Indonesia jangan tertinggal dari Malaysia, hapuskan segera hukuman mati!

Indonesia harus segera menghentikan vonis hukuman mati dan menghapus hukuman mati dari sistem peradilan, kata Amnesty International Indonesia hari ini memperingati Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia.

Meski pemerintah menangguhkan eksekusi mati sejak 2017, penegak hukum tetap menjatuhkan vonis mati yang sebagian besar ditujukan untuk kasus narkotika.

“Banyak negara telah meninggalkan dan menghapus hukuman yang kejam dan tidak manusiawi ini. Negara tetangga Malaysia bahkan telah mencabut hukuman mati wajib sepenuhnya pada 4 Juli 2023 dan pengadilan di sana memberikan komutasi untuk beberapa kasus terkait narkotika dalam tiga bulan pertama implementasinya. Apa yang terjadi di Malaysia itu seharusnya bisa diikuti oleh Indonesia dengan segera menghapus hukuman mati.

Tentu tindak pidana apapun harus dihukum. Tapi nyatanya, hukuman mati tidak memberi efek jera dan terbukti tidak efektif dalam mencegah kejahatan narkotika,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia mencatat hingga September 2023 pengadilan masih memberi hukuman mati atas pelanggaran narkotika. Seperti yang dilakukan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Meureudu, Aceh, pada 21 September lalu dengan menjatuhkan hukuman mati kepada dua terdakwa, Zulkarnaini bin Sudirman dan Tarmizi bin Zaini, setelah dinyatakan bersalah mengedarkan sabu seberat 149 kilogram.

Sebelumnya, pada 11 September, Pengadilan Negeri Tanjungbalai, Sumatra Utara, menjatuhkan hukuman mati kepada Syamsul Sirait setelah dinyatakan bersalah atas kasus peredaran sabu 20 kg.

Ini menambah jumlah hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan di Indonesia. Dari Januari hingga September 2023, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 80 vonis hukuman mati yang dijatuhkan majelis hakim, dengan 67 di antaranya terkait kasus narkotika, 10 kasus pembunuhan dan tiga kasus perkosaan.

Kasus narkotika juga mendominasi pemberian hukuman mati di Indonesia sepanjang 2022 yaitu sebesar 93,75% atau sebanyak 105 dari total 112 hukuman mati (sisanya, lima terkait kasus pembunuhan dan dua kasus perkosaan).

“Penangguhan eksekusi mati yang diberlakukan pemerintah Indonesia sejak 2017, pemberian grasi Presiden Jokowi kepada terpidana mati Merri Utami pada 13 Maret 2023, serta revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) – yang memberlakukan kemungkinan keringanan hukuman setelah jangka waktu sepuluh tahun jika terpidana hukuman mati tetap berperilaku baik sesuai aturan yang berlaku – adalah langkah-langkah positif yang harus dihormati dan dipertahankan. Namun, penggunaan hukuman mati dalam kasus narkotika masih menghantui proses peradilan di Indonesia dan memberikan dampak negatif terhadap hak asasi manusia,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.

Pada tahun 2022, Indonesia terus mencatat jumlah putusan hukuman mati yang tergolong tinggi, yaitu 112 vonis –dua angka lebih sedikit dibanding tahun 2021. Bukan tidak mungkin jumlah tahun ini akan mendekati bahkan bisa melampaui angka di tahun-tahun sebelumnya.

“Banyak negara telah mengambil langkah untuk menggantikan hukuman mati dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan efektif dalam mengatasi masalah narkotika. Ini termasuk pendekatan yang berfokus pada pencegahan, pengurangan bahaya, rehabilitasi, pendidikan, dan penghormatan hak asasi manusia. Maka putusan hukuman mati di Indonesia untuk kasus apapun harus dihentikan,” lanjut Wirya.

Eksekusi mati naik lebih dua kali lipat

Saat Indonesia masih memberlakukan putusan hukuman mati dalam sistem peradilannya untuk berbagai pelanggaran terkait narkotika, pemberlakuan hukuman mati secara global masih menunjukkan level yang mengkhawatirkan.

