RUU Cipta Kerja langgar hak asasi manusia

[TEMPO/M Taufan Rengganis; MT2020021210]

Rancangan Undang-Undang (RUU) Sapu Jagad tentang Cipta Kerja yang disusun Pemerintah berpotensi menggerus hak-hak asasi manusia di sektor buruh, lingkungan dan media. Oleh karena itu Pemerintah dan DPR harus merevisi sejumlah pasal yang menurut Amnesty akan berpotensi membahayakan hak-hak asasi manusia.

RUU yang berisi 1.244 pasal tersebut dan “menyapu” 79 undang-undang itu, antara lain UU Ketenagakerjaan (2003), UU Jaminan Sosial (2004), UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (2009), dan UU Pers (1999), telah mengabaikan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik. 

Pemerintah mengklaim telah membuka kanal di situs Kementerian Hukum dan HAM sebagai wujud keterbukaan untuk menyerap masukan masyarakat. Nyatanya, tidak ada akses atas RUU tersebut kecuali setelah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyerahkan draft RUU tersebut kepada Ketua DPR RI pada 12 Februari 2020.

Pemerintah juga mengklaim telah melibatkan 14 serikat buruh sebagai Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Nyatanya, organisasi-organisasi tersebut, termasuk organisasi jurnalis dan media, tidak dilibatkan. 

“Proses penyusunannya tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang akan terdampak langsung dari aturan tersebut khususnya kalangan buruh, pegiat lingkungan dan media. Penyusunannya hanya mengedepankan aspirasi petinggi negara dan pengusaha. Tidak heran banyak penolakan yang keras dari masyarakat sipil,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Tidak adanya partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi atas RUU itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam menjamin proses legislasi yang sesuai hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia yang melindungi  hak untuk turut serta dalam urusan pemerintahan,” kata Usman.

Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik mewajibkan negara agar membuka partisipasi publik, menjamin hak masing-masing warga negaranya untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan atas suatu aturan, langsung maupun melalui wakil yang dipilih.

Pasal 19 Kovenan tersebut menyebutkan, setiap orang berhak mendapatkan akses atas informasi, mencari dan mendapat informasi baik langsung, tertulis dan melalui medium lain.

Hukum Indonesia juga mengatur bahwa masukan atas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan diskusi. Untuk memastikan partisipasi masyarakat, setiap rancangan peraturan harus dapat diakses masyarakat dengan mudah.

“Jadi, baik hukum internasional maupun hukum nasional menjamin agar masyarakat luas memiliki hak untuk mengakses naskah RUU Cipta Kerja yang akan disahkan oleh Pemerintah dan DPR. Publik juga berhak untuk terlibat dalam proses legislasinya sedari awal. Kecacatan dalam proses formil penyusunan UU dapat dijadikan dasar untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi begitu UU tersebut diberlakukan,” kata Usman.

Mimpi buruk bagi buruh, pegiat lingkungan dan media

Selain proses penyusunannya bermasalah, substansi RUU Cipta Kerja akan menggerus hak-hak buruh. RUU Cipta Kerja mengubah banyak pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang jelas berpotensi melanggar HAM, terutama hak-hak atas upah minimum yang adil, atas status pekerjaan, batasan terhadap jam kerja, waktu istirahat dan libur, serta konsultasi tripartit.

Cara RUU Cipta Kerja mengubah upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang ditetapkan Walikota menjadi hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan oleh Gubernur akan menimbulkan situasi di mana upah minimum tidak memenuhi standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi buruh. Ini karena setiap wilayah di tiap provinsi memiliki tingkat harga kebutuhan dan daya beli masyarakat yang berbeda-beda.

“Ketentuan RUU Cipta Kerja tersebut juga melanggar Pasal 7 Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang mengatur hak buruh untuk mendapat upah minimum yang mendukung standar kehidupan yang layak,” kata Usman. 

RUU Cipta Kerja juga menghapus beberapa jenis cuti yang tetap mewajibkan pengusaha untuk membayar pekerja, antara lain cuti untuk pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau keguguran, cuti pekerja yang menikahkan keluarganya, mengkhitankan atau membaptiskan anaknya, cuti haid, cuti untuk pekerja yang menjalankan kewajiban atau ibadah agamanya, cuti untuk melaksanakan tugas serikat buruh hingga cuti melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

“RUU ini menimbulkan ketidakjelasan hak pekerja untuk tetap mendapat upah walau menjalankan waktu istirahat atau libur. Pemerintah bisa gagal memenuhi kewajibannya dan mencegah pelanggaran hak pekerja untuk mendapatkan cuti berbayar, sesuai prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan HAM,” kata Usman.

Singkatnya, RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan-ketentuan sejumlah undang-undang dengan cara yang bertentangan dengan hukum internasional, terutama terkait hak pekerja atas kondisi yang adil dan menyenangkan di tempat kerja (right to just and favourable condition at work) yang dijamin oleh Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya maupun yang direkomendasikan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Media contact:
Nurina Savitri
Media Manager – Amnesty International Indonesia
0811 1960 630