Laporan Amnesty International 2020/21: Represi dan impunitas terus menghantui penegakan HAM di Indonesia

Menurut laporan tahunan Amnesty International yang diterbitkan hari ini, situasi hak asasi manusia di Indonesia memburuk sepanjang tahun 2020, terutama dengan situasi impunitas yang terus berlangsung di Papua dan Papua Barat serta pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang tidak sesuai dengan standar HAM internasional.

Amnesty International Report 2020/21: The State of the World’s Human Rights mencakup laporan dari 149 negara dan menganalisa tren hak asasi manusia global secara komprehensif.

“Laporan ini juga kembali menyoroti bagaimana pemerintah Indonesia belum memiliki komitmen yang kuat terhadap penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, hari ini.

Terus terjadinya pembunuhan luar hukum (unlawful killing) di Papua dan Papua Barat tanpa adanya keadilan dan pertanggungjawaban yang jelas merupakan salah satu cermin lemahnya komitmen tersebut.

“Sepanjang 2020, kami mencatat ada setidaknya 19 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua dan Papua Barat, dengan total 30 korban jiwa,” kata Usman. “Insiden-insiden seperti ini juga terus berulang selama tiga bulan pertama di tahun 2021 dengan adanya empat kasus dan menelan enam korban jiwa.”

Laporan Amnesty International yang diterbitkan pada tahun 2018, “Suda Kasi Tinggal Dia Mati”, mencatat bahwa selama 2010-2018 terjadi setidaknya 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua dan Papua Barat, dengan total 95 korban.

Amnesty juga mencatat bahwa hanya enam dari 45 kasus yang diduga melibatkan anggota polisi yang diajukan ke mekanisme pertanggungjawaban dan itu pun sebatas internal kepolisian yang kemudian hasilnya diumumkan secara terbuka . Demikian pula halnya dengan kasus yang pelakunya melibatkan anggota TNI, hanya enam dari 34 kasus yang diduga melibatkan anggota TNI diproses melalui peradilan militer. Sayangnya, tidak ada satupun dari keseluruhan 69 kasus tersebut yang dibawa ke pengadilan umum.

Data yang dikumpulkan Amnesty sejak 2018 sampai Maret 2021 juga menunjukkan bahwa kondisi Papua belum juga membaik. Amnesty mencatat setidaknya terdapat 50 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan dengan total 84 korban. Dari 50 kasus tersebut, belum ada satu pun yang divonis oleh pengadilan umum maupun militer. Bahkan baru empat kasus yang diproses hukum: tiga kasus yang diduga melibatkan anggota TNI ada di tahap penyidikan oditur Militer, sementara satu kasus baru dilimpahkan ke kejaksaan negeri.

“Jika Presiden Joko Widodo benar-benar peduli terhadap kehidupan orang-orang Papua, maka pemerintah harus memastikan proses keadilan dan pertanggungjawaban atas kematian-kematian yang terjadi di sana. Pemerintah harus memastikan berjalannya penyelidikan atas pembunuhan di luar hukum di Papua dilakukan segera, secara efektif, independen, dan imparsial dan juga menjamin bahwa kasus-kasus tersebut di bawa ke pengadilan sipil,” kata Usman.

Selain itu, perlu diingat bahwa ruang untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat di seluruh Indonesia juga semakin menyusut, di antara lain karena terus adanya penerapan sewenang-wenang pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Amnesty International mencatat ada setidaknya 132 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE dengan total 157 korban sepanjang 2020, termasuk di antaranya 15 aktivis dan empat jurnalis. Jumlah kasus tersebut adalah jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.

Pada tanggal 15 Februari, Presiden Joko Widodo memberi arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara dan meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU ITE tersebut dapat berjalan secara selektif dan menjamin rasa keadilan di masyarakat.

Presiden juga membuka peluang untuk melakukan revisi terhadap “pasal-pasal multitafsir” dalam undang-undang tersebut. Segera setelah itu, Kementerian Kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan juga membentuk Tim Kajian yang menelaah substansi UU ITE dan penerapan UU tersebut untuk kemudian menentukan langkah selanjutnya termasuk berupa revisi.

Namun, sayangnya, pada tanggal 9 Maret 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Pemerintah sepakat untuk tidak memasukkan UU ITE ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021.

“Kalau Pemerintah serius untuk menegakkan hak-hak atas kemerdekaan berekspresi, maka ada setidaknya tiga langkah jangka pendek yang bisa dilakukan sambal mendorong terjadinya revisi atas UU ITE,” kata Usman. “Pertama, amnesti atau pembebasan tanpa syarat kepada mereka yang sudah divonis bersalah dan berkekuatan hukum tetap. Kedua, penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) untuk mereka yang kasusnya tengah ada di kejaksaan dan baru mau dibawa ke pengadilan. Dan ketiga, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk mereka yang baru berstatus tersangka di kepolisian.”

Situasi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi menjadi tren di kawasan Asia Pasifik dan secara global, bahkan semakin diperparah dengan adanya pandemi COVID-19. Di Sri Lanka, misalnya, kepolisian mengumumkan bahwa orang-orang yang mempublikasikan postingan di media sosial yang kritis terhadap respons COVID-19 pemerintah akan ditindak secara hukum. Di Nepal, pemerintah juga mengeluarkan beberapa undang-undang baru yang mengancam hak kebebasan berekspresi, baik secara daring maupun luring.

Beberapa pemerintah lain di kawasan Amerika, Timur Tengah, dan Afrika Utara mengeluarkan undang-undang yang mengkriminalisasi komentar terkait pandemi dan selanjutnya menghukum orang-orang yang menyebarkan berita bohong atau mengganggu keputusan pemerintah. Sementara itu, negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok dan Rusia terus mereduksi upaya-upaya mewujudkan keadilan dan pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran HAM serius.

“Kami berharap bahwa pemerintah Indonesia dapat menunjukkan kemampuannya untuk melawan tren global dan menempatkan hak asasi manusia benar-benar sebagai prioritas yang utama,” kata Usman. “Jika tidak, maka tahun 2021 dapat kembali menunjukkan perburukan situasi hak asasi manusia di Indonesia.”

Amnesty mengingatkan bahwa hak seluruh masyarakat atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ketentuan ini dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 34 atas Pasal 19 ICCPR. Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, tepatnya pada Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam hal pembunuhan di luar hukum, Amnesty menekankan bahwa pembunuhan di luar hukum oleh aparat negara merupakan pelanggaran hak untuk hidup, sebuah hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional dan Konstitusi Indonesia. Dalam hukum HAM internasional, ketentuan Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.

Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup secara tegas dan jelas dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Selain itu Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai lembaga penafsir yang otoritatif atas norma dan pelaksanaan norma ICCPR, juga menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan pemulihan hak sepenuhnya, termasuk berupa reparasi, bagi para korban.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifikasi, mengadili, menghukum para pelakunya, dan ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya merupakan dua bentuk pelanggaran HAM yang berbeda.