Negara harus melindungi warga Ahmadiyah di Sintang

Menanggapi perusakan masjid milik komunitas Ahmadiyah oleh massa di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Kami mengutuk keras perusakan Masjid Miftahul Huda milik komunitas Ahmadiyah di Kabupaten Sintang oleh massa,. Pihak berwenang wajib segera melakukan pengusutan yang, komprehensif, independen, imparsial dan efektif terhadap kejadian ini dan membawa mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan.”

“Pihak berwenang seharusnya menjamin hak komunitas Ahmadiyah untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka, serta melindungi mereka dari tindakan melawan hukum seperti yang terjadi hari ini. Kenapa aparat keamanan yang berada di lokasi tidak menghentikan perusakan dan pembakaran yang dilakukan oleh massa?”

“Tindakan Pemkab Sintang yang sebelumnya menuruti ultimatum kelompok intoleran dan menyegel Masjid Miftahul Huda juga tidak sesuai dengan kewajiban mereka untuk melindungi hak asasi manusia.”

“Kami juga mendesak pemerintah pusat untuk tidak menutup mata terhadap kejadian ini dan mengambil langkah nyata untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah efektif untuk memastikan bahwa seluruh anggota agama minoritas dilindungi dan dapat mempraktikkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan.”

“Langkah pertama yang bisa diambil oleh Pemerintah Pusat adalah dengan mencabut SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri 2008 tentang Ahmadiyah yang sudah sering digunakan oleh pemerintah-pemerintah daerah maupun kelompok intoleran sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga Ahmadiyah.”

Latar belakang

Pada tanggal 3 September, sejumlah massa mendatangi Masjid Miftahul Huda di Dusun Harapan Jaya, Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang dan melempari masjid tersebut serta membakar gedung di belakang masjid.

Masjid Miftahul Huda pertama dibangun pada tahun 2007. Pada tahun 2020, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) setempat memutuskan untuk membangun gedung masjid baru karena kondisi bangungan yang lama sudah tidak layak. Pembangunan gedung baru selesai pada bulan Mei 2021.

Sejak November 2020, ada penolakan dari beberapa kelompok masyarakat atas pembangunan gedung baru tersebut. Pada tanggal 12 Agustus 2021, sebuah kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang mengirim surat ke Pemkab Sintang yang berisi ultimatum meminta aparat untuk menindak umat Ahmadiyah di Sintang dalam waktu tiga kali 24 jam, dengan ancaman akan bertindak sendiri bila ultimatum tersebut tidak dipenuhi. Pengurus JAI setempat mengirim surat meminta perlindungan hukum kepada Kapolres Sintang karena ancaman tersebut.

Pada 13 Agustus, Plt Bupati Sintang mengirim surat kepada pengurus JAI Kabupaten Sintang untuk menghentikan kegiatan beribadah. Pada 14 Agustus, aparat Pemkab menutup paksa dan menyegel Masjid Miftahul Huda.

Amnesty International Indonesia telah berkali-kali mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut SKB tentang Ahmadiyah tersebut dan memberikan ruang bagi JAI untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya dengan bebas tanpa diskriminasi dan ancaman.

Menurut data Amnesty, sepanjang 2021 saja sudah ada setidaknya tujuh kasus penolakan pendirian rumah ibadah, enam kasus perusakan rumah ibadah, dan dua kasus penyegelan rumah ibadah.

Hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang isinya:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”

Selain itu, Pasal 27 ICCPR juga menjamin bahwa orang-orang yang termasuk minoritas tersebut tidak boleh ditolak haknya, dalam komunitas dengan anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menganut dan mempraktekkan agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.

Kebebasan untuk mewujudkan atau memperlihatkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat tunduk pada batasan-batasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain. Akan tetapi perlu diingat bahwa peraturan, kebijakan dan perlakuanpun tidak boleh bersifat diskriminatif hanya karena keyakinan atau cara mereka beribadah berbeda dengan yang lain. Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 29 (2) terkait kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) terkait kebebasan berkeyakinan.