Moratorium Hukuman Mati Pada 2018 Bisa Dicapai

Menurunnya tingkat penerapan hukuman mati secara global di tahun 2017, harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk memberlakukan moratorium eksekusi mati di tahun 2018 sebagai langkah awal menghapuskan hukuman mati untuk semua tindak kejahatan di masa depan, kata pendapat Amnesty International saat menerbitkan laporan tahunannya tentang hukuman mati pada hari Kamis.

Laporan yang berjudul “Hukuman dan Eksekusi Mati 2017” tersebut mengungkapkan bahwa jumlah eksekusi yang tercatat secara global terus menurun dari 2016 hingga 2017, dari angka 1.032 ke 993. Hal ini menunjukkan adanya penurunan 4 persen dan 39 persen jika dibandingkan dengan tahun 2015, periode di mana terdapat eksekusi mati untuk 1.643 orang di seluruh dunia, angka tertinggi yang berhasil didokumentasikan Amnesty International sejak tahun 1989.

Jumlah hukuman mati yang dijatuhkan untuk terdakwa juga tercatat menurun sebesar 17 persen dari 3.117 pada tahun 2016 menjadi 2.591 pada tahun 2017. Selain perkembangan global yang positif tersebut, dua negara menghapuskan hukuman mati untuk semua tindak kejahatan pada tahun 2017, yakni Guinea dan Mongolia.

Sementara itu, Guatemala juga menyatakan inkonstitusional pasal-pasal dalam KUHP dan UU Anti-Narkotika yang mengatur soal hukuman mati. Hal tersebut membuat Amnesty International mereklasifikasikan Guatemala sebagai negara abolisionis hanya untuk kejahatan biasa.

“Apa arti laporan kami untuk Indonesia? Kecenderungan global yang menurun memberi peluang bagi Indonesia untuk meninjau kembali penggunaan hukuman mati. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk memberlakukan moratorium terhadap semua eksekusi di 2018, sebagai langkah pertama perjalanan Indonesia dalam menuju penghapusan hukuman mati secara permanen. Indonesia memiliki kapasitas untuk melakukan ini. Pada tahun 2017, negara-negara lain telah menunjukkan dan mengambil langkah berani untuk menghapus hukuman mati.” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Standar ganda di dalam dan Luar Negeri

 

Memberlakukan moratorium pada pelaksanaan hukuman mati – untuk menuju penghapusan sepenuhnya – bisa mempermudah upaya diplomasi internasional Indonesia untuk menyelamatkan 188 warga Indonesia yang saat ini menjadi terpidana mati di luar negeri.

“Bagaimana Indonesia dapat meyakinkan negara lain untuk mengampuni warganya menghadapi hukuman mati di luar negeri jika masih mempraktekkan hukuman yang tidak manusiawi di dalam  negerinya sendiri?,” Usman Hamid menambahkan.

Jumlah negara yang memberlakukan eksekusi pada 2017 adalah 23 negara, angka yang sama juga tercatat pada 2016.

Indonesia tidak melakukan eksekusi apapun pada tahun 2017 setelah memutuskan untuk menunda mengeksekusi 10 terpidana mati pada menit-menit terakhir pada 2016.

Namun, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berulang kali menyatakan bahwa pemerintah belum memutuskan untuk menunda pelaksanaan hukuman mati karena masih menunggu “waktu yang tepat”.

Setidaknya, 47 vonis hukuman mati dijatuhkan untuk terpidana di Indonesia pada tahun 2017, menurun dibandingkan tahun 2016 sebanyak 60 kasus. Pada tahun 2017, 33 hukuman mati diterapkan untuk kasus narkoba dan 14 untuk kasus pembunuhan. Sepuluh diantaranya dikenakan pada warga negara asing. Hingga akhir 2017, terdapat total 262 orang dipidana menunggu waktu eksekusi.

Pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang adil di Indonesia

Pada 28 Juli 2017, Ombudsman menyatakan bahwa Jaksa Agung telah melakukan pelanggaran administrasi dengan mengeksekusi mati salah seorang warga negara Nigeria, Humphrey “Jeff” Jefferson Ejike di tahun 2016 karena permintaan grasinya masih sedang berlangsung. Hal tersebut telah melanggar prosedur hukum.

Humphrey “Jeff” Jefferson Ejike dihukum karena kasus perdagangan narkoba dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 2004. Jeff tidak memiliki akses ke pengacara selama lima bulan – sejak dari penangkapan, selama interogasi dan masa penahanannya – sebuah tindakan yang tidak hanya melanggar hukum internasional, namun juga Hukum Pidana Indonesia.

Jeff mengklaim bahwa dirinya berulang kali disiksa selama interogasi dan diancam akan ditembak jika dia menolak menandatangani dokumen di mana Ia harus “mengaku” memiliki heroin atau apabila Ia menolak untuk melibatkan orang lain.

Sementara itu, pada 31 Januari 2017 Mahkamah Agung mengubah putusan hukuman mati terhadap Yusman Telaumbanua atas kasus pembunuhan. Selama interogasi polisi, Yusman Telaumbanua tidak memiliki penasihat hukum yang dapat membantunya. Dia tidak dapat membaca atau menulis, dan tidak dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan otoritas selama interogasi. Di samping itu, Yusman juga tidak memiliki dokumen yang dapat menerangkan usianya.

