Laporan Tahunan 2021 Amnesty International: HAM di bawah tekanan penguasa dan pengusaha

Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, memprioritaskan kekuasaan dan keuntungan di atas hak asasi manusia, menurut laporan tahunan Amnesty International yang diterbitkan hari ini.

Laporan Amnesty International Report 2021/22: The State of the World’s Human Rights mencakup 154 negara dan menganalisa tiga tren utama: kesehatan dan ketidaksetaraan, ruang sipil, dan dorongan balik yang dilakukan negara-negara belahan Utara (Global-North) terhadap pengungsi dan migran.

“Tren pengekangan suara-suara kritis oleh aparat negara masih terus terjadi di seluruh dunia, dan Indonesia bukan pengecualian,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

“Ini terlihat saat Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik hanya karena mendiskusikan hasil riset terkait pelanggaran HAM.”

Pada tanggal 18 Maret, aktivis Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik.

Sebelumnya, pada tanggal 22 September 2021, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan melaporkan Haris dan Fatia ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong terkait video diskusi yang diunggah di kanal YouTube Haris Azhar pada tanggal 20 Agustus.

Dalam video tersebut, Haris dan Fatia mendiskusikan laporan berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” yang diterbitkan oleh gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil. Laporan tersebut merupakan kajian terhadap faktor-faktor yang memicu pelanggaran hak asasi manusia di Papua, salah satunya adalah dugaan keterlibatan beberapa tokoh-tokoh militer dalam industri tambang.

Represi terhadap Haris dan Fatia hanya salah satu dari puluhan kasus serangan terhadap pembela HAM sepanjang 2021. Menurut pemantauan Amnesty, terdapat setidaknya 158 serangan fisik, serangan digital, ancaman dan bentuk serangan lainnya terhadap 367 pembela HAM yang dilaporkan sepanjang tahun.

Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menindak individu yang mengkritik kebijakan dan aktivitas pemerintah juga terus terjadi sepanjang 2021, di setidaknya 91 kasus yang melibatkan 106 korban. Salah satu korbannya adalah Saiful Mahdi, dosen dari Universitas Syiah Kuala Provinsi Aceh, yang menjalani hukuman penjara tiga bulan pada 2 September setelah dinyatakan bersalah atas kritik yang ia sampaikan terkait proses perekrutan di universitas melalui grup WhatsApp pada tahun 2019. Ia dibebaskan pada 12 Oktober setelah mendapatkan amnesti dari Presiden.

“Tidak belajar dari kasus Saiful Mahdi, UU ITE masih juga dipakai untuk mengkriminalisasi ekspresi dan pendapatyang disampaikan secara damai yang sah, seperti yang dialami Haris dan Fatia,” kata Usman.

“Ini menunjukkan bahwa pemberian amnesti hanyalah langkah sekali pakai yang tidak menyelesaikan permasalahan dalam penggunaan UU ITE. Karena itu kami kembali mendesak pemerintah dan DPR untuk mempercepat proses revisi UU ITE agar kasus-kasus ini tidak berulang lagi.”

Pelanggaran hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, serta penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan juga kembali berulang, terutama di Papua dan Papua Barat.

Pada 9 Mei, pihak berwenang di Jayapura, ibukota Papua, menahan aktivis pro-kemerdekaan Papua, Victor Yeimo, yang melakukan aksi protes damai melawan diskriminasi rasial. Ia didakwa melanggar Pasal 106 KUHP tentang makar dan Pasal 110 KUHP tentang pemufakatan makar. Proses sidangnya masih berlangsung sampai saat ini.

Sementara aksi damai menentang pembaruan dan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang disahkan oleh DPR RI pada 15 Juli, ditanggapi dengan kekuatan yang tidak proporsional termasuk pemukulan, meriam air, dan peluru karet.

“Kejadian-kejadian seperti ini kembali terjadi di awal tahun 2022. Pada tanggal 15 Maret 2022, misalnya, dua orang pengunjuk rasa yang melakukan aksi menolak pemekaran daerah otonomi baru di Kabupaten Yahukimo, Papua, tewas, diduga ditembak oleh aparat,” kata Usman.

Tren penyusutan ruang kebebasan sipil tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di kawasan Asia Pasifik maupun secara global. Selama 2021, setidaknya 67 negara mengesahkan undang-undang baru yang membatasi kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul, termasuk Kamboja, Mesir, Pakistan, Turki, dan Amerika Serikat. Peraturan baru di Kamboja mengharuskan semua lalu lintas internet melewati badan pengawas yang bertugas “memantau” aktivitas daring. Di Pakistan, undang-undang kejam untuk menyensor konten daring juga diberlakukan.

Sarana teknologi digital juga digunakan oleh banyak negara untuk merepresi kebebasan berekspresi. Di Rusia, pemerintah menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk menangkap pengunjuk rasa damai secara massal. Di China, pihak berwenang memerintahkan penyedia layanan internet untuk memblokir situs-situs yang “berbahaya bagi keamanan nasional” dan memblokir aplikasi yang digunakan untuk mendiskusikan topik-topik kontroversial seperti Xinjiang dan Hong Kong. Di Kuba, Eswatini, Iran, Myanmar, Niger, Sudan Selatan, dan Sudan, pihak berwenang memblokir dan memperlambat internet untuk menghalangi orang yang menyebarkan informasi tentang represi dan berserikat untuk melawannya.

“Pihak berwenang di Indonesia harus berkaca pada situasi global dan memastikan bahwa Indonesia tidak terus mengikuti tren situasi HAM yang memburuk,” kata Usman.