Pemerintah harus perbaiki tergerusnya kondisi kebebasan sipil 2019-2022

Negara terus-menerus menekan suara kritis dan membiarkan tekanan tersebut  juga dilakukan oleh aktor non negara yang rata-rata berakhir dengan impunitas, kata Amnesty International Indonesia dalam laporan yang dirilis hari ini. 

“Walaupun pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, berulang kali menyatakan komitmennya untuk menghormati dan melindungi kebebasan sipil, namun data dan faktanya justru berkata lain. Kebebasan tergerus dari atas dan dari bawah. Ini harus diperbaiki pemerintah Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Laporan Amnesty berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” menemukan fakta merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban.

Serangan dari atas berasal dari aktor-aktor negara yang sayangnya didominasi oleh kepolisian, lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran, pendapat, atau kritik atas kebijakan negara. Sedangkan serangan dari bawah berasal dari para individu dan kelompok non-negara, yang kerapkali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara.

Selama tiga tahun terakhir, serangan dari kedua arah tersebut menggerus ruang publik dan berakibat hilangnya hak-hak asasi para aktivis, jurnalis, mahasiswa, akademisi, dan demonstran.

Laporan ini disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara. Laporan tersebut mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk kritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang.

“Peretasan terhadap puluhan jurnalis Narasi akhir September membuktikan masalah ini masih terus berlanjut,” kata Usman. Dari 23 sampai 30 September 2022, setidaknya 37 anggota tim redaksi Narasi TV menjadi korban peretasan atau percobaan peretasan. Situs Narasi pun mendapatkan serangan DDoS yang menyertakan ancaman pembunuhan berpesan “Diam atau mati.” Sampai saat ini ditulis, penyelidikan terhadap peretasan ini masih berlangsung.

Sejak 2020 hingga Juni 2022, berbagai survei memperkuat indikasi tergerusnya kebebasan sipi. Survei Indikator Politik Indonesia, misalnya, menemukan 60,7% responden setuju bahwa saat ini orang-orang lebih takut untuk menyuarakan pendapat mereka, 57,1% merasa lebih sulit untuk menggelar demonstrasi, dan 50,6% berpikir bahwa semakin banyak orang yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh pemerintah karena perbedaan pendapat dengan penguasa.

“Sebagian besar pelaku serangan dan ancaman ini tidak mendapat hukuman dari negara. Akibatnya menciptakan iklim ketakutan,” kata Usman. “Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, ruang publik untuk berpendapat semakin menyempit, bahkan bisa jadi menakutkan, sehingga berisiko besar bagi masa depan situasi kebebasan berpendapat di negara ini”.

316 serangan: pasal karet dan kekerasan polisi

Salah satu sebab maraknya serangan kebebasan sipil adalah penyalahgunaan sejumlah pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang pertama berlaku pada tahun 2008 dan diamandemen pada tahun 2016.

Sejumlah pasal dalam UU ITE sangat ambigu sehingga sering digunakan sebagai dasar pelaporan polisi, bahkan penangkapan dan penahanan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.

UU ITE telah digunakan untuk mengadili, dan dalam banyak kasus, menghukum beragam orang seperti jurnalis yang melaporkan kasus korupsi, akademisi yang mengkritik kebijakan universitas, dan konsumen yang membuat ulasan kritis.

Faktanya, antara Januari 2019 hingga Mei 2022, Amnesty mencatat setidaknya 316 kasus penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total setidaknya 332 korban.

Bahkan, ketika tidak ada yang dijadikan tersangka sekalipun, ancaman pidana telah digunakan untuk mengintimidasi pengkritik pemerintah. Ini dialami oleh seorang warga Slawi, Jawa Tengah, Maret 2021. Ia ditangkap karena unggahan komentarnya yang mempertanyakan pengetahuan Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, mengenai sepakbola. Ia dianggap menyiratkan bahwa putra sulung Presiden Widodo tersebut meraih jabatan melalui nepotisme. Kepolisian membebaskannya hanya setelah ia menghapus komentarnya dan meminta maaf secara publik.

Pada Februari 2021, setelah adanya serangkaian kritik publik terhadap UU ITE, termasuk oleh mantan pejabat pemerintah, Presiden Joko Widodo menyatakan kesediaannya untuk merevisi pasal-pasal bermasalah yang terkandung dalam UU tersebut. Pemerintah lalu mengajukan draf revisi UU secara terbatas pada Desember 2021 ke DPR, tetapi sejak itu belum ada pembahasan secara publik.

Pada Mei 2022, pemerintah melanjutkan pembahasan draf revisi RKUHP yang sebelumnya ditangguhkan karena protes publik yang meluas pada 2019. Pasal bermasalah RKUHP, seperti pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal yang memidana demonstrasi tanpa izin, akan membatasi kebebasan sipil. Terlepas dari kritikan publik atas pasal bermasalah ini dan kurang terbukanya partisipasi publik dalam proses pembahasannya, Pemerintah dan DPR tetap berencana untuk mengesahkan RKUHP draft baru sebelum akhir tahun ini.

“Alih-alih merevisi UU yang telah banyak disalahgunakan untuk membatasi hak, termasuk kebebasan berekspresi, sikap pemerintah dan DPR justru berpotensi melanggengkan pasal otoriter semacam ini,” kata Usman.

Selain penggunaan UU yang represif, pembatasan ruang sipil juga datang dalam bentuk penindasan polisi dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa.

Antara 2019 hingga 2021, terdapat beberapa demonstrasi mahasiswa yang besar dan meluas terkait kebijakan pemerintah, termasuk protes atas RKUHP pada tahun 2019 dan Omnibus Law pada tahun 2020.

