Covid-19: Pemerintah Harus Lindungi Keselamatan dan Kesejahteraan Pekerja

Amnesty International Indonesia bersama dengan Lembaga Pusat Studi dan Advokasi Ketenagakerjaan Trade Unions Rights Centre (TURC) mendesak Presiden Joko Widodo dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjamin perlindungan keamanan, keselamatan dan kesejahteraan pekerja dari seluruh sektor, terutama kelompok rentan dan pekerja informal, selama penanggulangan wabah COVID-19.

Desakan itu disampaikan melalui surat kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 6 April 2020.

“Pekerja industri rumahan maupun UMKM, pekerja harian lepas dan pekerja berpenghasilan rendah terancam pemotongan upah dan kehilangan pekerjaan akibat COVID-19. Tidak semua pekerja bisa bisa menerapkan himbauan bekerja dari rumah. Ancaman tersebut bisa diperburuk apabila status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah resmi diberlakukan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“PSBB akan menimbulkan efek domino bagi aktivitas rantai produksi, termasuk aktivitas di DKI Jakarta yang mulai Jumat ini akan menerapkan PSBB. Perlahan namun pasti, aktivitas rantai produksi perusahaan akan berhenti, pendapatan masyarakat akan berkurang bahkan hilang dan konsumsi nasional akan terganggu,” kata Usman.

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan akan diberlakukannya PSBB dalam rangka percepatan penanganan penyebaran virus Covid-19. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menetapkan ibukota akan mulai menerapkan PSBB pada Jumat, 10 April 2020. Pembatasan tersebut akan berlangsung selama 14 hari hingga tanggal 23 April 2020, namun dapat diperpanjang jika penyebaran infeksi virus Covid-19 masih mengalami peningkatan. Termasuk dalam kebijakan PSBB tersebut diantaranya peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan di tempat umum termasuk kegiatan keagamaan, sosial dan budaya, serta pembatasan moda transportasi.

Selama pelaksanaan penanggulangan wabah COVID-19, Amnesty International Indonesia dan TURC menemukan sudah banyak pekerja yang dirumahkan tanpa dibayarkan upahnya dan bahkan mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja).

Selain itu, masih terdapat perusahaan yang belum menerapkan pola hidup bersih dan standar kesehatan kerja yang memadai. Perlindungan K3 seperti masker, hand sanitizer dan APD (alat pelindung diri) tidak cukup tersedia. Kebijakan kerja dari rumah (work from home) pun belum tentu dapat dilaksanakan, seperti oleh pekerja manufaktur, alih daya, pemagang dan pekerja harian lepas, karena mereka dibayar sesuai target satuan hasil atau kedatangan.

“Kebijakan pencegahan dan penanganan masih belum optimal, prinsip jaga jarak sosial belum diterapkan optimal, masih banyak pekerja yang pada saat masuk kerja atau apel berdesak-desakan, belum lagi selama perjalanan menuju tempat kerja di dalam sarana transportasi publik. Situasi ini membuat mereka rentan tertular. Namun, mereka harus tetap pergi bekerja karena resiko kehilangan pendapatan,” kata Andriko Otang, Direktur Eksekutif TURC.

Menurut data yang dihimpun dari Serikat Pekerja, di wilayah DKI Jakarta sudah terdapat setidaknya 88.835 pekerja dari 11.104 Perusahaan yang terkena dampak dirumahkan dan di PHK. Dengan rincian 72.770 pekerja dari 9.096 perusahaan statusnya dirumahkan, dan 16.065 pekerja dari 2.008 perusahaan dikenakan PHK.

“Karena itu, pilihan antara dirumahkan atau PHK adalah pilihan yang sama buruknya bagi para pekerja. Maka, pemerintah harus hadir untuk mengawasi perusahaan agar patuh terhadap ketentuan yang berlaku dan mendorong perusahaan untuk aktif mengajak serikat pekerja berdialog melalui forum bipartit, untuk menemukan solusi terbaik,” kata Andriko.

“Pemerintah juga harus mengawasi agar pengambilan cuti tidak lantas dihitung oleh perusahaan sebagai hutang buruh, yang dapat dijadikan dasar untuk menghapus hak cuti lainnya berdasarkan UU Ketenagakerjaan, atau lebih buruk, menjadi alasan untuk PHK,” kata Usman.

Pemerintah memang telah menyiapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun insentif melalui kartu pra-kerja. Namun, belum ada kejelasan terkait skema distribusi dan apakah distribusi BLT dan kartu pra-kerja tersebut sudah berjalan efektif.

“Kartu pra-kerja belum ditunjang sistem integrasi yang menghubungkan pekerja ke lapangan pekerjaan yang tersedia sesuai keahliannya. Sementara BLT hanya menyasar keluarga yang berpenghasilan rendah dan miskin, bukan menyasar individu pekerjanya,” kata Usman.

Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights-ICESCR) serta Paragraf 51 Komentar Umum No. 14 tentang Pasal 12 ICESCR telah menyebutkan kewajiban Pemerintah untuk memastikan perusahaan tidak melanggar hak atas kesehatan pekerja dan memastikan mereka dapat mengakses layanan kesehatan dengan cara memberi mereka kesempatan cuti tanpa konsekuensi pemotongan upah.

Selain itu, Paragraf 41 Komentar Umum No. 23 tahun 2016 mengenai Hak atas Pekerjaan juga mewajibkan Pemerintah untuk memastikan Perusahaan tetap membayar upah pekerja apabila Perusahaan mengambil kebijakan untuk memotong cuti pekerja sebagai upaya pengendalian COVID-19.

Amnesty International Indonesia dan TURC juga mengajak masyarakat untuk menyuarakan perlindungan keselamatan serta kesejahteraan pekerja dengan ikut menandatangani petisi online “Desak pemerintah lindungi hak pekerja saat wabah COVID-19”.

Siapapun bisa bergabung untuk mendukung petisi ini dengan memasukkan nama dan alamat email ke tautan berikut.