Pertemuan Modi-Trump soroti sentimen anti-Muslim dalam kebijakan kedua negara

Menanggapi pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Perdana Menteri India Narendra Modi, Amnesty International India dan Amnesty International Amerika menyatakan sikap bersama:

“Sentimen anti-Muslim telah meresap dalam kebijakan kedua negara. Selama puluhan tahun, hubungan Amerika-India dilandasi semangat saling berbagi tentang nilai-nilai hak asasi manusia. Namun, nilai-nilai tersebut kini berubah menjadi nilai diskriminasi, kefanatikan dan permusuhan terhadap para pengungsi dan pencari suaka,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Amerika, Margaret Huang.

“Pemblokiran internet yang terjadi di Kashmir yang telah berlangsung selama berbulan-bulan, diberlakukannya Amandemen UU Kewarganegaraan dan tindakan pembubaran terhadap aksi-aksi protes menunjukkan kepemimpinan yang kurang empati dan tidak adanya kemauan untuk melibatkan masyarakat. Kami mendorong Presiden Trump dan Perdana Menteri Modi untuk bekerja sama dengan komunitas international dan menaruh perhatian terhadap masalah ini dalam pertemuan bilateral mereka,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International India, Avinash Kumar.

Latar belakang

Amandemen UU Kewarganegaraan (CAA) 2019 memperluas kategori kewarganegaraan India hanya untuk Hindu, Sikh, Parsis, Kristen, Budha, dan Jain dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan, serta India. Aturan tersebut melegitimasi tindakan diskriminasi berdasarkan agama yang dianut. Selain dapat memecah belah, amandemen tersebut juga merugikan kelompok minoritas, terutama Muslim. Dalam Daftar Warga Nasional dan Daftar Populasi Nasional, status kewarganegaraan kelompok minoritas itu menjadi tidak pasti dan bisa berujung pada penahanan dan tidak berkewarganegaraan (stateless). Komisi Kebebasan Beragama Amerika Serikat (The U.S. Commission on International Religious Freedom) dan beberapa senator juga telah mengambil perhatian serius terkait amandemen ini.

Ribuan orang, termasuk mahasiswa, telah melakukan aksi-aksi protes turun ke jalan untuk menolak amandemen UU Kewarganegaraan. Namun pihak kepolisian merespon aksi tersebut dengan tindakan keras sampai menyebabkan 30 orang meninggal dunia, termasuk anak usia 8 tahun. Ribuan orang yang terlibat aksi protes ditangkap dan dijerat aturan hukum represif.

Dengan penutupan internet yang merajalela dan tidak terkendali, India menjadi negara dengan tingkat pembungkaman tertinggi. Perintah-perintah seperti “identifikasi mereka dari pakaian yang dikenakan” atau “tembak para pengkhianat” yang diucapkan oleh Perdana Menteri Modi dan para pendukung partainya telah memicu narasi ketakutan dan perpecahan yang akan menyebabkan tindakan kekerasan.

Lebih dari 6 bulan setelah penghapusan Pasal 370 Konstitusi India yang menjamin otonomi bagi Jammu dan Kashmir, layanan internet hanya tersedia di beberapa bagian negara dan pemimpin-pemimpin politik ditahan dan dijerat dengan UU Keamanan Publik yang represif.

Perluasan pelarangan terhadap Muslim oleh Presiden Trump, yang akan memengaruhi Nigeria, Eritrea, Myanmar, Kirgistan, Sudan, dan Tanzania, berlaku sejak 21 Februari. Para peneliti Amnesty International Amerika melakukan perjalanan ke Lebanon dan Yordania untuk melakukan hampir 50 wawancara dengan para pengungsi yang, akibat dari aturan pelarangan sebelumnya, telah terdampar di negara-negara di mana mereka menghadapi kesulitan, seperti kebijakan yang membatasi, lingkungan yang tidak bersahabat, dan tidak memiliki hak yang sama dengan penduduk tetap negara tersebut.

Amnesty International Amerika menentang larangan Muslim tersebut sejak awal dan mendorong Kongres untuk membatalkan aturan tersebut melalui pengesahan undang-undang NO BAN (H.R. 2214 / S. 1123), yang memiliki dukungan kuat di kedua kubu Kongres.