Presiden jangan cuci tangan soal nasib pegawai KPK

Menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Kepala Kepolisian RI Jend. Listyo Sigit Prabowo yang menawarkan untuk menempatkan 57 pegawai KPK yang dianggap tidak lolos TWK sebagai ASN di jajaran Polri, serta surat dari Presiden Joko Widodo yang merestui rencana tersebut, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Menempatkan pegawai KPK yang dianggap tidak lolos TWK sebagai ASN di jajaran kepolisian tidak serta merta mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi selama proses TWK.”

“Alih-alih menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM, pemerintah seolah menutup mata terhadap temuan-temuan kedua lembaga independen negara tersebut.”

“Tawaran untuk menempatkan para pegawai KPK yang tidak lolos TWK di kepolisian juga menunjukkan bahwa pemerintah merasa hasil TWK tidak valid. Karena bagaimana mungkin pegawai yang dianggap tidak cukup berwawasan kenegaraan untuk bekerja di KPK, dianggap memenuhi syarat untuk bekerja di Polri?”

“Tapi, sekali lagi, pemerintah terlihat memilih untuk mengambil jalan mudah dengan mengabaikan proses TWK yang jelas penuh pelanggaran dan memberikan ‘solusi’ setengah-setengah yang tidak memulihkan hak-hak para pegawai KPK secara penuh.”

“Presiden Jokowi tidak bisa ‘cuci tangan’ dari masalah TWK dengan menempatkan pegawai KPK di kepolisian. Jika 57 pegawai ini dianggap cukup kompeten untuk bekerja di Polri, maka seharusnya tidak ada alasan untuk menghalangi mereka bekerja di KPK. Dan jika pemerintah merasa bahwa hasil TWK tidak valid, maka seharusnya Presiden membatalkan hasil TWK dan mengembalikan status mereka sebagai pegawai KPK.”

Latar belakang

Pada tanggal 29 September, Kapolri Jend. Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa dia telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta izin merekrut pegawai KPK yang diberhentikan karena dianggap tidak lolos TWK menjadi ASN Polri.

Menkopolhukam Mahfud MD juga menyatakan hal serupa dalam sebuah diskusi publik pada tanggal 29 September. “Kalau KPK gak mau mengangkat mereka sebagai ASN, biar menjadi ASN di pemerintah saja,” katanya.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan bahwa dalam surat balasan kepada Kapolri, Presiden Joko Widodo mempersilakan Listyo untuk menjalankan rencana tersebut, dengan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara.

Sebelumnya, pada tanggal 15 September 2021, pimpinan KPK mengadakan konferensi pers yang mengumumkan bahwa 56 pegawai yang dianggap tidak lolos TWK akan diberhentikan per tanggal 30 September 2021.

Pada 29 September, seorang pegawai KPK lainnya, Lakso Anindito, mengaku diminta untuk mengambil surat pemberhentian karena dianggap tidak lolos TWK. Lakso baru menjalani TWK pada tanggal 20 dan 22 September karena sebelumnya sedang kuliah di luar negeri.

Sebelumnya, pada tanggal 16 Agustus 2021, Komnas HAM mengumumkan bahwa penyelidikan mereka terhadap proses TWK pegawai KPK menemukan ada setidaknya 11 jenis hak asasi manusia yang dilanggar dalam proses tersebut, termasuk hak atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, beragama dan berkeyakinan, dan untuk tidak diskriminasi.

Komnas HAM merekomendasikan bahwa proses penyelenggaraan asesmen TWK diambil alih oleh Presiden Joko Widodo dengan, antara lain, memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK.

Pada tanggal 21 Juli 2021, Ombudsman RI juga mengumumkan bahwa mereka menemukan adanya maladministrasi dalam proses pengalihan status pegawai KPK.

Amnesty mengingatkan bahwa hak-hak yang disebut dilanggar dalam proses asesmen TWK KPK, yaitu, diantara lainnya, hak atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, beragama dan berkeyakinan, dan untuk tidak didiskriminasi juga dilindungi oleh hukum HAM internasional. Sebagai contoh, Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) menjamin hak individu untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, termasuk “hak atas kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan.”

Definisi diskriminasi juga telah dijabarkan dalam Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1999, sebagai “setiap pembedaan, pengecualian, atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.”

Dalam hukum nasional sekalipun, hak, diantara lainnya, atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, beragama dan berkeyakinan, dan untuk tidak didiskriminasi,  dijamin dalam UUD 1945 dan juga UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.