Hapuskan UU PNPS 1965 dan Bebaskan Semua Terpidana Kasus Penodaan Agama

Amnesty International Indonesia menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ahok dihukum 2 tahun penjara dalam kasus penodaan agama pada tahun 2017.

Dengan penolakan itu, MA telah melewatkan kesempatan untuk mengakhiri hukuman tidak adil yang sedang dijalani oleh mantan gubernur DKI Jakarta tersebut.

Amnesty International Indonesia mendesak otoritas terkait untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Ahok, eks pemimpin Gafatar dan semua terpidana kasus-kasus penodaan agama yang dipenjara hanya karena mengekspresikan pandangan secara damai yang dijamin dalam prinsip kemerdekaan menyatakanpendapat dan menjalankan kepercayaan atau keyakinan.

Amnesty International Indonesia juga meminta otoritas terkait Indonesia untuk menyelidiki segala kemungkinan pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang adil, termasuk hak untuk melakukan upaya banding melalui peradilan yang independen dan imparsial.

“MA kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hukuman yang tidak adil dan memastikan perlindungan atas kemerdekaan berpendapat dan berkeyakinan di Indonesia. Praktik pemenjaraan dengan vonis penodaan agama tidak adil dan melanggar kewajiban HAM Indonesia dalam hukum internasional. Otoritas di Indonesia harus dengan segera dan tanpa syarat membebaskan Ahok, eks para pemimpin Gafatar dan semua terpidana kasus penodaan agama, khususnyadengan mencabut pasal-pasal penodaan agama yang diskriminatif di seluruh perangkat perundang-undangan” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Ahok divonis pada 9 Mei 2017 dengan hukuman dua tahun penjara dalam kasus penodaan agama. Dia merupakan satu dari setidaknya 11 orang di Indonesia yang dipidana dengan pasal penistaan agama di 2017. Orang lain yang dipidana dengan pasal-pasal penodaan agama termasuk Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andry Cahya, tiga pemimpin kaumminoritas yang kini dibubarkan dan dikenal dengan nama ‘Gafatar’ (Gerakan Fajar Nusantara). Mereka dipidana dengan pasal penodaan agama oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 7 Maret 2017.

Beberapa hari setelah penolakan permohonan PK kasus Ahok pada 28 Maret, media diramaikan dengan pemberitaan yang mengutip pernyataan seorang pimpinan Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 2014 silam yang mengatakan bahwa Hakim Agung yang menangani perkara PK Ahok pernah menjabat sebagai pimpinan Departemen Hukum dan HAM organisasi kemasyarakatan tersebut sebelum menjadi Hakim Agung. Pemberitaan mengenai kedekatan Hakim Agung tersebut dengan FPI menimbulkan pertanyaan publikkhususnya terkait imparsialitas dari putusan PK tersebut mengingat FPI adalah organisasi yang dengan keras mendukung hukuman penistaan agama terhadap Ahok. Hakim MA tersebut, kepada media, telah membantah kedekatannya dengan FPI.

“Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung harus segera mengambil langkah untuk memastikan independensi dan imparsialitas peradilan, dan menyelidiki dugaan tersebut. Jika tidak, pertanyaan serius dan absah tentang keadilan pada sistem peradilan Indonesia akan tetap ada.” ujar Usman Hamid.

Pasal penodaan agama telah digunakan baik oleh negara dan non-negara, baik yang berlatarbelakang Muslim dan non-Muslim. Pasal penodaan agama tersebut melemahkan jaminan hukum atas kemerdekaan berpendapat dan beragama di Indonesia yang merupakan negara dengan populasi mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Walaupun pasal penodaan agama (Peraturan Presiden No. 1/PNPS/1965) dan Pasal 156 (a) KUHP ditetapkan pada tahun 1965, pasal ini hanya digunakan untuk menuntut hanya sekitar 10 orang antara 1965 dan 1998. Antara 2005 dan 2014, Amnesty International telah mencatat setidaknya 106 orang yang telah dituntut dan dipidana dengan pasal penodaan agama. Ahok adalah pejabat publik dengan pangkat tertinggi pertama yang dipidana dengan pasal penistaan agama.

Amnesty International mendukung perjuangan yang terus berlanjut untuk mencari keadilan dan akan tetap meminta otoritas untuk mencabut pasal penodaan agama sepenuhnya.