Jumlah eksekusi mati terkait narkotika, berdasarkan catatan Amnesty International secara global pada tahun 2022 sebanyak 325 eksekusi. Ini lebih dua kali lipat dibandingkan total 134 eksekusi pada tahun 2021.

Peningkatan ini terutama terkait dengan jumlah eksekusi di dua negara, Iran dan Arab Saudi. Sebanyak 255 eksekusi terkait narkotika di Iran merupakan 78% dari total eksekusi global yang dikonfirmasi (325). Vonis hukuman atas kejahatan terkait narkotika mencapai 44% dari total hukuman di Iran pada tahun 2022 dan mewakili peningkatan sebesar 93% dari tahun 2021, yang sebanyak 132 hukuman.

Peningkatan angka eksekusi terkait narkotika pertama kali tercatat pada tahun 2021 dan setelah tiga tahun berikutnya angka eksekusi tersebut menunjukkan penurunan yang signifikan, sebagian besar disebabkan oleh penerapan amandemen undang-undang anti-narkotika di Iran mulai bulan November 2017.

Pada tahun 2022, pihak berwenang Arab Saudi mengakhiri moratorium eksekusi mati terkait narkotika, yang menurut Komisi Hak Asasi Manusia Saudi telah ditetapkan pada tahun 2020. Jumlah total eksekusi yang dilakukan di negara tersebut meningkat tiga kali lipat dari 65 eksekusi pada tahun 2021 menjadi 196 eksekusi pada tahun 2022. Ini jumlah tertinggi yang dicatat Amnesty International di Arab Saudi dalam 30 tahun terakhir. Eksekusi terkait kasus narkotika mencapai sepertiga dari jumlah total eksekusi mati di negara tersebut.

Singapura – yang melanjutkan eksekusi mati pada bulan Maret 2022, setelah jeda selama dua tahun – telah melakukan 11 eksekusi terkait kasus narkotika, yang merupakan 100% dari total eksekusi pada tahun tersebut.

Dua negara lainnya, yaitu China dan Vietnam, diyakini telah melakukan eksekusi mati terhadap pelanggaran terkait narkotika antara 2018-2022, namun namun kerahasiaan informasi mengenai angka penerapan hukuman mati di kedua negara tersebut telah menghambat penilaian yang akurat. Amnesty International dapat memastikan telah terjadinya eksekusi-eksekusi mati terkait narkotika di China, tetapi tidak dapat memberikan angka yang pasti. Mengenai Vietnam, Amnesty International tidak memiliki konfirmasi yang kuat atas eksekusi mati terkait narkotika, tetapi kemungkinan besar eksekusi itu dilakukan.

Laporan-laporan media juga menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, eksekusi untuk pelanggaran semacam ini bisa saja terjadi di Korea Utara, namun kurangnya akses atas negara tersebut dan sumber-sumber media independen di sana terus membuat Amnesty International tidak dapat memverifikasi informasi tersebut.

Angka-angka yang dikeluarkan oleh Amnesty International dalam laporan ini adalah angka minimum, dan masih mungkin ada ratusan eksekusi lainnya, termasuk yang terkait kasus narkotika.

Latar belakang

Hukuman mati melanggar hak asasi manusia untuk hidup, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Lebih dari dua per tiga negara di dunia telah menghapus hukuman mati dalam regulasi atau dalam praktiknya.

Di Indonesia, Konstitusi juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hak untuk hidup. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM secara rinci menjelaskan bahwa HAM mencakup hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, kebebasan pribadi, pikiran nurani, kebebasan beragama, dan hak untuk tidak diperbudak.

Amnesty International tidak menentang hukuman bagi orang yang terbukti melakukan tindakan kriminal. Tapi apa pun kejahatannya, apa pun latar asal usul kebangsaannya, ganjaran yang dikenakan tidak seharusnya berupa hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.