Pengadilan kasus Haris dan Fatia abaikan prinsip fair trial

Menanggapi pengadilan kasus Haris dan Fatia yang menghadirkan kesaksian Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan:

“Sidang hari ini menunjukkan bahwa pengadilan memberi perlakuan khusus terhadap pejabat tinggi. Sidang yang selama ini terbuka, hari ini menjadi sangat dibatasi dan diwarnai dengan pengamanan berlebih dari aparat.”

“Ada prinsip fair trial yang dilupakan pengadilan di mana semua individu memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Pengamanan berlebihan menyulitkan warga umum hingga tim kuasa hukum terdakwa untuk melewati gerbang gedung PN Jakarta Timur dan pintu ruang sidang pengadilan.

“Majelis hakim juga membatasi jumlah anggota tim kuasa hukum terdakwa dengan dalih kapasitas ruang sidang tidak memungkinkan. Kami juga menyesalkan berlanjutnya praktik diskriminasi dengan menggabungkan sidang Fatia dan Haris ketika menghadirkan Luhut sebagai saksi untuk kedua terdakwa. Ini bertentangan dengan keputusan majelis hakim sebelumnya yang menolak permintaan tim kuasa hukum terdakwa agar perkara kedua terdakwa digabungkan.

“Jangan sampai berbagai perlakuan khusus ini mengesankan adanya keberpihakan terhadap salah satu pihak di dalam proses pengadilan yang melanggar prinsip-prinsip fair trial.”

“Selain itu, pernyataan seksis Ketua Majelis Hakim yang meminta salah satu satu kuasa hukum terdakwa agar berbicara lebih keras karena ‘suaranya seperti perempuan’ tidak layak untuk diucapkan oleh siapapun, apalagi oleh seorang hakim dalam pengadilan.”

“Fatia dan Haris tidak seharusnya menjalani persidangan ini karena ekspresi damai yang mereka lontarkan terhadap pejabat publik dengan akses kekuasaan, karena kerja mereka sebagai pembela HAM. Dakwaan atas mereka tidak sesuai dengan hak kebebasan berekspresi sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) bahkan konstitusi.

“Kami mendesak keduanya dibebaskan dari segala tuduhan dan pihak berwenang menghormati hak-hak serta kerja para pembela HAM.”

Latar belakang

AI Indonesia

Sidang ke-6 atas kasus dugaan pencemaran nama baik dengan terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur berlangsung pada hari Kamis (8/6) untuk mendengarkan keterangan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai saksi pelapor.

Amnesty International Indonesia yang menghadiri persidangan Fatia-Haris sejak dimulai 3 April lalu menjumpai sejumlah kesulitan pada sidang hari ini. Pertama, tidak bisa langsung masuk ke ruang sidang karena mendapat pengamanan yang berlapis dari aparat Polri dan TNI serta petugas keamanan gedung pengadilan, mulai dari gerbang gedung hingga pintu masuk ruang sidang.

Kedua, sidang yang dijadwalkan mulai pukul 10.00 ditunda sekitar satu jam karena perdebatan antara Majelis Hakim, Tim Kuasa Hukum kedua terdakwa, dan Jaksa Penuntut Umum mulai dari keterbatasan kursi untuk tim kuasa hukum hingga kesulitan akses ke ruang sidang. Kepada Majelis Hakim, tim kuasa hukum terdakwa memprotes bahwa mereka, keluarga terdakwa, dan masyarakat umum tidak bisa masuk. Mereka lalu meminta pintu ruang sidang dan pagar dibuka. Menurut laporan media, aparat sempat melarang penasihat hukum, wartawan, dan masyarakat masuk dengan alasan ruang sidang terbatas.

Tim kuasa hukum juga mempersoalkan keputusan majelis hakim yang menghadirkan Luhut sebagai saksi untuk kedua terdakwa. Padahal, majelis hakim sebelumnya menolak permintaan tim kuasa hukum terdakwa agar perkara kedua terdakwa digabungkan.

Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana juga mengundang protes dari tim kuasa hukum Fatia dan Haris Azhar karena melontarkan kalimat seksis saat meminta salah seorang kuasa hukum untuk berbicara lebih kencang karena “suaranya seperti perempuan.”

Fatia dan Haris didakwa memfitnah Luhut dalam konten video Youtube berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” Mereka dijerat Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 310, dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kasus kriminalisasi terhadap Fatia-Haris merupakan salah satu bentuk intimidasi terhadap pembela HAM selama beberapa tahun terakhir. Data pemantauan Amnesty International Indonesia selama Januari hingga Mei 2023 menunjukkan setidaknya ada 51 kasus intimidasi fisik dan digital terhadap pembela HAM dengan sedikitnya 140 korban.