Kontroversi Pernyataan Tjahjo Kumolo: Presiden Harus Mengevaluasi MenpanRB!

Pada tanggal 8 Juni 2021 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB), Tjahjo Kumolo, mengeluarkan pernyataan kontroversi. Betapa tidak, Tjahjo secara sengaja turut melontarkan pernyataan dukungan atas sikap Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak menghadiri penggilan Komnas HAM terkait permasalahan Tes Wawasan Kebangsaan. Tentu sikap dari Tjahjo layak untuk dipermasalahkan lebih lanjut karena semakin menimbulkan distorsi informasi serta kekisruhan di tengah publik.

Menurut Tjahjo, tidak ada kaitan antara penyelenggaraan TWK dengan pelanggaran HAM. Selain itu ia juga mengatakan bahwa TWK merupakan hal yang biasa dan mencoba membandingan dengan pengalamannya mengikuti penelitian khusus (Litsus) pada era Orde Baru. Selanjutnya, menurut Tjahjo, pertanyaan yang digali dalam TWK lebih luas, tidak hanya soal keterkaitan seseorang dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti dalam Litsus.

Secara kasat mata pernyataan itu keliru dan terkesan menganggap enteng permasalahan yang ada. Semestinya sebagai penyelenggara negara Tjahjo memahami bahwa TWK yang dilakukan terhadap seluruh pegawai KPK melanggar hukum, mencoreng etika individu, meruntuhkan HAM, bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan pembangkangan atas instruksi Presiden. Dengan melontarkan pernyataan itu Tjahjo seolah-olah bertindak sebagai kuasa hukum dari Pimpinan KPK.

Penting untuk kami tegaskan bahwa KemenpanRB tidak punya otoritas sama sekali untuk menilai pelanggaran HAM. Sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b UU 39/1999, otoritas itu berada dalam lingkup kewenangan KomnasHAM. Tegasnya regulasi itu menyebutkan bahwa Komnas HAM berwenang melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM. Selain itu Pasal 89 ayat (1) huruf e UU a quo juga memberikan wewenang pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM kepada KomnasHAM.

Dalam bagian lain, Pasal 89 ayat (3) UU a quo memberikan wewenang kepada Komnas HAM melakukan: a) pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM; c) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya; d) pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan. Bahkan Pasal 90 ayat (1) UU a quo mengatakan bahwa setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.

Pernyataan Tjahjo itu semakin membuat terang ihwal peta aktor-aktor di balik pelemahan KPK. Sebab, pejabat selevel Menteri mustahil tidak mengetahui suatu undang-undang. Oleh karena itu pernyataan ini terindikasi di luar kepentingan sebagai Menpan RB. Lalu, apa motif Tjahjo melontarkan pernyataan kontroversi tersebut?

Penting untuk dijelaskan, berdasarkan Pasal 2 Perpres 47/2015 KemenpanRB bertugas menyelenggarakan urusan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Kemudian Pasal 3 Perpres 47/2015 mengatur fungsi Kemenpan RB yaitu a) perumusan dan penetapan kebijakan di bidang reformasi birokrasi, akuntabilitas aparatur dan pengawasan, kelembagaan dan tata laksana, sumber daya manusia aparatur, dan pelayanan publik; b) koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang reformasi birokrasi, akuntabilitas aparatur dan pengawasan, kelembagaan dan tata laksana, SDM aparatur, dan pelayanan publik; c) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan KemenpanRB; d) koordinasi pelaksanaan supervisi dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan; e) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab KemenpanRB; f) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan KemenpanRB.

Berdasarkan Perpres ini seharusnya Menpan RB memeriksa keikutsertaan Kemenpan RB dalam proses peralihan ASN KPK yang tidak sesuai UU 19/2019, bukan justru disibukkan dengan memproduksi pernyataan kontroversi.

Berdasarkan penjelasan di atas maka kami -Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi- mendesak agar Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, dan mengevaluasi Tjahjo Kumolo atas pernyataan kontroversi yang telah ia sampaikan sebelumnya.

Hormat Kami,

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi

Nara Hubung:

  1. Feri Amsari, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
  2. Usman Hamid, Amnesty International Indonesia
  3. Totok Dwi Diantoro, Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada