Pemerintah Harus Jelaskan Laporan Rencana Deportasi Warga Uighur

Menanggapi adanya laporan tentang rencana Pemerintah Indonesia untuk mendeportasi empat warga Uighur, mantan narapidana kasus pelanggaran hukum anti terorisme dan keimigrasian, ke China, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Pemerintah Indonesia harus segera memberikan keterangan resmi mengenai kebenaran laporan deportasi empat warga Uighur. Jika benar ada rencana semacam ini, mendeportasi keempatnya ke negara yang membuat mereka ada dalam risiko nyata pelanggaran hak asasi manusia jelas sangat berbahaya. Bahkan ini termasuk perbuatan ilegal di bawah hukum internasional.”

“Apalagi mengingat laporan terbaru dari lembaga penelitian Australia tentang penemuan 380 kamp penahanan di Xin Jiang, China, tempat warga Uighur diduga mengalami represi. Pemerintah Indonesia harus menghentikan rencana deportasi ini dan memastikan keempatnya mendapat pemenuhan kebutuhan dasar.”

“Kami memahami situasi pandemi COVID-19 membuat Pemerintah Indonesia menghadapi banyak tantangan. Namun, mendeportasi warga asing yang berisiko terancam hak asasinya bukan solusi.”

“Kami meminta Pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil dan badan PBB untuk melindungi hak-hak mereka sesuai dengan kewajiban di dalam hukum internasional.”

Latar belakang

Amnesty International Indonesia menerima laporan bahwa empat warga Uighur atas nama Abdullah alias Altinci Bayyram, Ahmet Mahmud alias Ahmet Bozoglan, Abdul Bazit Tuzer Bin Bazit, dan Ahmet Bozoglan Bin Bozoglan akan segera dideportasi setelah menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan.

Mereka ditahan sejak tahun 2014 karena melanggar Pasal 15 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Pasal 119 UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Amnesty telah menghubungi berbagai instansi terkait tentang adanya laporan rencana deportasi ini namun hingga pernyataan ini diturunkan, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM belum mengonfirmasi perihal rencana deportasi.

Laporan Amnesty International di bulan Februari lalu menyebut hingga satu juta warga minoritas Muslim di China ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp (yang diklaim Pemerintah China sebagai pusat pelatihan dan Pendidikan) di Xinjiang. Di antara mereka yang ditahan di Xinjiang, yang terletak di barat laut China adalah warga Uighur, Kazakh, dan kelompok etnis minoritas lainnya yang menjadikan agama dan budaya sebagai identitas mereka.

Penahanan tersebut diduga sebagai upaya Pemerintah China menghapus aspek identitas keyakinan agama dan budaya untuk menegakkan loyalitas politik. Amnesty juga menerima laporan dari 400 warga Uighur yang berada di luar China. Mereka menceritakan tentang pengawasan yang mereka alami, panggilan telepon yang mengintimidasi dan bahkan ancaman kematian. Anggota keluarga mereka di China ditarget oleh otoritas setempat untuk menekan aktivitas mereka di luar negeri.

Deportasi warga Uighur ke tempat di mana mereka berpotensi mengalami pelanggaran hak asasi manusia melanggar prinsip non-refoulement dalam hukum internasional, salah satunya Pasal 3 Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT) yang menyatakan bahwa Negara Pihak tidak boleh mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisi seseorang ke Negara lain di mana terdapat alasan kuat untuk meyakini bahwa dia akan berada dalam bahaya menjadi sasaran penyiksaan.

Komite Anti-Penyiksaan PBB dalam kasus Mortesa Aemei v. Switzerland juga menegaskan ketentuan di atas bahwa kapanpun ada alasan kuat untuk meyakini bahwa orang tertentu berada dalam bahaya menjadi sasaran penyiksaan jika ia diusir ke negara lain, maka Negara Pihak [Konvensi Anti Penyiksaan] diharuskan untuk tidak mengembalikan orang tersebut ke negara itu. (Paragraf 9.8)

Tidak hanya itu, Komite HAM PBB dalam kasus Maksudov and Rakhimov v. Kyrgyztan juga telah menyatakan bahwa negara tidak boleh mengekspos individu pada bahaya penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat saat kembali ke negara lain melalui ekstradisi, pengusiran atau pemulangan mereka. (Paragraf 12.4)