Stella Monica bebas, momentum revisi UU ITE berperspektif HAM

Menanggapi vonis bebas yang diberikan kepada Stella Monica, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Kami menyambut baik vonis bebas yang diberikan kepada Stella dan mengapresiasi majelis hakim yang telah mengambil putusan yang melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat.”

“Kabar baik ini juga tidak lepas dari dukungan masif yang datang dari semua kalangan masyarakat untuk mendesak keadilan untuk Stella.”

“Namun, kasus ini tetap menunjukkan perlunya revisi UU ITE. Sebab dari awal Stella seharusnya tidak menjalani proses hukum hanya karena dianggap mengungkapkan ketidakpuasan atas layanan yang didapatkannya, yang sebenarnya sangat wajar.”

“Kasus ini juga menunjukkan bagaimana UU ITE berpotensi terus berulang dan berujung pemidanaan bagi siapapun, bukan hanya jurnalis, aktivis ataupun akademisi.”

“Tidak hanya kasus Stella, vonis tiga bulan penjara diberikan kepada jurnalis M. Asrul bulan lalu juga menunjukkan urgensi dan signifikasi revisi UU ITE yang lebih memprioritaskan perlindungan hak warga atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Bukan hanya mementingkan ketertiban umum.”

“Kami mendesak agar pihak jaksa penuntut umum tidak mengajukan banding dan menerima keputusan yang telah menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.”

“Kami juga mendesak agar Asrul dan semua orang yang dipidana dengan UU ITE hanya karena menggunakan haknya untuk berekspresi dan berpendapat dibebaskan dengan segera dan tanpa syarat.”

Latar belakang

Pada 14 Desember, Stella Monica divonis bebas oleh majelis hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Sebelumnya, Stella dituntut satu tahun penjara oleh jaksa penuntut umum dan dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena pada tanggal 27 Desember 2019 ia mengunggah keluhannya tentang iritasi kulit yang ia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya.

Klinik kecantikan tempat Stella berobat merasa namanya telah dicemarkan dan melaporkan Stella ke pihak berwenang dan menuduh Stella telah melakukan pencemaran nama baik mereka dan melanggar UU ITE.

Sebelumnya, pada tanggal 23 November, Asrul, seorang jurnalis di Palopo, divonis tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan.

Asrul dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada bulan Mei 2019 lalu.

Pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE, termasuk Pasal 27 terkait pencemaran nama baik, semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi orang yang secara damai menggunakan hak atas kebebasan berekspresi melalui sarana elektronik, seperti menulis pesan di aplikasi pesan instan atau berbagi pendapat di media sosial. Sejak Januari hingga November 2021, Amnesty International Indonesia mencatat bahwa terdapat 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan 98 orang korban.

Hak atas kebebasan berpendapat sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dijamin di Pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dijelaskan lebih lanjut di Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3), serta pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.