Negara berhutang akuntabilitas dalam pelanggaran HAM berat masa lalu

AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA 

KUTIPAN MEDIA 

11 Januari 2023 

Negara berhutang akuntabilitas dalam pelanggaran HAM berat masa lalu

Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PPHAM) di Kantor Presiden, 11 Januari 2023, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan: 

“Menurut pendapat kami, pengakuan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum dan keadilan bagi korban.” 

“Meski kami menghargai sikap Presiden Joko Widodo dalam mengakui terjadinya pelanggaran HAM sejak tahun 1960-an di Indonesia, pernyataan ini sudah lama tertunda mengingat penderitaan para korban yang dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade.” 

“Namun, pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas.” 

“Pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, sementara secara nyata mengabaikan kengerian kejahatan yang sudah terkenal lainnya, antara lain pelanggaran yang dilakukan selama operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir 2004.” 

“Sekadar menyebut nama-nama peristiwa saja jauh dari cukup. Belum lagi kalau kita bicara tentang kekerasan seksual yang terjadi secara sistematik dalam berbagai situasi pelanggaran HAM berat masa lalu seperti 1965-1966 hingga selama daerah operasi militer selama 1989-1998.”

“Kelalaian ini merupakan penghinaan bagi banyak korban. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini – termasuk dalam empat kasus yang tidak disebutkan detailnya dalam pernyataan hari ini – telah menyebabkan pembebasan semua terdakwa dalam persidangan pengadilan HAM terdahulu.” 

“Jika Presiden Joko Widodo benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di mana pun dan, jika ada cukup bukti yang dapat diterima, menuntut mereka dalam pengadilan yang adil di hadapan pengadilan pidana.” 

“Menkopolhukam Mahfud MD tidak bisa hanya mengatakan bahwa pengadilan HAM terdahulu membebaskan semua terdakwa hanya karena tidak cukup bukti. Sebab selama ini lembaga yang berwenang dan berada langsung di bawah wewenang Presiden, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan.” 

“Kami mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya. Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan.” 

Latar belakang 

Pada 26 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Tim PPHAM memiliki tiga mandat utama, yakni melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat masa lalu, merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya, dan merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang. 

Berdasarkan Keppres tersebut, Tim PPHAM wajib menyelesaikan mandatnya pada 31 Desember 2022. Hari ini, 11 Januari 2023, tim yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden tersebut dilaporkan telah menyerahkan dan memaparkan temuannya ke Presiden Joko Widodo. 

Berdasarkan salinan Ringkasan Eksekutif Tim PPHAM yang kami terima, Tim PPHAM tidak menemukan adanya faktor tunggal atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Tim PPHAM menyebutkan bahwa terdapat “tindakan negara yang secara normatif merupakan bagian dari tindakan pelanggaran HAM yang berat,” seperti pembunuhan, penculikan, penghilangan orang secara paksa, dan lain-lain, serta “[t]indakan lainnya yang meneguhkan terjanya pelanggaran HAM yang berat,” seperti penjarahan, pembakaran properti, dan penghilangan status kewarganegaraan. Namun, ringkasan tersebut tidak menjelaskan secara detail temuan Tim PPHAM dan tidak merekomendasikan mekanisme penyelesaian yudisial. 

Dalam keterangan pers yang dilakukan di Istana Merdeka hari ini, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan, “Penyelesaian secara yuridis sudah kita usahakan. Hasilnya, seperti kita tahu, semuanya – untuk empat kasus yang sudah dibawa ke Mahkamah Agung – bebas karena memang bukti-buktinya secara hukum acara tidak cukup. Penyelesaian KKR – Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi – juga mengalami jalan buntu karena terjadi saling curiga di tengah-tengah masyarakat. […] Oleh sebab itu presiden mencoba dan memulai membuka jalan menyelesaikan kebuntuan ini dengan membentuk tim [PPHAM].” 

Presiden Joko Widodo mengatakan, “Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius pada 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa pada 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet pada 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh pada 1999, Peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua pada 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.” 

Hingga hari ini, berbagai korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya masih mendesak penyelesaian kasus melalui jalur yudisial. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 dapat diadili melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc, kasus-kasus yang terjadi setelah tahun 2000 melalui mekanisme pengadilan HAM, dan pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluarsa. Alhasil, jika negara benar-benar ingin menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, maka penyelidikan, penyidikan, dan pengadilan HAM dan pengadilan HAM ad hoc bagi kasus-kasus yang belum pernah diadili wajib diselenggarakan. Selain itu, proses pengusutan dan pengadilan HAM atas kasus-kasus yang sudah pernah diselenggarakan wajib dibuka kembali, namun dengan terdakwa baru, termasuk mereka yang memiliki tanggung jawab komando. 

Amnesty mengingatkan bahwa setiap kegagalan untuk menyidik atau membawa mereka yang bertanggung jawab ke muka pengadilan memperkuat keyakinan para pelaku bahwa mereka memang tidak tersentuh oleh hukum.