Indonesia harus mengusut kematian dua petani Lahat, Sumatera Selatan

Courtesy: Forum Pemuda Pemudi Pagar Batu (FP3B)

Amnesty International Indonesia dan WALHI menyesalkan tidak adanya kemajuan yang signifikan dalam pengusutan kematian dua petani Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada 21 Maret 2020. Setelah hampir tiga pekan, Kepolisian Resort Lahat hanya menetapkan seorang tersangka, padahal pelaku yang terlibat kejadian tersebut berjumlah banyak. Pemerintah pusat dan daerah harus serius melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat kaum tani yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari tanah yang berkonflik dengan PT. Artha Prigel.

“Kematian dua petani Lahat yaitu Putera Bakti dan Suryadi disebabkan pengeroyokan puluhan sekuriti perusahaan. Ini bisa menjadi cermin polisi gagal melindungi hak-hak asasi petani. Di masa wabah COVID-19, perlindungan masyarakat petani seharusnya lebih diperhatikan oleh aparat keamanan, baik akses atas tanah maupun hak hidup mereka. Konflik tanah yang terjadi sejak Orde Baru ini tak bisa dibiarkan terus.”

“Telah banyak petani desa yang kehilangan hak atas mata pencaharian hidup mereka. Eksploitasi kekayaan alam, pengalihan fungsi lahan, dan penggusuran paksa selama ini dibiarkan terjadi. Tidak ada yang berubah dengan nasib petani selama pemerintah tidak melindungi hak-hak asasi petani,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Perampasan tanah petani dengan kedok jual beli di Kabupaten Lahat adalah satu contoh praktik investasi kotor perkebunan kelapa sawit skala besar. Melalui kuasa modal diterbitkan izin perkebunan kelapa sawit dari indikasi praktik melawan hukum. Petani yang menggantungkan hidup dari tanah jatuh dalam lubang kemiskinan. Mereka diusir dari tanahnya, jadi tamu di kampung sendiri dan sekedar melihat kemegahan korporasi kelapa sawit,” sebut Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati.

“Ekspansi perkebunan kelapa sawit besar tidak sekedar merampas tanah petani, ia juga menghilangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sumber air bersih mengalami penurunan kualitas, polusi udara juga memburuk karena karhutla dan lainnya,” tambah Nur Hidayati.

“Pemerintah dan aparat di Indonesia harus paham bahwa tanah adalah sumber hidup masyarakat desa untuk memenuhi hak-hak sosial dan ekonomi, termasuk pangan, air, pekerjaan dan tempat tinggal. Banyak dari hak ini tak bisa dinikmati tanpa akses atas tanah. Ingat, petani adalah jantung produksi kebutuhan pangan sehari-hari. Di masa COVID-19, mereka mutlak harus dilindungi,” tambah Usman.

Nur Hidayati menambahkan, Pemerintah Pusat dan Daerah harus mengambil langkah tegas menyelesaikan konflik antara masyarakat Desa Pagar Batu dengan PT. Artha Prigel. “Dari tanah seluas 180,36 hektar yang berkonflik, 14 hektar diantaranya berada di luar HGU. Seluruh lokasi berkonflik harus dikembalikan ke masyarakat. Evaluasi izin menyeluruh terhadap HGU dan IUP Kelapa Sawit Artha Prigel juga harus dilakukan. Ada indikasi korporasi ini tidak hanya berkonflik dengan  masyarakat Desa Pagar Batu, tapi juga dengan beberapa desa lain yang berada di lokasi izinnya,” tutup Nur Hidayati.

Latar belakang

Dua pekan lalu, dua petani bernama Suryadi (40 tahun) dan Putra Bakti (35 tahun) dibunuh oleh petugas keamanan PT. Artha Prigel. Perusahaan kelapa sawit ini adalah anak perusahaan dari PT Bukit Barisan Indah Permai milik Sawit Mas Group. Dalam kejadian tersebut, polisi membiarkan petugas keamanan perusahaan yang jumlahnya mencapai 70 orang melakukan penggusuran paksa dan menggunakan senjata tajam. Penggunaan kekerasan itu mengakibatkan empat warga mengalami luka bacok. Dua petani yang tewas bernama Suryadi (40) dan Putera Bakti (35). Sedangkan dua orang lainnya, Sumarlin (38) dan Lionagustin (35), mengalami luka parah dan menjalani perawatan serius di rumah sakit.

Pasca kejadian, Kepolisian Resort menetapkan petugas keamanan PT Artha Prigel bernama Ujang Boy (38) sebagai tersangka penganiayaan. Dia diduga telah menusuk korban hingga tewas. WALHI Sumatera Selatan, KPA Sumatera Selatan dan LBH Palembang menyurati Presiden Joko Widodo. Mereka mendesak ditinjauhnya kembali izin perusahaan tersebut. Mereka mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki kasus konflik lahan dan kekerasan terhadap petani. Mereka menyimpulkan bahwa peristiwa kematian dua petani tersebut disebabkan oleh pengeroyokan sekuriti perusahaan. Hasil pengumpulan data Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan mencatat, konflik warga dan perusahaan kelapa sawit bermula dari perampasan lahan dengan kedok jual beli. Areal seluas 180,36 hektar “dibeli” PT. Artha Prigel dari oknum dengan harga total Rp 25 juta pada 1993. Proses peralihan dilakukan secara paksa dengan bantuan aparat negara dalam kurun waktu 1993 sampai dengan 2003. Pada 2006, Pemerintah memberi izin tambahan 35 tahun kepada perusahaan ini untuk mengolah lahan seluas 2.000 hektar. Selama itulah masyarakat desa secara intensif melakukan upaya agar mendesak perusahaan untuk mengembalikannya..

Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi Kovenan International Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam Komentar Umum No. 4 dari Komite pengawas Kovenan tersebut dinyatakan, “peningkatan akses terhadap tanah untuk kelompok masyarakat yang tidak memiliki tanah atau miskin harus menjadi tujuan kebijakan Pemerintah”. Kebijakan itu termasuk melindungi hak semua orang untuk mendapat tempat yang aman untuk hidup, termasuk akses ke tanah sebagai hak.

Upaya penggusuran paksa dalam kasus Lahat tersebut tidak sesuai dengan Paragraf 13 Komentar Umum No. 7 Komite ICESCR yang menyatakan, penggusuran adalah upaya terakhir setelah seluruh langkah yang diatur hukum internasional dilaksanakan.

Tidak adanya konsultasi sungguh-sungguh sebelum penggusuran juga bertentangan dengan hukum internasional. Seluruh alternatif yang tersedia harus dilakukan terlebih dahulu dengan konsultasi yang sungguh-sungguh dengan warga yang terdampak.

Narahubung:
⁻ Nurina Savitri (Amnesty International Indonesia/ 085888888510)
⁻ Even Sembiring (WALHI/ 085271897255)