“Saya disiksa [oleh polisi]. Saya dipaksa mengaku. Mereka mengarang usia saya. Akibatnya, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada saya, ”kata Yusman Telaumbanua kepada Amnesty International Indonesia baru-baru ini.

Yusman Telaumbanua mengatakan kepada pengacaranya yang baru, bahwa ketika ditahan, dia dan terdakwa lainnya dipukuli dan ditendang setiap hari oleh petugas polisi, atau oleh tahanan yang diperintahkan oleh polisi. Jaksa Penuntut sendiri menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Yusman dan satu terdakwa lainnya, namun kedua pria tersebut meminta keringanan hukum. Akan tetapi masih ada suatu keganjilan, di mana kuasa hukum mereka yang sebelumnya justru meminta agar hukuman mati dijatuhkan untuk keduanya. Berdasarkan pengajuan itu lah, pengadilan memutuskan hukuman mati kepada Yusman dan terdakwa lainnya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi, karena mereka tidak paham bahwa mereka memiliki hak untuk melakukannya, dan pengacara yang mewakili mereka pada saat itupun tidak memberitahu mereka tentang hak ini.

Menurut laporan polisi, Yusman Telaumbanua berusia 19 tahun ketika pembunuhan itu dilakukan, tetapi pengacara Yusman yang baru mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa Yusman masih berusia 16 tahun pada saat kejadian.

Pada 17 November 2015, atas permintaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sekelompok ahli radiologi forensik menetapkan bahwa Yusman Telaumbanua berusia antara 18 tahun 4 bulan atau 5 bulan. Penemuan tersebut menjadi pencetus dilakukannya peninjauan kembali atas hukuman mati terhadap Yusman dan akhirnya pada 17 Agustus 2017, Yusman berhasil dibebaskan dari penjara.

“Kasus Yusman dan Jeff memperlihatkan bagaimana sistem penyelidikan dan peradilan di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Terlepas dari kecenderungan global pada tahun 2017, kedua kasus tersebut harus menjadi bukti yang cukup bagi pihak berwenang di Indonesia untuk menerapkan moratorium sebagai langkah pertama menuju penghapusan dan kemudian lebih lanjut menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan, ”kata Usman Hamid.

Bukan cara yang efektif untuk memberantas kejahatan narkoba

 

Klaim Indonesia bahwa mengeksekusi mati terpidana perdagangan narkoba dapat memberantas kejahatan tersebut, dianggap tidak berdasar – tidak ada bukti yang menerangkan bahwa hukuman mati adalah media pencegah kejahatan yang lebih efektif daripada penjara seumur hidup. Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa jumlah kasus narkoba telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ketika pemerintah telah mengambil garis keras dengan mengeksekusi terpidana karena kejahatan narkoba.

Pada Juli 2016, Indonesia mengeksekusi 4 orang, semuanya dihukum karena narkoba. Sementara itu pada bulan Desember, BNN mengumumkan bahwa jumlah kasus narkoba meningkat menjadi 807 pada tahun 2016 dari 638 kasus pada tahun 2015, tahun di saat 14 orang dieksekusi di Kepulauan Nusa Kambangan di Jawa Tengah.

“Jika eksekusi dapat secara efektif mencegah kejahatan seperti yang diklaim oleh pemerintah maka jumlah kasus terkait narkoba pada tahun 2016 seharusnya menurun, tetapi sayangnya justru meningkat secara signifikan,” kata Usman Hamid.

Fakta yang dapat mematahkan klaim pemerintah, ialah jumlah kasus narkoba yang meroket ke angka 46.537 pada tahun 2017 atau 57,6 kali lebih tinggi dari angka yang tercatat pada tahun 2016, 807, meskipun realita yang ada Indonesia telah mengeksekusi empat pengedar narkoba di tahun sebelumnya.

Langkah positif global

Langkah-langkah signifikan untuk membatasi penggunaan hukuman mati juga dilakukan di beberapa negara lain sejak tahun lalu. Di Afghanistan, Presiden Ashraf Ghani Ahmadzai menyetujui KUHP baru pada tanggal 4 Maret 2017 untuk mengurangi jumlah kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati. Selain itu, pihak otoritas peradilan dan eksekutif di Cina juga mengadopsi berbagai aturan baru di tahun ini yang bertujuan untuk memperkuat upaya perlindungan hak atas peradilan yang adil.

Pada bulan November, Iran mengamandemen UU Anti-Narkotika, meningkatkan jumlah obat yang diperlukan untuk dapat dijadikan dasar pengenaan hukuman mati, dengan efek yang berpotensi retroaktif. Di bulan yang sama, Dewan Rakyat Malaysia mengadopsi amandemen tentang Undang-Undang Obat Berbahaya, 1952, yang merilis beberapa kebijakan atau keringanan hukum terkait kasus perdagangan narkoba, khususnya mereka yang bekerja sama dengan penegak hukum. Tidak hanya di negara-negara yang telah disebut di atas, pada tanggal 14 Desember 2017, Mahkamah Agung Kenya memutuskan bahwa penggunaan hukuman mati untuk kasus pembunuhan tidak sesuai dengan konstitusi.

“Perkembangan yang signifikan ini menegaskan bahwa saat ini dunia berada dalam momentum tepat dimana hukuman yang kejam dan tidak manusiawi tersebut dapat dihapuskan,” tutup Usman Hamid.