Kecaman Bersama Koalisi Masyarakat Sipil: “Stop Serangan Pada Pembela HAM dengan UU ITE!”

Pada Rabu, 22 September 2021, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, melaporkan Haris Azhar Direktur Lokataru dan Fatia Maulidiyanti Ketua KontraS ke Polda Metro Jaya. Laporan Menko Marves Luhut teregister dengan nomor: STTLP/B/4702/IX/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA, 22 September 2021. Menko Marves Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia dengan menggunakan pasal pencemaran nama di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan juga mengajukan gugatan perdata Rp 100 Miliar. Sebelumnya Tim Advokasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah menerima sebanyak 2 (dua) kali somasi dari Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan pernyataan yang disampaikan Fatia Maulidiyanti dalam program acara NgeHAMtam berjudul “Ada Lord Luhut di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” lewat channel Youtube Haris Azhar.

Koalisi Masyarakat Sipil Serius Revisi UU ITE yang terdiri lebih dari 20 organisasi yang berkomitmen serius mendorong revisi UU ITE mengecam pelaporan pemidanaan dan perdata pada Haris dan Fatia oleh pejabat publik Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. Pelaporan ini merupakan salah satu bentuk serangan pada para pembela Hak Asasi Manusia oleh pejabat Indonesia dengan cara menyalahgunakan hukum untuk keperluan dirinya sendiri. Sebelum Menko Marves Luhut, Kepala Staf Presiden Moeldoko juga melaporkan aktivis anti korupsi Egi Primayogha dan Miftahul Choir dari Indonesia Corruption Watch pada 10 September 2021.

Hak para pembela hak asasi manusia atas kebebasan berekspresi dijamin tidak hanya di bawah hukum hak asasi manusia internasional, tetapi juga di bawah UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 23(1) dan 25) dan Konstitusi Indonesia (Pasal 28E UUD 1945), keduanya yang mengatur bahwa: setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya di depan umum. Pasal 28E (3) UUD 1945 juga melindungi hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan, secara lisan dan tertulis, melalui media cetak dan elektronik.

Penyampaian materi tentang keterlibatan Menko Marves Luhut sebagai pejabat publik didasari pada temuan riset berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya” yang dibuat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil. Di dalam laporan penelitian tersebut, dijelaskan keterhubungan Luhut dan PT. Toba Sejahtera Group, PT. Tobacom Del Mandiri dan West Wits Mining yang berpotensi mengakibatkan konflik kepentingan (conflict of interest) mengingat Luhut merupakan Pejabat Negara sebagaimana Pasal 43 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Laporan ini mengungkap keterlibatan pejabat TNI dan pensiunan dalam operasi bisnis pelaku pertambangan emas. Laporan tersebut juga mendokumentasikan nama Luhut Binsar Pandjaitan yang diidentifikasi berafiliasi dengan PT Madinah Qurrata’ain pemegang izin Proyek Emas Sungai Derewo di Kabupaten Intan Jaya Papua, yang terletak di sepanjang zona patahan Derewo, barat laut Grasberg dan Wabu. Luhut Binsar Pandjaitan berafiliasi melalui kepemilikan sahamnya di PT Toba Sejahtra, yang anak usahanya (PT Tobacom Del Mandiri atau PT Tambang Raya Sejahtra) dikabarkan telah mengakuisisi 30% saham PT Madinah Qurrata’ain. Laporan tersebut juga mencatat berbagai eskalasi konflik kekerasan dan konflik bersenjata yang dipicu oleh operasi militer yang terjadi, salah satunya di Kabupaten Intan Jaya. Konflik tersebut telah mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil, dan pengungsian ribuan warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.

Kami menilai pelaporan pidana dan gugatan perdata pada Fatia dan Haris adalah ancaman yang serius terhadap demokrasi dan kerja-kerja Pembela Hak Asasi Manusia. Sebab Pembela HAM yang seharusnya diberikan jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya, justru mendapatkan serangan dari pejabat publik. Hal itu tidak hanya tampak pada kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dilaporkan oleh Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, tetapi juga terlihat pada kasus Egi Primayogha dan Miftahul Choir dari ICW yang dilaporkan oleh Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden. Pola ancaman hukum seperti ini berpotensi tereskalasi menjadi proses SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation), menciptakan lingkungan tanpa ruang demokrasi dan melemahkan kemampuan pembela hak asasi manusia untuk menjalankan pekerjaan mereka dan berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa rasa takut akan pembalasan.

Selain itu pelaporan ini semakin menunjukkan bagaimana UU ITE, terutama pasal defamasi, kian menunjukan relasi asimetrik bahwa mereka yang punya kekuasaan menggunakan UU ITE kepada orang yang lebih lemah. Ini menunjukkan karakter “hukum yang selalu tajam ke bawah, tumpul ke atas.”

Pelaporan pidana ini juga menegasikan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengerem laju kasus-kasus UU ITE. Karena sejak 26 Juni 2021 sudah ada SKB dari Kemenkominfo, Kejaksaan, Kepolisian yang mengatur pedoman interpretasi atas pasal-pasal yang kerap disalahgunakan. Dalam pedoman SKB Pasal 27 ayat (3) poin c yang berbunyi “bukan merupakan delik pencemaran nama…. bila berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi dan kenyataan.” dan dalam poin f dicantumkan kalau pasal pencemaran nama bukanlah untuk institusi, korporasi, profesi atau jabatan. Artinya, pejabat publik tidak bisa menggunakan UU ITE ini karena ini bukan menyangkut diri pribadi yang spesifik.

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, kami mendesak:

  1. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Purnomo mendorong jajarannya untuk tidak menindaklanjuti pelaporan pidana, baik oleh Luhut Binsar Panjaitan dan Moeldoko oleh karena tindakan yang dilakukan oleh Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti hingga Egi Primayogha dan Miftahul Choir merupakan murni bagian dari kebebasan ekspresi, pendapat dan kerja-kerja pembela hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi dan Undang-Undang;
  2. Kapolda Metro Jaya Fadli Imran untuk memberi instruksi agar para penyidik kepolisian untuk mematuhi isi SKB Kemenkominfo, Kejaksaan, Kepolisian yang mengatur pedoman interpretasi UU ITE sebagai bentuk ketaatan pada hukum
  3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberikan jaminan perlindungan terhadap Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti hingga Egi Primayogha dan Miftahul Choir selaku Pembela HAM yang sama-sama dituntut dengan pasal pencemaran nama di UU ITE
  4. Pemerintah dan DPR segera merevisi UU ITE terutama pada pasal-pasal bermasalah untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan.

22 September 2021

Koalisi Masyarakat Sipil Serius Revisi UU ITE terdiri dari:
AJI Indonesia, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Forum-Asia, Greenpeace Indonesia, ICJR, Indonesia Corruption Watch (ICW), IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, KontraS, KPJKB Makassar, LBH Apik, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers LeIP, PAKU ITE, PBHI, PUSKAPA UI, PSHK, Rumah Cemara, SAFEnet, WALHI, YLBHI