Isu HAM di Papua Masalah Serius

Menanggapi reaksi Pemerintah Indonesia atas pernyataan Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman, tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-75, Direktur Ekeskutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan:

“Sebagai negara bangsa, Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia. Jika dibaca baik-baik, itu artinya kita mengakui bahwa masalah HAM bukan lagi urusan domestik. Tetapi masalah universal. Jadi Pemerintah Indonesia justru mesti membuka diri dengan menunjukkan upaya-upaya menegakkan HAM di Papua. Misalnya dengan menyajikan penjelasan disertai bukti yang meyakinkan tentang data penyelesaian kasus di Papua, termasuk janji Indonesia dalam sidang Dewan HAM PBB sebelumnya untuk menyelesaikan Kasus Wamena dan Wasior.”

“Indonesia seharusnya tidak resisten atas pertanyaan kritis negara lain. Sebab Indonesia juga pernah bersikap kritis pada negara lain. Di forum PBB, hal itu justru merupakan hal yang lumrah sejauh dikatakan secara diplomatik. Lagipula, kenyataan HAM di Papua masih diwarnai oleh pelanggaran yang serius. Salah satu bentuknya adalah praktik pembunuhan di luar hukum. Dalam catatan kami, setidaknya ada lima pembunuhan di luar hukum dengan delapan korban di Papua selama tiga bulan terakhir. Yang masih segar dalam ingatan kita bersama adalah penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Intan Jaya, pekan lalu.”

“Semua kasus pembunuhan di luar proses hukum itu belum pernah diselesaikan secara tuntas. Inilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh Indonesia. Kalau komitmen HAM Indonesia itu dijalankan dengan baik, maka tidak akan ada pertanyaan kritis dari mana pun, dari Dewan HAM PBB maupun dari negara lain seperti Vanuatu.”

“Belum lagi situasi kebebasan berekspresi di Papua. Kemarin, masih banyak orang Papua yang menyuarakan pendapat mereka secara damai dituntut pasal makar. Itu pasal serius. Ancaman hukumannya antara satu tahun tiga bulan hingga dua tahun penjara untuk sesuatu yang telah secara jelas dilindungi dalam hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Bagaimana Pemerintah Indonesia menjelaskan hal ini?”

Diplomat Indonesia, Silvany Pasaribu, saat menyampaikan tanggapan Pemerintah Indonesia atas pernyataan Perdana Menteri Vanuatu. Sumber: YouTube channel UN.

“Perlindungan HAM tidak hanya berhenti sampai di pengesahan Konvensi Elimininasi Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), atau Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT). Negara harus menjamin semua hak yang dilindungi dalam aturan tersebut, tak terkecuali untuk warga Papua.”

“Jika memang Pemerintah Indonesia berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM seperti yang disampaikan dalam sidang PBB, maka segera adili semua pelaku pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Buktikan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara yang menghormati hak asasi manusia di mana pun. Baik di Indonesia sendiri maupun di Myanmar dan Palestina. Sekali lagi, masalah HAM itu adalah masalah universal.”

Latar belakang

Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-75, tanggal 27 September 2020, Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman, meminta kembali Pemerintah Indonesia untuk membuka ruang untuk Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk mengunjungi Papua Barat. Permintaan ini ia sampaikan dengan merujuk hasil pertemuan pemimpin-pemimpin kepulauan Pasifik tahun lalu, di mana mereka menuduh adanya pelanggaran HAM besar-besaran yang telah dialami oleh masyarakat asli Papua Barat.

Menanggapi seruan Perdana Menteri Vanuatu tersebut, di hari yang sama, perwakilan Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat menghormati hak asasi manusianya (HAM) dan semua warga negara Indonesia memiliki hak setara di mata pemerintahan Indonesia. Perwakilan Indonesia juga menyatakan bahwa Vanuatu bukanlah perwakilan Papua dan meminta agar Vanuatu tidak terobsesi dengan permasalahan dalam negeri Indonesia.

Amnesty International Indonesia mencatat, hingga 22 September ini, total pembunuhan di luar hukum di Papua sepanjang 2020 saja setidaknya mencapai 15 kasus dengan total 22 korban.