Pembunuhan anak di Sinak, Papua, tidak dapat dibenarkan

Menanggapi kematian seorang anak di wilayah Sinak, Kabupaten Puncak, Papua karena dituduh mencuri senjata milik anggota TNI, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Kami turut berduka cita yang sangat mendalam atas insiden ini. Apapun alasan yang dituduhkan kepadanya, korban tidak seharusnya meninggal dunia. Kami juga mengingatkan, warga sipil, apalagi anak-anak, tidak boleh menjadi korban hingga terluka, apalagi meninggal dunia dalam wilayah konflik bersenjata.”

“Dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap korban sebelum korban meregang nyawa harus segera diinvestigasi secara menyeluruh, independen, transparan, dan tidak berpihak. Demi keadilan, negara harus memastikan siapa yang bertanggung jawab atas tragedi ini.”

Dalam kesempatan Yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menjelaskan, “jika benar terbukti ada indikasi penganiayaan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap korban dan enam anak lainnya, maka pelaku – siapapun dia – harus diadili di pengadilan yang adil dan terbuka bagi masyarakat.”

“Ini bukan pertama kalinya seorang anak menjadi korban pembunuhan di luar hukum. Pemerintah dan aparat keamanan wajib memastikan agar kejadian seperti ini tidak terulang. Dugaan tindakan apapun yang dilakukan oleh anak dan warga sipil lainnya tidak boleh menjadi dasar adanya penganiayaan apalagi yang mengarah ke pembunuhan di luar hukum,” kata Wirya.

Latar belakang

Amnesty International Indonesia menerima laporan bahwa seorang anak kelas IV SD -berinisial MT -di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua meninggal dunia pada hari Minggu 20 Februari 2022 setelah mengalami penganiayaan oleh aparat keamanan di Sinak. MT ditangkap bersama enam anak lainnya karena dituduh mencuri senjata milik anggota TNI di Sinak. Ketujuah anak-anak yang ditangkap ini semuanya berusia sekolah dasar (SD).

Berdasarkan laporan media lokal pada tanggal 26 Februari, dua orang pemuda diduga mengambil satu pucuk senjata milik anggota TNI di sekitar Bandara Tapulinik Sinak, Kabupaten Puncak Papua pada malam hari 20 Februari. Setelah aparat TNI mengetahui bahwa senjata milik mereka diambil, mereka melakukan pengejaran orang yang mengambil senjata di Kampung Kelemame. Mereka melakukan pengejaran persisnya di sekitar tiga gereja di sana. Aparat TNI/PORI kemudian membawa ketujuh anak ke pos di Bandara Sinak untuk diinterogasi. Ketujuhnya diduga mengalami penganiayaan di sana sebelum mereka dibawa ke kantor Polsek Sinak.

Laporan media juga menyebut, hingga saat ini enam korban lainnya sedang menjalani pengobatan di rumah sakit.

Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.

Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup.

Selain itu Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, juga menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifikasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya merupakan bentuk pelanggaran HAM tersendiri.