflik antar-kelompok masyarakat yang telah menghancurkan negara ini sejak 2013, saat pertempuran terjadi antara anggota Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA) yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan mereka yang setia kepada Wakil Presiden Riek Machar.

Semua ini berubah pada pertengahan 2016, karena berbagai alasan, baik kekuatan pemerintah maupun oposisi yang turun ke Yei—sebuah kota strategis yang berpenduduk 300.000 orang berlokasi di 150 km sebelah barat daya ibukota Juba—tepat pada rute perdagangan utama ke Uganda dan Republik Demokratik Dari Kongo (DRC).

Pasukan pemerintah, yang didukung oleh milisi sekutu, termasuk Mathian Anyoor yang terkenal tidak bertanggung jawab – terdiri dari pejuang muda yang kebanyakan berasal dari etnis Dinka – telah melakukan serangkaian pelanggaran tanpa mendapatkan hukuman (impunitas). Kelompok bersenjata oposisi juga telah melakukan pelanggaran berat, meski dalam skala yang lebih kecil.

Pembantaian dan pembunuhan yang disengaja

Sejumlah saksi mata di desa-desa sekitar Yei mengatakan kepada Amnesty International bagaimana pasukan pemerintah dan sekutu milisi dengan sengaja membunuh warga sipil tanpa pikir panjang. Orang yang lolos dari pembantaian itu menggambarkan pola serupa.

Dalam satu serangan pada malam hari tanggal 16 Mei 2017 tersebut, tentara pemerintah secara sewenang-wenang menahan 11 orang di desa Kudupi, di daerah Kajo Keji, dekat perbatasan Uganda. Mereka memaksa delapan dari mereka masuk ke sebuah gubuk, mengunci pintu, membakarnya dan melepaskan beberapa tembakan ke arah bangunan yang terbakar. Enam orang tewas dalam insiden tersebut – dua dibakar sampai mati dan empat lainnya ditembak saat mereka mencoba melarikan diri – terang empat orang yang selamat kepada Amnesty International.
Joyce, ibu enam anak dari desa Payawa, selatan Yei, menggambarkan bagaimana suaminya dan lima pria lokal lainnya tewas dalam serangan serupa pada tanggal 18 Mei 2017. Dia juga mengatakan kepada Amnesty International bagaimana tentara berulang kali menyiksa penduduk desa sebelum pembantaian tersebut:

“Ini adalah kelima kalinya desa diserang tentara. Dalam empat serangan pertama, mereka telah menjarah barang tapi tidak membunuh siapa pun. Mereka biasa datang, menangkap orang, menyiksa mereka dan mencuri barang. Mereka akan membawa orang ke tempat tersembunyi untuk menyiksa mereka. Mereka juga akan menangkap gadis-gadis muda dan memperkosanya dan kemudian membebaskan mereka. [Mereka memperkosa] Susie, keponakan suami saya, umur 18, [di desa] pada tanggal 18 Desember 2016. ”

Dalam insiden lain, sembilan penduduk desa menghilang setelah dibawa oleh tentara dari sebuah barak di dekat Gimunu, 13 kilometer di luar kota Yei, pada 21 Mei 2017. Sebuah penyelidikan polisi menemukan mayat-mayat tersebut pada tanggal sembilan Juni hingga pertengahan Juni. Korban diyakini telah dipotong-potong sampai mati dengan parang. Tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban, yang tampaknya adalah hal biasa ketika polisi mencoba menyelidiki kasus tentara yang membunuh warga sipil.

Serangan di desa oleh tentara sering terlihat sebagai balas dendam atas aktivitas pasukan oposisi di wilayah tersebut.

Pejuang oposisi bersenjata juga sengaja membunuh warga sipil yang mereka anggap sebagai pendukung pemerintah, seringkali hanya karena etnis Dinka atau pengungsi dari wilayah Pegunungan Nuba Sudan dituduh bersimpati dengan pemerintah.

Pemerkosaan dan kekerasan seksual berbasis gender lainnya

 Amnesty International juga mendokumentasikan bagaimana penculikan dan pemerkosaan terhadap perempuan dan anak perempuan melonjak di wilayah Equatoria sejak pertempuran meningkat tahun lalu.

