Solidaritas Warga Aceh Pada Rohingya Harus Didukung Pemerintah

Bersandarnya 99 pengungsi Rohingya di pantai Aceh Utara hari ini menunjukkan kemenangan solidaritas antar sesama manusia, sebut pernyataan terbaru Amnesty International Indonesia hari ini.

“Kabar baik dari Aceh ini sangat melegakan. Ini menunjukkan betapa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai solidaritas tetapi juga sangat menghormati hak asasi pengungsi Rohingya yang selama ini terabaikan,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“Namun, upaya ini seharusnya tak berhenti sampai di sini. Perlindungan resmi dan menyeluruh dari Pemerintah pusat harus segera diberikan. Setelah perjalanan laut yang berbahaya dengan kondisi kelaparan, mereka membutuhkan tempat untuk berlindung.”

“Pandemi Covid-19 harusnya menjadi faktor pendorong bagi Otoritas Indonesia untuk segera menyediakan kebutuhan dasar bagi para pengungsi seperti makanan, layanan kesehatan, dan tempat tinggal sementara. Kita harus ingat, mereka ini adalah kelompok rentan yang diperlakukan secara sadis oleh otoritas di negaranya,” jelas Usman.

“Karena itu, Pemerintah Indonesia harus segera mengaktifkan kembali dialog regional untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya lainnya yang masih berada di lautan. Komunitas regional juga harus segera mengakhiri penderitaan mereka dengan melakukan langkah-langkah yang diamanatkan oleh hukum internasional.”

Latar belakang

Pada tanggal 25 Juni 2020, sebuah kapal yang mengangkut 99 pengungsi Rohingya bersandar di pantai Aceh Utara. Di antara para pengungsi, terdapat 34 anak-anak.

Masyarakat setempat mendesak otoritas berwenang untuk membiarkan para pengungsi bersandar di wilayah mereka dan berusaha mencegah aparat untuk mendorong kembali kapal pengungsi ke lautan lepas.

Sehari sebelumnya, nelayan lokal menemukan kapal pengungsi ini di lepas pantai Seunuddon dengan kondisi kapal yang rusak.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS), Konvensi Pencarian dan Pertolongan Maritim (Maritime Search and Rescue Convention, Konvensi SAR), dan Konvensi Internasional untuk Keselamatan Penumpang di Laut (International Convention for the Safety of Life at Sea, Konvensi SOLAS) yang mewajibkan Negara Pantai untuk memberikan bantuan dan mengkoordinasi operasi pencarian dan pertolongan (SAR) terhadap orang-orang yang berada dalam kesulitan di laut, terlepas dari kewarganegaraannya.

Tidak hanya itu, hukum kebiasaan internasional juga mengatur adanya prinsip non-refoulement, yang mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam, termasuk mendorong kembali para pengungsi tersebut ke laut.