Presiden harus pastikan rekomendasi TGIPF, Komnas HAM, dan LPSK dilaksanakan

Menanggapi penyerahan laporan TGIPF tragedi Kanjuruhan kepada Presiden Jokowi hari ini, termasuk laporan sebelumnya dari LPSK dan Komnas HAM, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Presiden memiliki peran utama dalam memastikan tuntasnya kasus ini melalui penyelesaian yang benar dan seadil-adilnya. Apalagi rekomendasi TGIPF jelas menyebut bahwa gas air mata menjadi penyebab utama kematian massal dalam tragedi Kanjuruhan.”

“Laporan TGIPF, LPSK, dan Komnas HAM harus dilaksanakan. Laporan mereka bisa meluruskan sanggahan kepolisian yang mengatakan korban tewas bukan karena gas air mata. Presiden juga harus memastikan rekomendasi ketiga lembaga tersebut dilaksanakan.”

“Temuan TGIPF, dari hasil rekaman CCTV stadion, menyatakan situasi saat kejadian jauh lebih mengerikan dibandingkan yang diketahui umum. Ini semakin menegaskan bahwa aparat telah menggunakan kekuatan secara berlebihan, dan berlaku brutal.”

Pada kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan,

“Presiden harus memastikan para pelaku dihukum pidana dengan seadil-adilnya di pengadilan umum. Presiden sebagai kepala pemerintah harus memenuhi komitmennya menyelesaikan tragedi ini. Buktikan bahwa Indonesia tidak, lagi-lagi, melanggengkan impunitas.

“Kami juga berharap agar publik terus menyoroti dan ikut mengawal kasus ini sampai tuntas. Ini tragedi yang harus dipertanggung jawabkan negara. Hak-hak seluruh korban harus dipenuhi. Tidak boleh ada pihak yang lepas tanggungjawab.”

Laporan TGIPF menyebut gas air mata yang ditembakkan polisi penyebab utama tragedi Kanjuruhan (Foto: Shutterstock).

Latar belakang

Pada hari Jumat 14 Oktober 2022, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan melaporkan hasil investigasi mereka kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta.

TGIPF yang dipimpin Menkopolhukam Mahfud MD menyebut bahwa gas air mata adalah penyebab utama kematian massal dalam tragedi Kanjuruhan.

Dalam keterangannya, Menko Mahfud juga mengatakan, proses jatuhnya korban jauh lebih mengerikan dari yang beredar di televisi dan media sosial.

Gas air mata yang ditembakkan polisi membuat suporter panik, berhamburan dan berdesak-desakan menuju pintu keluar. Akibatnya, banyak suporter akhirnya meninggal, mengalami kecacatan fisik dan kondisi kritis di rumah sakit.

Mahfud menyatakan temuan tersebut berdasarkan hasil rekonstruksi TGIPF terhadap 32 rekaman CCTV yang dimiliki aparat.