“Satu-satunya cara agar wanita dan anak perempuan aman adalah mati – tidak ada cara lain untuk merasa aman selama kita masih hidup, ini menunjukkan buruknya situasi di sana,” Mary, seorang ibu berusia 23 tahun dengan lima anak menjelaskan demikian kepada Amnesty International.

Pada bulan April 2017, tiga tentara masuk ke rumahnya pada tengah malam dan dua di antaranya memperkosanya. Dia kemudian melarikan diri bersama anak-anaknya ke sebuah rumah kosong, namun pada malam setelahnya, seorang penyerang tak dikenal menyulut api saat keluarga tersebut tidur, memaksa mereka untuk melarikan diri lagi.

Wanita sangat berisiko mengalami serangan seksual saat mereka bepergian ke luar kota untuk mencari makanan di daerah pedesaan sekitarnya – sebuah kebutuhan karena persediaan makanan berkurang dan meningkatnya penjarahan.

Sofia, seorang wanita berusia 29 tahun, mengatakan kepada Amnesty International bagaimana pasukan oposisi menculiknya dua kali. Mereka menahannya dengan wanita lain sekitar satu bulan pertama kalinya dan seminggu kedua kalinya, dan dia diperkosa berulang kali. Mereka hanya bergeming saat Sofia memohon atas keselamatannya, karena ia memiliki tiga orang anak dan suaminya telah ditembak oleh tentara.

Dia kemudian melarikan diri ke Yei, di mana dia harus berhadapan dengan kelangkaan bahan pangan.

Makanan sebagai senjata perang

Akses masyarakat terhadap pangan sangat terbatas. Baik pemerintah maupun pasukan oposisi telah mengurangi pasokan makanan ke daerah-daerah tertentu, secara sistematis menjarah makanan dari pasar dan rumah dan penduduk sipil yang ditargetkan membawa bahkan jumlah makanan terkecil di garis depan. Masing-masing pihak menuduh warga sipil bahwa mereka memberi makan kepada tentara dan sebaliknya.

Di kota Yei, mayoritas penduduknya telah melarikan diri pada tahun lalu, penduduk sipil yang tersisa berada di bawah pengepungan virtual. Mereka menghadapi kekurangan pangan yang parah karena mereka tidak lagi bisa mendapatkan makanan di daerah pedesaan sekitarnya.

Pada tanggal 22 Juni, PBB memperingatkan bahwa keresahan pangan telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya (UN warned that food insecurity had reached unprecedented levels) di beberapa bagian Sudan Selatan.

“Ini adalah tragedi perang yang kejam bahwa sumber makanan Negara di Sudan Selatan – wilayah yang setahun lalu bisa memberi makan jutaan orang – telah berubah menjadi lahan pembantaian yang telah memaksa hampir satu juta orang melarikan diri untuk mencari zona aman,” kata Joanne Mariner, Senior Crisis Response Adviser untuk Amnesty Internasional.

“Semua pihak dalam konflik harus mengendalikan pejuang mereka dan segera berhenti menarget warga sipil yang dilindungi oleh undang-undang perang. Mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman harus dibawa ke pengadilan. Sementara itu, pasukan penjaga perdamaian PBB harus memenuhi mandat mereka untuk melindungi warga sipil dari serangan yang sedang berlangsung ini.“

“Apa yang terjadi di Sudan Selatan tidak bisa kita biarkan berlarut-larut. Kedua belah pihak harus menyadari bahwa penggunaan bahan makan sebagai strategi perang, pembunuhan, kekerasan, perkosaan dan penjarahan yang terjadi sangat bertentangan dengan prinsip HAM dan hukum internasional. Masyarakat internasional, termasuk pemerintah Indonesia harus turut ambil bagian, menekan pemerintah Sudah Selatan untuk menghormati hajat hidup warganya”, tukas Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.

Dokumen Publik
****************************************
Untuk informasi atau wawancara lebih lanjut, hubungi Kantor Pers Amnesty Internasional di London, Inggris melalui:

+44 20 7413 5566 or
email: [email protected]
twitter: @amnestypress

International Secretariat, Amnesty International, 1 Easton St., London WC1X0DW, United Kingdom