Kapan negara berhenti merepresi protes damai Orang Asli Papua?

Menanggapi pembubaran aksi unjuk rasa di Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua, dengan dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Pembubaran ini menunjukkan aparat kepolisian masih memandang unjuk rasa damai dengan perspektif yang salah.”

“Penyampaian pendapat di muka umum secara damai tidak dilihat sebagai hak warga, tapi sebagai sesuatu yang berbahaya yang memerlukan ‘izin’ dari aparat negara. Kalau tidak ‘diizinkan’, aparat seperti merasa berwenang membubarkan secara paksa dengan pukulan tongkat, gas air mata, atau meriam air.”

“Kapolri sudah berulangkali mengatakan bahwa Polri menjamin hak warga untuk menyampaikan aspirasi. Kami menagih komitmen ini dari seluruh anggota kepolisian, terutama di Papua, di mana aksi unjuk rasa damai yang kecil sekalipun seringkali berujung pembubaran atau penangkapan.”

“Karena itu kami mendesak Kapolri untuk memastikan bahwa semua anggota kepolisian, terutama di Papua dan Papua Barat, memandang berunjuk rasa secara damai sebagai bagian dari hak warga untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat yang wajib dihormati dan dilindungi, bukan direpresi.”

“Kami juga mendesak Kapolda Papua untuk segera menindak dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh anggotanya dan memastikan bahwa kejadian seperti itu tidak terulang lagi.”

Latar belakang

Pada tanggal 14 Juli 2022, aksi unjuk rasa menentang pembentukan daerah otonomi baru (DOB) berlangsung di berbagai kota di Papua termasuk di Jayapura dan Nabire. Sejumlah mahasiswa di Universitas Cenderawasih, Jayapura juga mengadakan aksi dan berencana berjalan sampai ke gedung DPR Papua.

Berdasarkan informasi yang didapatkan Amnesty, unjuk rasa yang berlangsung di Universitas Cenderawasih dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian. Dalam rekaman video pembubaran yang didapatkan Amnesty, beberapa anggota kepolisian terlihat memukul pengunjuk rasa dengan tongkat rotan.

Menurut pemberitaan di media lokal, polisi mengatakan alasan mereka membubarkan para demonstran karena aksi tersebut tidak mendapatkan izin dari kepolisian.

Sebelumnya, pada tanggal 13 Juli 2022, akun Instagram Polres Jayapura mengunggah sebuah post yang menyatakan sikap Polri terkait rencana aksi demo pada tanggal 14 Juli. Dalam post itu, juga disebutkan bahwa Polres Jayapura “tidak mengizinkan” aksi tersebut.

Padahal menurut informasi dari LBH Papua, para pengunjuk rasa sudah memberikan surat pemberitahuan terkait aksi tersebut ke pihak kepolisian.

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum hanya mengharuskan pengunjuk rasa untuk menyampaikan surat pemberitahuan kepada kepolisian, bukan mendapatkan izin.

Hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Dalam instrumen hak asasi manusia internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 dan 25 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Komite HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Komentar Umum Nomor 37 terhadap Pasal 21 ICCPR tentang hak untuk berkumpul secara damai telah menjelaskan bahwa: “Sebuah kegiatan berkumpul hanya boleh dibubarkan dalam kasus-kasus tertentu. Pembubaran boleh dilakukan saat sebuah kegiatan tersebut sudah tidak lagi damai, atau jika ada bukti jelas adanya ancaman nyata terjadinya kekerasan yang tidak bisa ditanggapi dengan tindakan yang lebih proporsional seperti penangkapan terarah, tapi dalam semua kasus, aparat penegak hukum harus mengikuti aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan.”

Kekerasan tidak boleh digunakan untuk menghukum mereka yang (dituduh atau diduga) tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah atau hanya mengekspresikan kebebasan berkumpul. Jika penggunaan tongkat dan peralatan sejenis tidak dapat dihindari, petugas penegak hukum harus secara jelas diperintahkan untuk menghindari terjadinya cedera serius dan tidak menyerang bagian tubuh yang vital. Penggunaan senjata yang “tidak mematikan” (less lethal weapons), termasuk tongkat rotan, tidak boleh digunakan untuk membubarkan massa, dan pukulan yang berulang juga merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan.

Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO) juga mengatur prinsip yang perlu diikuti aparat penegak hukum dalam menggunakan kekuatan: asas legalitas, keperluan, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Secara internal, Polri juga telah memiliki Peraturan Polri Nomor 7/2022 terkait kode etik kepolisian yang menegaskan bahwa setiap anggota Polri wajib menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia.