Hari anti-penyiksaan: Aparat keamanan yang terlibat penyiksaan belum banyak yang dihukum

Negara harus menjamin akuntabilitas aparat keamanan sebagai bagian dari komitmen anti-penyiksaan. Aparat keamanan Indonesia yang diduga terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, maupun yang melakukan pembiaran harus menjalani proses hukum di pengadilan umum sesuai dengan prinsip peradilan yang adil, kata Amnesty International Indonesia hari ini memeringati Hari Anti-Penyiksaan Internasional.

“Praktik penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya masih terus terjadi dan berulang di Indonesia. Masih terdapat laporan yang mengkhawatirkan tentang kesewenang-wenangan aparat keamanan maupun warga yang memiliki akses terhadap kekuasaan terhadap sesama warga sipil meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (UN CAT),” kata Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya.

Data pemantauan Amnesty International Indonesia selama Juni 2019 hingga Juni 2023 menunjukkan bahwa terjadi 105 kasus perlakuan buruk dan tidak manusiawi yang menimbulkan 171 korban, di mana sebanyak 77 kasus diduga melibatkan anggota Polri, 15 kasus melibatkan anggota TNI, 7 kasus melibatkan petugas lapas dan sisanya melibatkan aktor negara lainnya.

Pada 2 Juni 2023, seorang tahanan Kepolisian Resor Kota Banyumas, Jawa Tengah, meninggal dunia. Oki Kristodiawan (26) diduga dianiaya saat baru masuk tahanan sebagai tersangka kasus pencurian sepeda motor sehingga menyebabkan luka parah dan dirawat di rumah sakit dari 18 Mei hingga meninggal pada 2 Juni. Menurut laporan media, awalnya pihak kepolisian menyebut Oki meninggal karena mengalami gagal ginjal. Namun pihak keluarga menemukan kejanggalan setelah melihat jasadnya terdapat sejumlah luka sehingga pada 5 Juni keluarga Oki melaporkan dugaan kematian yang tidak wajar pada korban.

Setelah dilakukan penyelidikan, Polresta Banyumas menyatakan Oki dikeroyok oleh sepuluh orang yang juga sesama tahanan dan mereka dijadikan tersangka kasus penganiayaan. Keluarga korban menuntut kasus meninggalnya Oki setelah ditahan Kepolisian Resor Kota Banyumas harus diusut tuntas.

Sebelumnya, pada April lalu, sejumlah keluarga terdakwa kasus klitih di Gedongkuning, Yogyakarta, mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atas dugaan penyiksaan dan intimidasi yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian yang dialami oleh para terdakwa tersebut. Polda Yogyakarta pada 9 April 2022 menangkap lima pemuda, yang dituduh sebagai pelaku kasus pengeroyokan berakibat kematian atas seorang pelajar pada 3 April 2022, tanpa prosedur hukum acara pidana yang adil.

Kelima pemuda yang ditangkap itu adalah Ryan Nanda Syahputra (19), Muhammad Musyaffa Affandi (21), Hanif Aqil Amrulloh (20), Fernandito Aldrian (18), dan Andi Muhammad Husein Mazhahiri (20). Pihak keluarga menyatakan mereka adalah korban salah tangkap, namun terpaksa mengaku sebagai pelaku kasus penganiayaan karena sebelumnya mereka mengalami penyiksaan selama proses hukum.

Aparat tetap memproses mereka hingga ke Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta. Pada November 2022, pengadilan memutuskan mereka bersalah. Vonis terberat dijatuhkan kepada Ryan, yakni 10 tahun penjara, sedangkan Fernando, Affandi, Hanif dan Andi diganjar 6 tahun penjara. Kuasa hukum para terdakwa langsung mengajukan banding atas vonis majelis hakim tersebut namun pengadilan tingkat kedua pada Desember 2022 menolak banding tersebut, sehingga pihak keluarga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Di bulan April 2023, sebuah video viral di media sosial menunjukkan seorang prajurit TNI menendang seorang ibu pengemudi motor yang sedang membawa anaknya ketika sedang berkendara di Kota Bekasi, Jawa Barat. Kasus penendangan oleh personel TNI itu, yang identitasnya hanya dipublikasikan sebagai ‘Praka ANG’, berakhir dengan permintaan maaf antara kedua pihak dan pelaku mendapatkan sanksi disiplin oleh institusinya.

“Praktik penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya seringkali terjadi di tempat-tempat di mana orang dirampas kebebasannya karena diduga atau dinyatakan melakukan pelanggaran hukum, seperti di tempat penahanan, penghukuman atau pemenjaraan dan tanpa disertai penyelesaian hukum yang memenuhi rasa keadilan bagi para korban. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara komitmen pemerintah menentang penyiksaan dengan praktik nyata di lapangan. Ini tidak boleh dibiarkan,” lanjut Ari Pramuditya.

Pentingnya ratifikasi OPCAT

Ratifikasi Indonesia atas the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UN CAT) melalui UU No. 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, ternyata belum cukup untuk menindak dan mencegah tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi maupun merendahkan martabat manusia yang masih marak terjadi di Indonesia.

Oleh sebab itu pemerintah Indonesia harus memperkuat lagi komitmen menentang penyiksaan dengan segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti-Penyiksaan atau OPCAT, mengingat masih terjadi praktik penyiksaan yang melibatkan aparat negara dan impunitas terhadap pelaku sehingga tidak memberikan keadilan bagi para korban.

Ratifikasi OPCAT bukan sekadar untuk melengkapi komitmen Indonesia terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah diundangkan menjadi UU No. 5/1998, namun akan memberikan manfaat penting bagi Indonesia.

Protokol opsional ini memberikan standar tentang upaya pencegahan dan perlakuan yang tidak manusiawi, terutama di tempat-tempat di mana kebebasan seseorang dicabut. OPCAT juga memberikan mekanisme pemantauan dan pencegahan terjadinya penyiksaan.

“Dengan membuka diri terhadap mekanisme pengawasan independen, Indonesia akan memperkuat sistem penegakan hukumnya dan memperbaiki perlindungan terhadap hak asasi manusia. OPCAT juga akan memberikan dorongan bagi reformasi dalam penanganan tahanan, pemasyarakatan, dan fasilitas lainnya, sehingga meningkatkan kualitas kehidupan mereka yang berada dalam penahanan,” lanjut Ari Pramuditya.

Selain itu, ratifikasi OPCAT oleh Indonesia akan mengirimkan sinyal kuat kepada masyarakat global bahwa negara ini serius dalam komitmennya untuk memerangi penyiksaan dan melindungi hak asasi manusia. (*)