Selama aksi demonstrasi 2019, polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan terhadap para demonstran seperti pemukulan dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Hal itu juga termasuk pelemparan batu dan benda-benda lainnya, serta penggunaan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam. Polisi menahan dan/atau menangkap secara sewenang-wenang terhadap sekitar 1.489 pengunjuk rasa dan 380 di antaranya didakwa dengan berbagai tuduhan kejahatan.

Aksi demonstrasi 2020 juga diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi berupa kekerasan fisik dan verbal, pemukulan, serta penggunaan gas air mata terhadap pengunjuk rasa. Amnesty International Indonesia melakukan verifikasi dan menerbitkan 51 video penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa Omnibus Law. Amnesty International Indonesia juga telah memverifikasi setidaknya 16 kasus yang mengakibatkan penangkapan terhadap 128 korban, namun jumlah tersebut diduga lebih tinggi dari yang dilaporkan.

Polisi juga merepresi demonstrasi di Papua, terutama terkait dengan UU Otonomi Khusus yang tahun lalu disahkan. Berbagai aksi protes tersebut sering ditanggapi dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Meskipun Amnesty International telah memverifikasi bahwa aparat penegak hukum menangkap dan/atau menggunakan kekuatan secara berlebihan terhadap setidaknya 74 pengunjuk rasa, namun jumlah aktualnya bisa lebih tinggi.

Aktivis Papua, Wensislaus Fatubun, mengatakan kepada Amnesty International dalam sebuah wawancara bahwa dalam dua tahun terakhir, ia melihat pola aparat keamanan yang lebih represif terhadap pengunjuk rasa di Papua yang mengkritik kebijakan pemerintah seperti otonomi khusus, sementara mereka yang mendukung kebijakan tersebut mendapatkan perlakuan khusus.

“Mereka yang memprotes [kebijakan pemerintah] ditindas, dibubarkan, dan bahkan dibungkam,” kata Wensislaus. “Sementara mereka yang setuju difasilitasi, itu sangat jelas.”

“Kebrutalan yang dilakukan terhadap para pengunjuk rasa bertentangan dengan janji Kapolri yang berulang-ulang mengatakan akan menghormati dan melindungi kebebasan berkumpul secara damai,” kata Usman. “Polisi harus segera menyelidiki laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh anggotanya secara menyeluruh, tidak memihak, independen, efektif, dan transparan dan mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak terjadi lagi. Pihak berwenang harus membawa pelaku ke pengadilan dan memberikan akses ke keadilan dan pemulihan yang efektif bagi para korban.”                

Serangan-serangan yang tidak ditindaklanjuti menyebabkan impunitas

Kecenderungan lain yang terus-menerus terjadi dan mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya jumlah serangan terhadap pembela HAM dan organisasi masyarakat sipil.

Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 13 kasus dengan 17 korban percobaan pembunuhan dan/atau ancaman pembunuhan terhadap pembela HAM yang dilakukan antara Januari 2019 hingga Mei 2022. Sayangnya, pihak berwenang sering gagal dalam menyelidiki ancaman ini dan membawa pelaku ke pengadilan. Kelambanan ini memberikan impunitas kepada pelaku dan dapat mewajarkan ancaman serta serangan lebih lanjut.

Pada Januari 2019, rumah Murdani, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) cabang Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu anggota jaringan Friends of the Earth International, diserang dan dibakar oleh pihak tak dikenal. Murdani telah mengadvokasi banyak masalah lingkungan dan kemanusiaan di provinsi pariwisata dan kaya akan sumber daya alam tersebut, termasuk mengenai pengelolaan limbah, pembalakan liar, penambangan pasir, dan bantuan bencana alam. Ia sangat vokal dalam membantu petani menolak upaya untuk mengubah 200 hektar lahan menjadi tambang pasir dan karenanya menerima banyak ancaman pembunuhan. Hingga rilis pers ini ditulis, kasus pembakaran tersebut masih belum terselesaikan dan belum ada kabar terbaru dari polisi mengenai pelaku.

Veronica Koman, seorang advokat keturunan Tionghoa yang menjadi korban serangan fisik dan digital, mengatakan kepada Amnesty International dalam sebuah wawancara bahwa serangan-serangan tersebut menciptakan sebuah efek yang menakutkan bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat.

“Para pelaku penyerangan mencoba untuk mendehumanisasi saya, baik dari segi gender maupun rasial,” kata Veronica Koman.

Sejumlah yayasan bantuan hukum juga menjadi sasaran intimidasi dan penyerangan pihak tak dikenal. Pada September 2021, bom molotov dilemparkan ke Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Pada bulan yang sama, serangan serupa terjadi di kantor lembaga bantuan hukum di Bali, Himpunan Penerus Pejuang Pembela Tana Air (LBH HPP PETA), di mana dua orang tak dikenal melemparkan bom molotov ke Kantor LBH HPP PETA. Pada Mei 2022, sebuah sepeda motor dibakar di garasi Kantor LBH Papua di Jayapura. Meskipun polisi telah menyelidiki kasus-kasus ini, belum ada pembaruan mengenai perkembangan penyelidikan.

“Laporan ini dengan jelas menunjukkan kegagalan dan keterlibatan aktif negara dalam pelanggaran HAM serius yang mengarah pada memburuknya situasi HAM di negara ini,” kata Usman. “Dalam pidato kenegaraannya pada bulan Agustus, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah harus menjamin pemenuhan hak-hak sipil. Jika itu bukan hanya sekedar kata-kata, pemerintah harus mengambil langkah yang berarti dan efektif untuk memastikan bahwa semua serangan, ancaman, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil diselidiki dengan segera, menyeluruh, tidak memihak, transparan, dan efektif. Impunitas atas pelanggaran-pelanggaran seperti ini ini harus dihentikan.”