Pelaku Penganiayaan Warga Sumatera Utara Harus Diadili

Menanggapi dugaan penganiayaan yang dilakukan oknum polisi dari Polsek Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumantera Utara, terhadap seorang warga yang dijadikan saksi, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Penyiksaan terhadap warga ini benar-benar tidak manusiawi, merendahkan martabat dan jelas tindakan kriminal yang tidak dapat dibenarkan dalam hukum manapun. Penyiksaan merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan tidak boleh ada seorangpun yang mengalaminya, termasuk tersangka atau bahkan narapidana sekalipun.”

“Polisi harus melakukan penyelidikan secara menyeluruh, efektif, independen, dan imparsial hingga tuntas. Pihak berwenang harus mengadili pelaku melalui proses pengadilan yang adil, bukan sekedar memberi sanksi administratif berupa hukuman disipliner. Sanksi disiplin tetap bisa diberikan pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak bisa menggantikan proses pengadilan di pengadilan sipil.”

“Sudah lebih dari 20 tahun sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, namun praktik penyiksaan seperti yang dialami warga yang dijadikan saksi itu masih saja terjadi. Polisi dan pihak berwenang lainnya harus mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah terjadinya kembali perlakuan mengerikan dan melawan hukum semacam itu.”

Latar belakang

Pada tanggal 2 Juli 2020, Sarpan (59), warga Desa Sei Rotan dimintai keterangan sebagai saksi untuk kasus pembunuhan, yang terjadi di hari yang sama, oleh polisi. Ia dibawa ke Polsek Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara, namun bukannya diperlakukan sebagai saksi, ia justru dimasukkan ke dalam sel tahanan sementara.

Di Polsek itulah Sarpan mengaku dipukuli dan diintimidasi oleh oknum polisi. Sarpan telah melaporkan penganiayaan yang dialaminya ke Mapolrstabes Medan pada tanggal 6 Juli 2020.

Pada tanggal 8 Juli 2020, foto pemukulan terhadap seorang saksi saat proses pemeriksaan di Polsek Percut Sei Tuan beredar luas di media sosial. Pengunggah foto menyebut nama saksi dalam foto itu adalah Sarpan.

Kapolsek Percut Sei Tuan, Kompol Otniel Siahaan, membantah adanya oknum polisi di wilayahnya yang melakukan pemukulan terhadap Sarpan. Namun pada tanggal 9 Juli 2020, ia resmi dicopot dari jabatannya, sebagaimana dikonfirmasi Kabid Humas Polda Sumut Kombes Tatan Dirsan Atmaja kepada media. Sebanyak sembilan polisi telah diperiksa terkait kasus ini dan delapan anggota Polsek Percut Sei Tuan dipanggil ke Polrestabes Medan untuk menunggu sidang disiplin.

Bukan kali ini saja aparat kepolisian diduga terlibat dalam kasus penyiksaan. Akhir pekan lalu, seorang warga di Keerom, Papua, juga mengalami insiden serupa.

Menurut kesaksian keluarga, Yudi Kwimi, nama warga itu, ditangkap oleh polisi dengan mulut yang ditutup dan tanpa surat penangkapan. Ia diduga dianiaya selama menjalani proses interogasi hingga babak belur. Yudi sempat berupaya untuk melarikan diri karena takut akan penyiksaan berulang namun tidak berhasil, dan ia pun diduga kembali mengalami penyiksaan.

Kepada Amnesty, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Kamal, mengatakan bahwa Yudi terlibat dalam tindak pencurian tas, yang berisi senjata api serta uang.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Amnesty International Indonesia, sepanjang Juni 2019 hingga Juni 2020, terdapat setidaknya 56 kasus penyiksaan terhadap tahanan dengan 87 korban. Sebagian besar penyiksaan ini dilakukan polisi, yakni mencapai 45 kasus dengan jumlah korban 69 orang.

Praktik penyiksaan telah secara jelas dilarang dalam berbagai instrumen perlindungan HAM. Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 20 terhadap Pasal 7 ICCPR menyatakan bahwa “tidak seorang pun dapat mengalami penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.” Dalam Paragraf 5 Komentar Umum No. 20 terhadap Pasal 7 ICCPR juga dijelaskan bahwa penyiksaan tidak terbatas hanya penyiksaan fisik, tapi juga termasuk penyiksaan mental atau psikologis.

Sementara Pasal 7 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 tahun 1998, menetapkan bahwa tidak seorang pun boleh disiksa, diperlakukan dengan kejam dan tidak manusiawi, atau direndahkan martabatnya.

Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk tidak disiksa juga telah dijamin dalam Konstitusi, yaitu Pasal 28I, dan Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di tingkat kepolisian sekalipun, larangan untuk melakukan penyiksaan, intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual telah diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dan Pasal 13 ayat (1) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.