Negara perlu selidiki sebab utama kematian Filep Karma

Menanggapi kematian mantan tahanan hati nurani, Filep Karma, yang ditemukan tak bernyawa di Pantai Base G, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Hari ini kami berkabung atas berpulangnya tokoh pembela HAM Papua yang selama ini dikenal gigih menyuarakan keadilan dan kedamaian di Papua. Kami menyampaikan duka cita yang mendalam kepada keluarga.”

“Perjuangan almarhum telah menginspirasi banyak orang, termasuk kaum muda, untuk jujur dan berani menyuarakan kebenaran. Ia pun tak gentar menghadapi ancaman. Kami sungguh kehilangan.”

“Atas ditemukannya jenazah almarhum di Pantai Base G, Jayapura, hari ini, kami mendesak jajaran lembaga penegak hukum dan hak asasi manusia, untuk menyelidiki sebab musabab kematian almarhum.”

“Penyelidikan ini penting untuk menjawab ada tidaknya indikasi tindak pidana atau pelanggaran HAM di balik kematian almarhum, karena banyak aktivis yang vokal di Papua menjadi sasaran kekerasan. Terlebih mengingat sepak terjang almarhum sebagai tokoh panutan dalam membela hak asasi orang asli Papua.”

Latar belakang

Pada hari Selasa, 1 November 2022, Filep Karma ditemukan tak bernyawa di Pantai Base G, Jayapura. Jenazahnya ditemukan dengan pakaian selam yang terkoyak terutama di beberapa bagian seperti paha dan kaki. Jenazahnya kemudian dibawa ke RS Bhayangkara, Jayapura.

Menurut informasi kredibel yang diterima Amnesty, menyelam adalah aktivitas rutin Filep selama beberapa waktu belakangan. Namun demikian, mengingat kondisi jenazah Filep yang cukup mengenaskan, Amnesty menilai perlu ada penyelidikan untuk mengetahui sebab musabab persis dari kematiannya.

Filep tercatat pernah menyandang status prisoners of conscience atau tahanan hati nurani dari Amnesty International yang bermarkas di London, Kerajaan Inggris. Status itu disandangnya usai dirinya ditahan dan divonis 15 tahun penjara karena berpartisipasi dalam kegiatan damai berupa upacara pengibaran bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Desember 2004. Pada November 2015, ia menghirup udara bebas setelah menghabiskan lebih dari satu dekade di balik jeruji karena ekspresi damai politiknya. Selama di penjara, Filep pernah mengalami penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya yang merendahkan martabat, termasuk tidak diberi akses medis yang layak.

Sebagian besar masa hidupnya, Filep menjadi seorang pegawai negeri sipil, mengikuti jejak ayahnya yang merupakan mantan Bupati Wamena, Andreas Karma. Filep aktif mengekspresikan pandangan politiknya secara damai.

Alasan Amnesty meminta adanya penyelidikan merujuk pada investigasi atas potensi kematian di luar hukum Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia tahun 2016 (Protokol Minnesota). Protokol ini menyebut bahwa pada kondisi kematian individu ataupun kelompok dalam sebuah kejadian, keluarga seharusnya dilibatkan dan diinformasikan dengan baik mengenai proses identifikasi. Dalam banyak kasus, hal ini tak hanya ditujukan untuk keperluan identifikasi, namun juga meningkatkan kemungkinan bahwa keluarga akan menerima proses tersebut, yang merupakan bagian penting dari akuntabilitas proses investigasi potensi kematian di luar hukum.