Segera revisi UU ITE sebelum amnesti kembali dibutuhkan

Menanggapi tuntutan satu tahun penjara terhadap Stella Monica dan M. Asrul karena dianggap melanggar UU ITE, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan:

“Stella dan Asrul seharusnya tidak perlu dipidana sejak awal. Stella hanya mengungkapkan pendapatnya secara damai tentang layanan kecantikan yang dia gunakan, sementara Asrul hanya membuat karya jurnalistik yang seharusnya ditangani dengan UU Pers, yaitu melalui hak jawab pihak yang merasa keberatan. Bukan dengan ancaman pidana di bawah UU ITE yang hanya kembali menunjukkan urgensi revisi UU ITE.”

“Stella dan Arsul adalah cerminan betapa negara telah gagal melindungi hak asasi mereka. Jika proses hukum ini berakhir dengan hukuman pidana bagi keduanya, maka ada potensi besar munculnya efek gentar yang membuat masyarakat semakin takut mengungkapkan pendapat. Padahal apa yang dilakukan mereka telah dijamin dalam Konstitusi dan hukum internasional.”

“Di sisi lain, kasus Stella dan Asrul hanyalah dua dari puluhan kasus serupa. Dari Januari hingga Oktober 2021, Amnesty mencatat setidaknya 60 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena dituduh melanggar UU ITE saat melaksanakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.”

“Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman kasus Saiful Mahdi dan Baiq Nuril. Berapa banyak lagi orang yang harus mendapatkan amnesti sebelum pemerintah dan DPR mengambil langkah cepat dan konkrit untuk menghentikan penyalahgunaan pasal-pasal karet ini?”

“Kami juga kembali mendesak pemerintah untuk segera merevisi pasal-pasal yang bermasalah dalam UU ITE. Amnesty dan kelompok masyarakat sipil telah menyampaikan delapan pasal problematis yang perlu untuk direvisi, karena pasal-pasal ini telah menimbulkan korban.”

“Selama menunggu revisi, kami juga kembali mendorong pemerintah untuk mengambil langkah untuk menegakkan hak kebebasan berekspresi dengan memberikan pembebasan tanpa syarat kepada mereka yang sudah divonis bersalah dan berkekuatan hukum tetap, SKP2 untuk yang kasusnya tengah ada di kejaksaan dan baru mau dibawa ke pengadilan, dan SP3 untuk mereka yg baru berstatus tersangka di kepolisian.”

Latar belakang

Pada 21 Oktober, Stella Monica dituntut satu tahun penjara oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Stella dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena pada tanggal 27 Desember 2019 ia mengunggah keluhannya tentang iritasi kulit yang ia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya.

Klinik kecantikan tempat Stella berobat merasa namanya telah dicemarkan dan melaporkan Stella ke pihak berwenang dan menuduh Stella telah melakukan pencemaran nama baik mereka dan melanggar UU ITE.

Sebelumnya, pada tanggal 13 Oktober, Asrul dituntut satu tahun penjara oleh jaksa penuntut umum di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan.

Asrul, seorang jurnalis di Palopo dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada bulan Mei 2019 lalu.

Pasal problematik dalam UU ITE, termasuk Pasal 27 terkait pencemaran nama baik, semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi orang yang secara damai menggunakan hak atas kebebasan berekspresi melalui sarana elektronik, seperti menulis pesan di aplikasi pesan instan atau berbagi pendapat di media sosial.

Hak atas kebebasan berpendapat sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dijamin di Pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dijelaskan lebih lanjut di Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3), serta pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.