Koalisi SOSNakes desak pemerintah serius lindungi nakes dan penuhi hak-hak nakes

Koalisi masyarakat SOSNakes kembali mendesak pemerintah untuk serius melindungi nakes yang mengalami diskriminasi dan penundaan insentif selama pandemi COVID-19. Koalisi menilai, setidaknya terdapat dua bentuk pelanggaran yang ditemukan selama nakes menjalankan tugasnya dalam dua tahun terakhir.. 

Pertama, nakes masih belum mendapatkan insentif yang berhak diterimanya. Terdapat pula kesenjangan yang terjadi antara rumah sakit negeri dan swasta dalam pendistribusian insentif. Bahkan, terdapat wacana bahwa insentif nakes di luar Jawa yang belum cair pada tahun 2020 akan hangus. 

Kedua, nakes masih kurang mendapatkan perlindungan selama melaksanakan tugasnya. Nakes sering kali mendapat kekerasan verbal, seperti ancaman, dan kekerasan fisik dari suatu kelompok atau entitas saat melaksanakan tugasnya. 

“Sampai saat ini, belum ditemukan solusi untuk mengatasi hal tersebut, bahkan nakes yang melaporkan terancam akan dipersekusi. Sayangnya, hal ini dianggap common behavior oleh nakes,” kata Egi Abdul Wahid, Direktur Program CISDI. 

Koalisi beranggotakan Public Virtue Research Institute (PVRI), Amnesty International Indonesia (AII), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan KawalCovid19 menilai bahwa diskriminasi terhadap tenaga kesehatan (nakes) akan berdampak serius terhadap usaha penanganan COVID-19. Pernyataan ini disampaikan dalam agenda Weekend Talk 10 bertajuk ‘Dilema Nakes: Bagaimana pemenuhan hak-hak nakes?’ yang diselenggarakan pada Minggu, 29 Agustus 2021. 

Nurina Savitri, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia memaparkan temuan terkait diskriminasi dan pelanggaran hak-hak nakes. Dari temuan tersebut, setidaknya ada 26.717 nakes di 21 provinsi dan 36 kabupaten/kota mengalami penundaan atau pemotongan pembayaran insentif dari Juni 2020 – Juli 2021. 

“Ada lima besar kabupaten/kota dengan jumlah nakes yang mengalami penundaan terbanyak berada di Bogor, Palembang, Bekasi, Tanjungpinang, dan Banyuwangi. Terdapat juga lima besar kabupaten/kota dengan durasi penundaan insentif terlama, yakni Labuhan Batu, Donggala, Jombang, Enrekang, dan Kendari,” uraian Nurina. 

“Penunggakan yang terus terjadi dalam pembayaran insentif kepada para nakes, yang sering bekerja tanpa istirahat karena kekurangan jumlah nakes, tidak dapat diterima karena mencerminkan pengabaian pemerintah terhadap kelompok pekerja esensial ini dan kesehatan masyarakat pada umumnya,” kata Nurina. 

Nurina menjelaskan bahwa hal tersebut melanggar hukum internasional, yakni (1) pasal 7a Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengenai hak nakes atas kondisi kerja yang adil dan mendukung, dan (2) pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik terkait hak nakes atas kebebasan berbicara. 

Menurut Muhammad Isnur dari YLBHI, berdasarkan hukum nasional Indonesia sendiri, diskriminasi dan penundaan insentif yang dialami nakes melanggar setidaknya pasal 28 UUD 1945 dan 12 undang-undang lainnya terkait perlindungan nakes, utamanya UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

“Pelanggaran hak nakes tidak hanya berdampak kepada nakes, tetapi juga hal lainnya, seperti kondisi kesehatan dan produktivitas nakes tersebut, yang kemudian akan berdampak kepada keluarga dan kerabat terdekatnya,” jelasnya. 

“Untuk itu nakes harus tahu dan berani memperjuangkan hak-haknya, dibantu masyarakat sipil dengan melaporkan pelanggaran tersebut melalui empat mekanisme, yakni (1) mekanisme internal di lembaga Pemda yang mengurusi bidang kesehatan hingga Kementerian Kesehatan, (2) mekanisme eksternal ke lembaga Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, hingga ke KPAI jika anak nakes menjadi terdampak akibat pelanggaran pemenuhan insentif nakes, (3) mekanisme langsung melalui campaign, advokasi, dan diskusi seperti ini, dan (4) mekanisme pelaporan ke dunia Internasional seperti WHO,” tegasnya. 

Ada beberapa penyebab mengapa diskriminasi dan pelanggaran hak nakes ini terjadi. Anita Wahid, Deputi Direktur Public Virtue Research Institute (PVRI) menambahkan bahwa respons pemerintah terhadap penanganan COVID-19 dibentuk oleh isu-isu akibat penurunan demokrasi, seperti naiknya populisme, konservatisme agama, polarisasi politik ideologi, dan meningkatnya praktek korupsi politik. Adanya polarisasi turut menciptakan perbedaan untuk menanggulangi COVID-19 di Indonesia. 

“Jika daerah dipimpin oleh pemimpin yang tidak satu kelompok dengan pemerintah pusat, biasanya isi pemberitaan di sana tentang konflik dengan pemerintah pusat dan saling menyalahkan, sehingga berujung kepada diskriminasi nakes yang terus terjadi,” jelas Anita. 

Untuk itu, sangat penting bagi nakes dan masyarakat untuk melaporkan pelanggaran hak-hak nakes agar dapat ditindaklanjuti. Miya Irawati, dari PVRI, sebagai moderator Weekend Talk mengajak publik untuk melaporkan pelanggaran tersebut lewat SOSNakes.id, sebuah platform independen yang berfungsi sebagai ruang aman bagi para nakes sekaligus bagi informan publik yang ingin mengawal hak-hak nakes. 

“Kami butuh data dan fakta agar kami di koalisi SOSNakes bersama masyarakat sipil lainnya dapat terus memperjuangkan hak-hak nakes, tanpa fakta kami sulit bekerja.”